Banda Aceh – Ketua Komisi B Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Banda Aceh, Ir Yusmaizal menilai, kinerja Kamar Dagang dan Industri (Kadin) setempat tidak lagi mengacu pada UU No. 1/ 1987 pasal 6.

“Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa seharusnya Kadin bisa menjadi wadah komunikasi antar pelaku usaha, termasuk dengan pemerintah,” kata Yusmaizal, Senin (29/3/2010).

Ironisnya, sebut dia, Kadin Banda Aceh malah tidak memiliki fungsi apapun. “Karena itu kami meminta walikota sebagai penasehat Kadin untuk mengevaluasi kepengurusannya, sehingga pertumbuhan iklim usaha di Banda Aceh dapat tumbuh subur,” lanjut dia.

Menurut Yusmaizal, Kadin pada dasarnya memiliki kewajiban untuk mengayomi para pelaku bisnis tanpa memandang besar atau kecilnya usaha.

“Pelaku bisnis perlu dibina, baik secara administratif maupun manajemen, karena mayoritas pelaku bisnis di Banda Aceh belajar secara otodidak. “Fakta di lapangan menyebutkan, tidak sedikit pelaku bisnis mengaku mengalami kendala administratif, baik ketika berhadapan dengan pemerintah, maupun dengan pihak pemberi pinjaman (bank, Red),” pungkas Yusmaizal.

Untuk itu, lanjut dia, Kadin juga dinilai wajib untuk menyelenggarakan pendidikan, latihan, dan kegiatan-kegiatan lain yang bermanfaat dalam rangka pembinaan dan pengembangan kemampuan para pelaku bisnis.

Selain dinilai perlu dievaluasi, Yusmaizal juga berharap agar Kadin Banda Aceh dapat mengedepankan prinsip regenerasi kepemimpinan.

“Perubahan-perubahan yang fundamental biasanya lahir dari kalangan muda yang kritis, dan agresif dalam menyikapi berbagai riak bisnis di Banda Aceh. Apalagi menyikapi berlakunya Asian Free Trade Association (AFTA) yang ditakutkan mengancam kelangsungan pelaku bisnis local,” imbuhnya.(*/ha/crd)