BEBERAPA kali saya bertemu sastrawan Indonesia periode kekinian, di antaranya Nirwan Dewanto, Maman S Mahayana dan Hamsad Rangkuti dalam sejumlah perbincangan lepas sekitar kepenulisan sastra.

Suatu kali Nirwan datang ke Aceh dan memberi materi tentang kepenulisan di Sekolah Do Karim (sebuah komunitas tempat mendalami dunia menulis di Banda Aceh). Waktu itu kami tengah memperbincangkan cerpen Indonesia dewasa ini. Ketika ditanyai tentang estetika sebuah cerpen yang layak untuk dipublikasikan, Nirwan mengatakan, “cerpen yang apabila  koran mau memuatnya.” Artinya, Redaktur Koran Tempo Minggu itu hendak mengatakan cerpen Indonesia sekarang ini tergantung selera koran.

Nirwan juga menjelaskan beberapa kriteria cerpen yang mau dimuat oleh koran, di antaranya tema cerpen biasanya harus sesuai dengan misi koran yang dituju. Panjang kharakter dan gaya penceritaan juga sangat mendukung pemuatan di koran. Kompas misalnya, yaitu cerpen-cerpen yang memiliki nilai berita dan lebih menekankan pada penggambaran suasana. Republika, cerpen yang memuat unsur-unsur agamis dan kependidikan. Cerpen koran juga tergantung pada selera redaktur. Ungkap pria berbadan gempal itu.

Suatu kali saya juga bertemu dengan Hamsad Rangkuti dan Maman S Mahayana dalam sebuah workshop menulis kreatif tahun 2005 lalu. Ketika itu saya termasuk salah satu yang diundang oleh Creatif Writing Institut (CWI) dalam workshop yang diperuntukkan bagi 30 cerpenis terbaik tahun 2005 ala CWI. Bincang-bincang itu menghadirkan kalangan wartawan, penyair, kritikus dan pengamat sastra.

Hampir semua mereka sependapat bahwa sebuah cerpen yang baik adalah cerpen yang layak muat di koran. Koran-koran yang mereka maksudkan adalah koran-koran nasional seperti Kompas, Tempo, Republika, Media Indonesia, dan sejenisnya. Tentu saja bagi penulis pemula, hal ini merupakan sebuah tantangan yang sangat berat.

Suatu kali saya juga pernah mengirimkan surat elektronik kepada Maman. Saya bertanya pada kritikus sastra itu, bagaimana supaya cerpen seseorang itu dapat dibukukan ke dalam sebuah antologi. Maman yang juga dosen Fakultas Budaya Universitas Indonesia itu berujar, “sekarang sulit membukukan kumcer kumpulan cerpen, penerbit lebih senang dengan novel. Seseorang yang ingin membukukan cerpen-cerpennya, sebaiknya mengirimkan dahulu ke koran-koran. Jika cerpen seseorang sudah dimuat di koran, penerbit akan melirik penulisnya. Maka, setelah itu akan mudah membukukan karya”.

Ada hal menarik dari cerita-cerita di atas, yaitu cerpen Indonesia sekarang ini sedang dihadapkan pada “dinding” publikasi. Misalkan saja untuk dibukukan harus punya nama di koran terlebih dahulu, kemudian koran, sebelum memuatnya terlebih dahulu mengenal penulisnya. Tentu kedekatan dengan redaktur sangat mendukung penulis untuk “melemparkan” karyanya di koran yang dutuju. Misi koran, karakter dan penceritaan,juga merupakan pendukung sebuah cerpen dapat “dikorankan”.

Koran dan Cerpen

Koran dan cerpen merupakan dua hal sama yang berbeda. Sama-sama mementingkan dan memainkan peran kata di dalamnya, namun memiliki perbedaan tersendiri. Kata-kata koran adalah kata-kata yang mengandung ‘kepastian’ informasi. Koran sangat memperhatikan permainan kata. Bahasanya menjadi perhitungan. Misalkan saja tentang makna, koran sangat teliti memilah kata hingga tak terjadi makna ganda dalam penyampaian kepada publik.

Bahasa koran sangat menghindari pleonasme. Sedangkan dalam cerpen, bahasanya sengaja ditata sedemikian rupa hingga terkadang menimbulkan makna ambigu kepada pembaca. Interpretasi teks dalam cerpen cenderung multymakna. Tidak seperti bahasa koran, semua orang memaknai informasi yang disampaikan adalah sama, tetapi dalam cerpen bisa saja berbeda.

Koran dikerjakan oleh kelompok orang dengan mempertimbangkan fakta. Cerpen dikerjakan oleh individu dengan memainkan imajinasi, meski cerita dalam cerpen kadang juga terdapat di dunia nyata.

Mengutip Ribut Wijoto–salah seorang anggota Teater Gapus Unair—koran sangat ditandai aturan-aturan tetap, data-data empirik, dan argumen yang obyektif. Kebenaran dalam bahasa koran sangat dipentingkan. Jika syarat-syarat itu tidak dimiliki, koran dituduh telah melakukan penipuan. Cerpen sangat didukung oleh konflik yang ditandai adanya surprise. Kebenaran dalam cerpen tidak terletak pada argumen, melainkan pada lukisan pikiran dan perasaan yang menggugah hati pembaca. Inilah yang dimaksudkan suspens dalam sebuah cerpen.

Ketika cerpen harus distandarkan dengan koran, bukanlah suatu masalah yang berat, karena keduanya sebenarnya sama (sama-sama memainkan peran kata), tetapi ketika cerpen harus mengikuti kemauan koran, perlu pertimbangan kembali. Misalkan saja ketika koran memaksa penulis cerpen untuk mengikuti kolom yang tersedia–koran memang sangat diatur oleh kolom. Ini merupakan pemaksaan terhadap sebuah cerpen. Koran biasanya hanya menyediakan kolom setara dengan lima hingga delapan halaman kuarto, atau maksimal 9.000 kharakter. Akibatnya, dapat membelenggu kreativitas cerpenis.

Bagi cerpenis pemula hal ini sangat menganggu. Katakan saja ketika cerpennya selayaknya sudah ending tiga halaman kuarto, tetapi karena memikirkan koran hanya bisa memuatnya jika sudah lima halaman, seorang cerpenis harus memaksakan otaknya berimaji lagi yang kemungkinan besar akan terjadi pengambangan terhadap cerita tersebut. Atau ketika sebuah cerpen baru dapat dituntaskan konfliknya dalam 12.000 kharakter, penulis terpaksa memenggal beberapa kalimat (bisa jadi paragraf) agar menjadi 9.000 kharakter yang kemungkinan akan menghilangkan koherensi kalimat atau paragrafnya.

Sekilas hal itu ada baiknya, sebab akan menjadi sebuah tantangan bagi cerpenis agar dapat menghasilkan sebuah cerpen sesuai kemauan publik. Akan tetapi jika hal itu dipertahankan menjadi sebuah tradisi, amat disayangkan karena seorang cerpenis terpaksa menahan napas ketika sebaris kata hendak keluar dengan batuknya. Kondisi lain, ketika pembaca hanya dihadapkan cerpen dua – tiga halaman kuarto, mereka merasakan terlalu pendek dan cepat selesai karena keseringan membaca cerpen yang panjang. Terkadang juga ketika dihadapkan 10 halaman, mereka merasa jemu membaca.

Di samping persyaratan di atas, koran juga terkadang menawarkan kepada cerpenis tentang topik yang sedang hangat dibicarakan khalayak. Sebuah koran lokal cenderung hanya memuat cerpen yang ceritanya menyangkut sosial dan lokalitas setempat. Di Aceh misalnya, sepanjang tahun 90-an, banyak koran-koran yang memuat tentang perang dan kehidupan rawan masyarakat sipil di tengah konflik. Kemudian sejak awal tahun 2005 sampai sekarang cerita-ceritanya berkisar tentang Tsunami dan kehidupan masyarakat di pengungsian. Bahkan kenangan masa konflik belum dapat dilupakan dalam beberapa karya tertentu. Sehingga timbullah opini masyarakat luar, Aceh adalah “negeri sepanjang murung”.

Melihat perkembangan dalam estetika cerpen sekarang, sangat pantas diberikan apresiasi bagi cerpenis yang sudah mampu menembus koran. Maka lahirlah bentuk baru dalam dunia cerpen, yaitu “cerpen koran.” Munculnya bentuk baru, membuat muncul penawaran baru dalam dunia sastra yang akan melahirkan penulis-penulis kreatif. Dalam hal ini keberadaan redaktur sebagai penerima, penyunting, penikmat, sekaligus penilai cerpen koran sangat diharapkan kelihaian dan kecermatannya, bukan sekedar melihat ‘nama’ si penulis.

Herman RN

Pernah menjadi juara III menulis cerpen tingkat nasional oleh CWI tahun 2005