Selamat datang di pelabuhan ujung paling barat Indonesia. Pelabuhan paling ramai di masanya. Sebuah pulau yang dikelilingi sabuk pantai dengan pasir putih yang memanjang –Long beach yang akan menyejukkan mata dan menentramkan hati saat menatapnya.

Sebegitu indah Pulau Weh Sabang ini hingga pasangan suami istri Mia Koning dan Vander Veen mengarang sebuah buku berjudul “Dromen Over Sabang, Kenangan Sabang Sepanjang Masa”.

Lokasi Pulau Weh Sabang yang berada di ujung utara Pulau Sumatera, berhadapan langsung dengan Samudera Hindia, berseberangan dengan Semenanjung Malaka, menjadikannya lokasi strategis untuk transit. Tak heran jika Portugis, Belanda hingga Jepang berebut menguasai pulau ini untuk mengontrol pelayaran di wilayah ini.

Tahun 1890, jauh sebelum Inggris mengembangkan Singapura, Belanda telah mulai membangun pelabuhan bebas pertama di Sabang. Hal ini ditandai dengan persiapan tata kota Sabang yang begitu matang. Pulau ini dilengkapi dengan fasilitas layaknya sebuah kota besar. Beragam fasilitas umum dibangun di pulau ini, mulai dari balai kota, gudang pelabuhan, pasar hingga ke hotel.

Bahkan Pulau Web Sabang adalah daerah pertama dimana Belanda membangun instalasi air minum yang disalurkan hingg seluruh penjuru pulau. Tak hanya itu, begitu jauh Belanda memandang masa depan hingga mereka membangun rumah sakit terbesar yang ada di zaman itu di pulau ini.

Visi Belanda ketika itu adalah membangun pelabuhan transit terbesar bagi kapal layar yang akan masuk ke selat malaka. Dalam lansekap rencana Belanda ketika itu, pembangunan infrastruktur Pulau Weh Sabang melibatkan dua pulau di sekitarnya yakni Pulo Breuh dan Pulo Nasi. Fasilitas yang dibangun meliputi lampu suar, kawasan pelabuhan, tempat tinggal hingga kawasan pelesir untuk awak kapal.

Belanda bahkan menguji coba rencananya dengan menjadikan pulau ini sebagai sarana untuk pemberangkatan haji masyarakat Aceh. Belanda membangun sarana dan prasarana lengkap untuk 2000 jamaah haji hanya dari Aceh. Di jaman itu, belum ada istilah kelompok terbang.

Pemberangkatan jamaah dilakukan sekaligus melalaui kapal laut. Belanda mewajibkan setiap calon jamaah untuk terlebih dahulu menjalani karantina selama 3 bulan di pelabuhan transit ini untuk memastikan tak ada penyakit yang dibawa. Tak heran jika Pulau Web Sabang buat kalangan tetua Aceh memiliki romantisme tak terlupakan.

Mimpi belanda pun usai ketika Jepang mulai menyerbu kawasan ini pada tahun 1941 dan merubahnya jadi benteng pertahanan. Tak cukup hanya membuat bunker pertahanan, Jepang juga membangun terowongan-terowongan pertahanan yang menghubungkan setiap sudut di Pulau Weh Sabang.

Kini semua fasilitas peninggalan Belanda di atas masih dapat dijumpai. Meski sebagian bahkan telah menjadi reruntuhan, tapi jejak dan bekasnya masih tersisa. Namun ada satu bagian mimpi masa depan dari Pulau Weh Sabang yang belum terwujud hingga saat ini yakni menjadikannya sebagai pelabuhan transit terbesar di ujung barat Indonesia. Jika dahulu Belanda bisa, mengapa sekarang kita tidak? Dromen Over Sabang. (*/panorama007.wordpress.com)