Ini cerita dulu

Dahulu kala, yang waktunya tak terpastikan, di Aceh, khususnya di Kabupaten Bireuen, terdapat begitu banyak bank (baca; beng), terletak di sudut-sudut gampoeng atau di wilayah perkotaan. Kala itu, setiap gampoeng, pasti memiliki minimal satu beng.

Beng yang dimaksud bukan nama beng yang kita kenal seperti sekarang ini; sebagai tempat simpan pinjam uang. Dahulu, baik warung, kios, toko, atau tempat-tempat jajanan lain dikenal dengan beng.

Disebut beng, karena di tempat itu berlangsung segala macam transaksi, tapi bukan jual beli. Di beng, orang saling bekerjasama sama untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari, baik kebutuan pokok rumah tangga, dan kebutuhan lainnya, baik skunder maupun tersier. Transaksi itu tidak berbentuk jual beli seperti sekarang ini, melainkan dengan cara barter.

Misalnya, Anda butuh segelas kopi, saya butuh sebambu beras. Saya akan menyedikan segelas kopi, dan Anda memberikan saya sebambu beras. Begitulah perumpamaannya. Dan semua itu berlangsung di beng, salah satunya beng kupi.

Tradisi itu terus berlangsung, hingga kemudian orang mengenal jual beli.

Beng Cureh

Di Bireuen dan sekitarnya, hingga era tahun 1970-an, terdapat beng kupi yang cukup tersohor. Namanya Beng Cureh, terletak di Gelanggang Gampoeng Desa Cureh. Tepatnya di Simpang Cureh, lebih kurang satu kilo meter arah timur Terminal Bus Bireuen sekarang.

Di Simpang Cureh terdapat dua Beng Kupi, keduanya di kenal dengan naman Beng Cureh. Tidak ada yang tahu pasti, yang manakah di antara kedua beng itu yang dimaksud Beng Cureh. Mengenai ini, ada dua versi cerita yang berkembang di masyarakat.

Versi pertama, Beng Cureh yang dimaksud adalah milik warga keturunan Cina. Awalnya Beng Cureh dibangun di atas tanah pinjaman seorang keturunan bangsawan (Ule Balang/Teuku). Kala itu, Beng Cureh ramai dikunjugi pelanggan. Tidak ada papan naman yang menjelaskan bahwa tempat itu bernama Beng Cureh, tapi orang-orang mengenal tempat itu sebagai Beng Cureh.

Setelah bertahun-tahun membuka beng itu, Si Cina pindah ke Jalan Mawar Kota Bireuen. Di sana itu membuka beng kelontong yang diberi nama Serodja.

Si Cina adalah sosok yang murah hati. Meski bukan beragama Islam, ia cukup menghargai tradisi-tradisi Islam di sekitar tempat tinggalnya. Pada waktu hari raya dan hari-hari besar Islam lainnya, Si Cina sering memberikan sumbangan kepada masyarakat sekitar.

Si Cina sekarang sudah meninggal, tapi bekas usaha beng kupi masih ada hingga sekarang. Tempat itu kini dikelola warga setempat, namun gaungnya tidak sepopuler dulu.

Versi kedua. Beng Cureh adalah milik seorang tokoh setempat yang populer dipanggil Nek Bayu. Disebut Nek Bayu karena ia berasal dari salah satu desa di  Syamtarilla Bayu, Kota Lhoksemawe. Nama asli Nek Bayu nyaris tidak diketahui oleh orang banyak.

Bersamaan dengan Si Cina, Nek Bayu juga membuka usaha warung kopi yang letaknya tidak jauh dari warung Cina itu. Beng kupi milik Nek Bayu juga dikenal sebagai Beng Cureh.

Sejauh ini, tidak ada catatan pasti tentang yang manakan yang dimaksud Beng Cureh. Beng milik Si Cina kah? Atau beng milik Nek Bayu? Terlepas dari semua, nama Beng Cureh menjadi salah satu cerita legenda warung di Kabupaten Bireuen.

Entah bagaimana kisahnya, pada masa sekarang, kata Beng Cureh sering digunakan oleh masyarakat untuk menggambarkan karakter  ketidakjujuran. Misalnya, seorang pedagang, baik kelas kakap maupun kelas rendah, memberi pinjaman uangnya atau benda lain kepada rekan bisnisnya. Bila si yang meminjam tak mampu membayar, dan berniat untuk tidak mengembalikan lagi hutang tersebut, ia akan akan mengatakan, ”utang kah  kacok Bak Beng Cureh.” Bila kalimat itu sudah diucapkan oleh orang yang meminjam uang, maka jangan harap utang Anda akan terbayar.

Dengat kata lain, Beng Cureh adalah sebuah tempat yang tidak jelas keberadaannya, namun nama itu hidup dalam masyarakat.

Beng Mee

Jika di Simpang Cureh terkenal dengan Beng Cureh, di Kota Bireuen dan sekitarnya, ada juga nama beng lain yang tak kalah populer, yaitu Beng Mee, terletak di salah satu desa di Kecamatan Kutablang, sekitar 25 km arah timur Kota Bireuen.

Tidak ada cerita yang jelas mengenai Beng Mee. Namun yang pasti, nama Beng Mee cukup dikenal di Kota Bireuen.

Pada masa sekarang, Beng Mee memang tidak lagi sepopuler Beng Cureh. Mungkin karena letaknya yang agak ke wilayah pedalaman. Tak ada sebutan-sebutan sinis terhadap Beng Mee. Hal ini mungkin karena Beng Mee berada pada kondisi masyarakat yang terdiri dari petani, dan pekerja-pekerja kecil lainnya.

Menurut cerita, selain sebagai warung, pada masa keberadaaanya, Beng Mee juga sering digunakan sebagai rapat-rapat desa.

Beng Siri

Warung yang populer disebut Beng Siri ini juga tidak jelas sejarah kelahirannya. Siapa pemiliknya juga tak jelas. Namun Beng Siri populer pada masa konflik Aceh. Sampai sekarang Beng Siri masih esksis.

Anda ingin tahu, silahkan kunjungi lokasinya di sekitar 2,5 km arah terminal Bireueun, tepatnya 100 meter sebelum Markas Dandim Bireuen. Pada sebuah persimpangan yang ramai dengan warung kopi, pasar ikan  darurat, dan berbagai toko-toko lainnya.

Pada masa konflik, lokasi ini sangat rawan. Sering terjadi kontak tembak, dan culik menculik. Seluruh masyarakat Bireuen pasti tahu bagaimana cerita suram di wilayah ini.

Sekarang, nama Beng Siri sering dikarakterkan sebagai sifat yang keras. Jika seseorang tidak mampu membayar hutang, dan bersikeras untuk tidak membayar, maka ia akan menyebut, ”utang kah kacok bak Beng Siri.” Kalimat bisa berarti tantangan untuk adu fisik, atau bahkan ancaman pembunuhan.

Mungkin saja karakter yang demikian tercipta karena Beng Siri lahir dan populer pada masa konflik.

BANK 47

Bank (dibaca beng) 47 adalah lawan dari Bank BNI 46. Beng 47 disebutkan untuk menunjuk praktek yang dilakukan oleh orang-orang tertentu yang meminjamkan uang dengan bunga berlipat ganda. ”Pegawai” Beng 47 membuka praktek 24 jam. Kapan saja Anda membutuhkan pinjaman uang, Bank 47 siap melayani.

Satu sisi, keberadaan Beng 47 patut disyukuri, tapi di sisi lain, bunga yang tinggi cukup memberatkan para peminjam. Dalam hal sejarah beng di Bireuen, kita tidak perlu terlalu jauh membicarakan Beng 47.

Terlepas dari Beng 47. Ketiga beng yang disebutkan sebelumnya adalah nama yang paling populer dari ratusan beng yang pernah ada di Bireuen. Masing-masing beng dikarakterkan sedimikian rupa.

Ini cerita sekarang.

BENGKUPI yang baru-baru ini diresmikan oleh Bupati Bireuen, Nurdin Abdurrahman, tepatnya tanggal 7 Juni 2010, memiliki benang merah dengan tiga beng pada cerita sebelumnya, Beng Cureh, Beng Mee, dan Beng Siri. Tidak termasuk Beng 47!

Bengkupi dibangun oleh puluhan penggagas dan pemilik modal. Karakternya tercipta atas merger dari tiga beng yang terkenal di Kota Bireuen. Setelah Bengkupi tidak akan ada lagi beng-beng lain di Kota Bireuen.

Para penikmat kopi dan pemodal di Bengkupi berasal dari karakter yang beragam. Ada karakter dari Beng Cureh, sifatnya keras dan licin. Ada karakter Beng Siri, yang arogan. Kemudian karakter Beng Mee yang bijaksana.

Tidak ada karakter Beng 47 di Bengkupi.

Suatu hal yang menarik, meski berasal dari tiga karakter yang berbeda, kontruksi Bengkupi dibangun dengan gaya arsitektur kontemporer, nyaman dan indah. Bengkupi adalah tempat memecahkan kebuntuan, baik masalah bisnis dan masalah lainnya.

Ke depan, diharapkan, Bengkupi bisa mewakili nuansa Aceh untuk seluruh dunia.

Bengkupi dibangun atas usaha patungan, ratusan juta. Para pemodalnya mencapai 60 orang, berasal dari berbagai latar belakang. Politisi, pengusaha, para makelar dan agen, petani, birokrat (PNS), militer, nelayan, hingga aktivis.

Bengkupi akan dikembangkan di kota-kota besar dalam dan luar negeri dengan sistem franchise, dengan menu andalan kopi asli gayo. Selain kopi juga akan dikembangkan makanan khas Aceh, mie Aceh, kanji rumbi, emping breuh, timphan, lincah mameh (rujak manis), dan berbagai jenis masakan lainnya.

Dalam waktu dekat ini, Bengkupi akan hadir di Kota Medan, dan Jakarta.

Tak lengkap rasanya, jika Anda berkunjung ke Aceh tanpa singgah di Bengkupi, di Jalan Medan-Banda Aceh, Kota Juang Bireuen.[]