Lhokseumawe — Selepas melakukan kunjungan bela sungkawa atas dukanya seorang mantan aktivis Ari Maulana di kawasan Hagu Selatan, Lhokseumawe, ACDK diundang oleh Ketua Komisi A DPRK Lhohkseumawe Amiruddin B ke Gedung Tgk Hasbi Ash Shiddiqi yang terletak di Jalan Mon Geudong tepatnya di depan Kantor Dewan Pimpinan Sagoe Partai Aceh, Kecamatan Bandar Sakti, Lhokseumawe, Sabtu (24/11) malam.

Didalam gedung ternyata tengah berlangsung diskusi penyusunan kerangka dan hal penting mengenai lembaga Komunitas Korban Pelanggaram HAM Aceh Utara (K2PHAU) yang difasilitasi oleh teman-teman lama seperti Feri, Destika Gilang dan terlihat juga Asiah mantan ketua Kontras Aceh serta panitia lainnya.

Selepas acara, panitia dari K2PHAU Murtala mempersilahkan Pembina ACDK Tarmizi Age, Sofyan Alias Panyang yang juga mantan kombatan GAM, Sekretaris ACDK Saifannur, dan Irwansyah untuk memasuki ruangan diskusi yang telah terpampang selembar spanduk kegiatan.

Murtala memperkenalkan Tarmizi Age dan meminta kesediaannya untuk memberikan pandangan dan saran kepada peserta diskusi yang berasal dari sejumlah kecamatan di Aceh Utara dan Lhokseumawe.

Tarmizi Age menyampaikan terkait riwayatnya dan pengalaman hidupnya di saat Aceh dalam suana perang hingga keaadaan mengharuskan beliau berangkat ke Denmark. Dikatakannya, ACDK lahir dari ide kami orang–orang Aceh di Denmark untuk membangun dan melaksanakan konsep pembangunan ekonomi di Aceh, sedangkan pelaksanaan kerja di lapangan di kawasan Peudada, Bireuen ketika itu di kontrol via lewat ponsel dan internet.

Terkait pertemuan komunitas korban semasa konflik Aceh malam ini, maka saya juga termasuk salah seorang korban dimana orang tua saya hingga saat ini harus meneruskan hidup dalam keadaan lumpuh, motor astrea yang biasa saya pakai di bakar termasuk anak muda yang mengendrainya di bakar hidup-hidup, dan di campak kan ke dalam curam.

“Saya selaku pembina ACDK bersyukur dan sangat senang atas adanya K2PHAU untuk menampung aspirasi korban, jika boleh saya menyarankan agar K2PHAU juga dapat membangun kelompok ekonomi mandiri dan solid disamping menyuarakan kepentingan hak-hak korban HAM masa lalu, karena jika tak ditopang oleh pembangunan ekonomi, perjuangan komunitas masyarakat korban akan selalu terkendala dalam menjalankan program-program kerjanya kedepan,” kata Tarmizi.

Konflik dan peperangan telah merubah psikologi manusia, saya melihat hal itu ikut terjadi di Aceh bahkan mencapai 50%, jadi untuk mengembalikan seperti keadaaan yang semula tidak mudah, akan tetapi saya yakin kita dapat merubah keadaan buruk ini ke situasi yang lebih baik, asalkan kita harus berbuat apa saja yang terbaik termasuk membina dan mendampingi kelompok komunitas korban agar memikili program pemberdayaan ekonomi sendiri hingga berhasil.

Di ujung pembicaraan Tarmizi juga menyampaikan pesan kususnya, “Geutanyoe beutayakin lam hatee teuh, Atjeh nyoe akan geut menyoe geutanyoe tateem peugeut (Kita harus meyakini bahwa Aceh ini akan baik, jika kita mau memperbaikinya)”. (Laporan Irwansyah)