Takengon — Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah merupakan daerah penghasil kopi arabika terbanyak yang diekspor ke beberapa negara Eropa dan Asia. Tapi saat ini baru 25% petani di dataran tinggi Gayo yang tergabung dalam Asosiasi Fair Trade Indonesia (AFTI) dan bersertifikasi, dari 98.000 petani kopi yang ada di kedua kabuaten tersebut.

Hal tersebut diungkapkan Ketua AFTI, Mustawalad, kepada MedanBisnis, Minggu (12/8), di sela pertemuan pengusaha kopi di Hotel Umah Opat, Takengon. Padahal, katanya, dengan mengantongi sertifikasi, akan memberikan manfaat bagi pelaku usaha karena akan menjamin harga jual kopinya.

“Bagi perusahaan atau koperasi yang memiliki sertifikasi, dipastikan mendapatkan dana sosial premium yang besarnya US$ 0,4 per kilogram dan organik US$ 0,6 per kilogram dari jumlah kopi yang diekspor,” jelasnya.

Saat ini, katanya, terdapat 14 perusahaan yang berbentuk koperasi di dua kabupaten tersebut mengantongi sertifikat, dari tiga jenis sertifikasi yang ada. Yakni sertifikat Fair Trade oleh Fair Trade Labeling Organization yang berbasis di Born, Jerman, kemudian sertifikat Organic yang terdiri dari Control Union (CU), National Agriculture Australia (Nasaa), IMO, dan Ceres, serta sertifikat Rain Forest.

Sedangkan kopi gayo bersertifikasi tanpa specialty dikenal oleh pelaku kopi di luar negeri dengan tiga kata yaitu kata Gayo sebagai single origin (asal usul kopi), kopi asalan dan berejen (thank you). Kata berejen sendiri sudah menjadi identitas di tingkat internasional.

Sedangkan Kepala Bank Aceh cabang Takengon, Marwan mengatakan, sertifikasi kopi juga memberikan keuntungan bagi petani maupun pengusaha kopi kelas menengah. Sistem resi gudang (SRG) yang mulai disosialisasikan oleh pemerintah bisa dijadikan agunan ke bank. Dimana saat harga jual kopi tidak selalu bagus, kopi bisa disimpan di SRG hingga buyer dapat membeli dengan harga tinggi.

“Kita ingin kopi bersertifikasi, karena orang asing lebih takut dengan pestisida dari pada M16. Namun soal tanah, harus jelas sehingga memudahkan bank dan juga orangnya,” katanya.

Sementara itu Pemkab Aceh Tengah pernah melarang pengusaha kopi menjual kopi dalam bentuk gabah. Namun untuk lebih melindungi petani kopi dan pengusaha lokal, diharapkan kebijakan pemerintah tersebut dituangkan dalam qanun. “Kalau pemerintah daerah bisa membuat qanun kopi, itu akan memproteksi petani kopi dan dapat melindungi semua pihak,” sambung Sekjen AKLGO, Zam Zam Mubarak.

Pelaku kopi mendorong Pemkab membuat qanun kopi, dan bila dibutuhkan pelaku kopi saat ini juga siap membantu dalam penyusunan draft agar bisa diajukan ke DPRK.

Di lain hal, untuk menjaga stabilitas perekonomian di tatanan daerah, Pemkab juga diharapkan proaktif membantu pengusaha lokal. Sehingga harga kopi di daerah dapat stabil dan tidak merugikan petani.

“Pemkab setidaknya bisa memberikan pelatihan-pelatihan tentang kopi bagi pengusaha lokal,” harap Ketua Hipmi Aceh Tengah, Edy Gunawan, sembari mengatakan pengusaha lokal harus diberikan solusi terhadap permasalahan kopi di tingkat nasional maupun international, sehingga bisa diantisipasi lebih awal. (Medan Bisnis)