Khenduri meuloed (maulid) di gampong-gampong dalam Kabupaten Pidie masih khas Aceh. Tamu dari gampong tetangga disajikan bu kulah, sie manok, sie itek, dan menu lezat lainnya.

Matahari mulai merangkak naik. Mawa Saidah, 50, mulai sibuk membungkus nasi dengan daun pisang muda yang sudah dilayukan dengan hawa panas api. Ini disebut bu kulah. Sekitar 20-an bu kulah dimasukkan dalam ember besar. Dalam ember lainnya, ditempatkan sejumlah piring berisi sie manok, sie itek, dan beberapa jenis ikan. Ada juga menu tambahan termasuk pisang dan bu lukat.

Dua ember yang sesak dengan menu khenduri maulid itu dibungkus dengan kain khusus. Tugas Mawa Saidah selesai. Dilihatnya jarum jam sudah menunjukkan pukul 11.00 WIB. Bergegas Mawa Saidah memanggil cucunya, Mahdi,20. “Kajeut kaba khauri meuloed u meunasah (sudah bisa kamu antar khenduri maulid ke meunasah),” kata Mawa Saidah memerintahkan Mahdi.

Mawa Saidah dan Mahdi adalah warga Dayah Guci, Kecamatan Glumpang Tiga, Pidie. Hari itu, Ahad (28/3), masyarakat setempat merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad saw. dengan cara berkhenduri. Sekitar pukul 12.00 WIB, di meunasah Dayah Guci sudah terkumpul 80-an ember dan tempayan berisi khenduri maulid.

Sekelompok santri yang sedari tadi pagi menggelar dzike dan dalae di dalam meunasah, mulai istirahat. Kini saatnya menunggu tamu dari gampong tetangga. Sama seperti tahun sebelumnya, bahkan sejak puluhan tahun lalu, masyarakat Dayah Guci mengundang warga Gampong Sukon Baroh, Blang Drang, dan Kayee Raya untuk ramai-ramai datang menerima khenduri maulid yang sudah disiapkan.

Kali ini, masyarakat Gampong Blang Drang datang lebih cepat. Sebagian dari mereka berboncengan sepeda motor. Sisanya jalan kaki. Mereka disambut bersahaja oleh para tokoh Dayah Guci yang sudah menunggu di meunasah. “Neu langkah u dalam, khauri ka kamoe seudia (silahkan masuk ke dalam meunasah, khenduri sudah kami sediakan),” ujar salah seorang Tuha Peut Dayah Guci.

Begitu masuk ke meunasah, masyarakat Blang Drang mengambil posisi duduk bersila dengan membentuk beberapa kelompok. Masing-masing kelompok menghadap ke ember maupun tempayan berisi khenduri maulid. Dua pimpinan kelompok langsung membuka kain  pembungkus ember dan tempayan. Awalnya bu kulah yang dibagi-bagikan. Kemudian, bu kulah itu dibuka untuk menampung menu lainnya seperti sie manok dan sie itek.

Hanya butuh waktu sekitar lima menit, pembagian khenduri selesai. Tapi khenduri maulid itu tidak disantap di tempat itu, melainkan dimasukkan ke kantong plastik yang sudah disiapkan. Selanjutnya, satu per satu warga Blang Drang minta izin pada tuan rumah untuk pamit sambil menjinjing kantong plastik berisi khenduri. Mereka melangkah pulang dengan senyum lebar.

Beberapa saat setelah masyarakat Blang Drang pulang, giliran warga Sukon Baroh tiba di meunasah Dayah Guci. Mereka juga mendapat sambutan dan pelayanan bersahaja. Gelombang terakhir, datang masyarakat Kayee Raya yang lebih dikenal dengan sebutan Gampong Tanjong.

Khenduri massal di meunasah Dayah Guci pun berakhir. Tapi di rumah-rumah warga, para tamu yang sebagian besar adalah sanak saudara dan rekan sejawat, masih terus berdatangan memenuhi undangan khenduri maulid. Para tamu itu tampak membawa gula seberat satu hingga dua kilogram untuk diberikan kepada tuan rumah.  “Poh padib beurangkat dari Banda (jam berada berangkat dari Banda Aceh),” kata seorang warga Dayah Guci yang menyambut tamunya dari Banda Aceh.

Beda dengan khenduri di meunasah, para tamu yang dilayani di rumah langsung menyantap sajian makanan dan tidak membawa pulang khenduri tersebut. Kesempatan menikmati bu kulah sambil bersilaturrahmi seperti itu akan dilanjutkan lagi tahun depan. Nikmatnya bu kulah dan sie manok, indahnya silaturrahmi antarsesama. (*/ha/irman sjah)