Oleh Khiththati

Assubuhul bada minthala ‘atihi wallailu dajamiu wafaratihi. Subuhlah nyata lahirnya nabi, sempurnalah malam sempurna hari. Faqad rasula fadlan wa’ula adasubula lidalalatihi.Tinggilah rasul leubeh that manyang petunyuok jalan dalilnya nabi.Kanzur qarama maulan ni’ami hadil umami li syar’atihi. Keuhdum mulia panghule nikmat peutonyok umat syariat nabi. Azkan nasabi alal hasabi kulul arabi fi qithmatihi. Sucilah bangsa manyang derajat dum ureung arab jak sajan nabi.

SYAIR itu terdengar begitu menggema. Dilantunkan sejumlah orang, beberapa di antaranya masih kecil. Mereka duduk bersila di tikar membuat lingkaran kecil. Sebagian memakai peci dan sarung. Mereka adalah kelompok dalail khairat.

Di sejumlah daerah di Aceh, terutama di pedesaan, dalail khairat masih sering dilakukan masyarakat Aceh. Tapi di kota-kota besar, hampir sebagian masyarakat tidak tahu dengan syair ini, yang merupakan bagian dari budaya Aceh. Terutama generasi muda sekarang.

Dalail khairat merupakan budaya Arab yang sudah lama berkembang di Aceh. Tidak diketahui pasti kapan budaya ini pertama kali masuk ke Aceh. Dalail khairat ini digunakan sebagai alat untuk berzikir dan memuji sang Maha pencipta.

Dalae nyan treb that kana. Peu thon hana tatujan, peu abad hana tateupe (dalail itu sudah ada sejak lama, tahun dan abad berapa tidak diketahui). Tapi sejak saya kecil, sudah ada, yang dibacakan di meunasah-meunasah,” jelas Ibrahim Ismail, tokoh masyarakat di Tungkop, Aceh Besar.

Walaupum kadang-kadang, dalam dalail diselipkan bacaan-bacaan like/dike, namun bukan berarti dalail ini sama dengan dike/like. Likee/dike (zikir) maulid, hanya ada ketika kenduri maulid Nabi yang dilaksanakan pada bulan Rabiul Awal, tahun Hijriyah. Isi likee maulid menceritakan sejarah kelahiran Nabi Muhammad yang dibaca dalam kasidah dan tharih.

“Dalam dalail, banyak bacaan yang dibaca dan semua itu sudah dikumpulkan dalam satu buku. Isinya mencakup asmaul husna, selawat, doa dan ada juga kasidahnya,” ungkap Ibrahim Ismail.

Dalail sering kali dilaksanakan pada malam hari. Biasanya, tiap-tiap daerah memiliki ketentuan masing-masing. Di beberapa tempat, latihan dalail  dilakukan di meunasah, mushalla, masjid dan balai-balai pengajian setiap malam jumat setelah shalat isya. Jumlah anggota tidak dibatasi, tergantung keinginan masyarakat yang mau bergabung tanpa ada batasan usia. Lama waktunya, ditentukan jumlah syair yang dilantunkan.

“Biasanya, kelompok dalail ini dipimpin seorang syeh. Setelah syeh memulai melafatkan setiap bait syair dengan irama tertentu, kemudian diikuti oleh anggota lainnya. Lama waktu yang dihabiskan setiap kali dalail, bisa mencapai tiga sampai empat jam. Bahkan bisa lebih,” kata Ibrahim.

Kelompok dalail khairat ini, sering diundang untuk meramaikan pada acara pernikahan  dan orang meninggal. Selain itu, dalail khairat juga ikut diperlombakan, seperti beberapa waktu yang lalu. Tidak hanya diikuti oleh santri dayah yang sudah biasa dengan lafat dalail, tapi juga di ikuti oleh kelompok-kelompok yang mewakili gampong-gampong.

“Dalail khairat bisa dipelajari semua orang. Asal mereka bisa membaca Al Quran, pasti bisa mengikuti syair dalail,” tutur Ibrahim Ismail.

Bacaan dalam dalail tidak hanya menggunakan bahasa Arab, tapi juga dipadukan dengan bahasa Aceh. Sebagaimana yang telah dikukuhkan dalam kitab kecil karangan Syeh Hasan Sajli. Sehingga, yang mempelajarinya menjadi mudah. Ini merupakan bentuk dari perpaduan budaya Arab dan Aceh.

“Yang dibaca dalam dalail itu, Al Fatihah, shalawat, doa minta ampun, ayat kursi, asmaul husna dan kasidah burden,” ujar Takdir Feriza, mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry Banda Aceh, yang sudah mengenal dan mempelajari dalail sejak kecil.

Menurut Takdir, waktu dia mengaji dulu, setiap santri laki-laki diwajibkan bisa melantunkan dalail. “Karena sudah terbiasa dari kecil, saya masih ingat syairnya sampai sekarang,” katanya, sambil tersenyum.

Karena kepandaian dan suara merdu yang dimilikinya dalam melantunkan syair-syair dalail, Takdir sering ditunjuk sebagai syeh. Kelompok dalail mereka juga sering dipanggil saat ada pesta perkawinan dan orang meninggal. Tapi, mereka tidak pernah meminta bayaran.

Pada orang meninggal, dilakukan pada malam kesebelas. Dimulai setelah doa samadiah, dengan peserta tidak terbatas. Lama waktunya bisa mencapai dua jam lebih. Tapi, pada saat lomba, pesertanya dibatasi sepuluh sampai duabelas orang. Waktunya pun terbatas, hanya 30 menit. Sesuai ketuntuan dewan juri dan panitia.

Saati sajaru nataqa hajaru saqhal qamarubi isyaratihi. Sujutlah kaye meututoe bate bekahlah buleun isyarat nabi. Jibrilu ata lailatal asra wa rabubul da’ahul li khadratihi.Jibrilah neu jak bak malam isra’ tuhan geuyu jak sajan nabi.

*Mahasiswi Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh