Christian Snouck Hurgronje (Istimewa)[dropcap style=”inverted”]O[/dropcap]rientalis Belanda, Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli tentang dunia Arab dan Islam, meninggal di Leiden, Belanda, di usia 79 tahun.

Snouck Hurgronje (1857-1936) lahir pada 8 Februari 1857 di Tholen, Oosterhout, Belanda. Seperti ayah, kakek, dan buyutnya yang menjadi pendeta Protestan, Snouck pun sedari kecil sudah diarahkan pada bidang teologi.

Setelah tamat sekolah menengah, dia melanjutkan ke Universitas Leiden untuk mata kuliah ilmu teologi dan sastra Arab. Lima tahun kemudian, dia tamat dengan predikat cum laude melalui disertasi ‘Het Mekaansche Feest’ (Perayaan di Mekkah).

Snouck kemudian melanjutkan pendidikan ke Mekkah pada 1884. Di Mekah Snouck memeluk Islam dan berganti nama menjadi Abdul Ghaffar.

Snouck menjadi sosok kontroversial khususnya bagi kaum Muslimin Indonesia, terutama kaum muslimin Aceh. Bagi penjajah Belanda, dia adalah pahlawan yang berhasil memetakan struktur perlawanan rakyat Aceh. Bagi kaum orientalis, dia adalah seorang sarjana yang berhasil dan sukses luar biasa dalam misinya memecah belah ulama di Aceh. Bahkan bagi rakyat Aceh, dia adalah pengkhianat tanpa tanding, sehingga kebencian rakyat Aceh terhadap sosok Snouck telah melegenda sampai melawati beberapa keturunan hingga sekarang ini.

Namun, menurut penelitian terbaru menunjukkan peran Snouck sebagai orientalis ternyata hanya kedok untuk menyusup dalam kekuatan rakyat Aceh. Dia dinilai memanipulasi tugas keilmuan untuk kepentingan politik, yang tujuan utamanya adalah untuk mencari titik lemah kehebatan pejuang-pejuang Aceh dalam melawan penjajahan kafee/kaphee Belanda.

Seorang peneliti Belanda kontemporer Koningsveld, menjelaskan bahwa realitas budaya di negerinya membawa pengaruh besar terhadap kejiwaan dan sikap Snouck para perkembangan selanjutnya.

Snouck berpendapat bahwa Al-Quran bukanlah wahyu dari Allah, melainkan adalah karya Muhammad yang mengandung ajaran agama. Pada saat itu, para ahli perbandingan agama dan ahli perbandingan sejarah sangat dipengaruhi oleh teori “Evolusi” Darwin. Hal ini membawa konsekuensi khusus dalam teori peradaban di kalangan cendikiawan Barat, bahwa peradaban Eropa dan Kristen adalah puncak peradaban dunia, dan mereka sangat kukuh mempertahankan argumen tersebut.

Sementara, Islam yang datang belakangan, menurut mereka, adalah upaya untuk memutus perkembangan peradaban ini. Bagi kalangan Nasrani, kenyataan ini dianggap hukuman atas dosa-dosa mereka. Ringkasnya, agama dan peradaban Eropa adalah lebih tinggi dan lebih baik dibanding agama dan peradaban Timur.

Teori peradaban ini berpengaruh besar terhadap sikap dan pemikiran Snouck selanjutnya. Pada tahun 1876, saat menjadi mahasiswa di Leiden, Snouck pernah mengatakan, “Adalah kewajiban kita untuk membantu penduduk negeri jajahan -maksudnya warga Muslim Hindia Belanda- agar terbebas dari Islam”.

Sejak itu, sikap dan pandangan Snouck terhadap Islam tidak pernah berubah. Bahkan Snouck semakin yakin dengan sikapnya.

Snouck pernah mengajar di Institut Leiden dan Delf, yaitu lembaga yang memberikan pelatihan bagi warga Belanda sebelum ditugaskan di Hindia Beland. Saat itu, Snouck belum pernah datang ke Hindia Beland, namun ia mulai aktif dalam masalah-masalah penjajahan Belanda.

Semenjak keberadaannya di Aceh, ada beberapa nasehat Snouck yang masih sangat membekas kepada Gubernur Militer Belanda yg bertugas di Aceh waktu ini, yakni:

  • Mengesampingkan golongan Keumala (yaitu Sultan yg berkedudukan di Keumala) beserta pengikutnya.
  • Senantiasa menyerang dan menghantam kaum ulama.
  • Tidak berunding dengan para pimpinan gerilya.
  • Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya.
  • Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh dengan cara mendirikan Mesjid, memperbaiki jalan, irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.

Pada 1889, dia menginjakkan kaki di Pulau Jawa dan mulai meneliti pranata Islam di masyarakat pribumi Hindia-Belanda, khususnya Aceh.

Setelah Aceh dikuasai Belanda pada 1905, Snouck mendapat penghargaan luar biasa. Setahun kemudian dia kembali ke Leiden dan hingga wafatnya, dia tetap menjadi penasihat utama Belanda untuk urusan penaklukan pribumi di Nusantara. (acehpedia/mi)