Banda Aceh – Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh memutuskan menolak gugatan Walhi Aceh dan meminta penggugat membayar biaya perkara sebesar Rp 162.000,-.

Hakim berpendapat bahwa penyelesaian sengketa oleh pihak-pihak berperkara harus terlebih dahulu ditempuh jalan musyawarah diluar pengadilan. Hal ini menurut hakim sesuai dengan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Namun pihak Walhi mengaku sudah pernah menempuh proses di luar jalur pengadilan. Sebelum mengajukan gugatan WALHI Aceh telah memberikan somasi. “Tapi somasi ini tidak pernah ditanggapi Gubernur Aceh,” kata T. Muhammad Zulfikar.

Zulfikar menambahkan, menurut peraturan, jika ada pihak-pihak berkeberatan atas administrasi tata usaha negara, dalam hal ini Surat Izin Gubernur, maka gugatan harus dimasukan ke PTUN dalam jangka waktu 90 hari atau tiga bulan. Selama masa ini, somasi dari WALHI Aceh tidak pernah mendapat tanggapan dari Pemerintah Aceh.

WALHI Aceh menganggap keputusan hakim PTUN Banda Aceh ini tidak tepat. “Ini mengungkap skandal karbon Indonesia di mata internasional, dimana Indonesia menggembar-gemborkan penurunan emisi melalui moratorium di depan mata komunitas internasional tetapi fakta di lapangan tidak ada fakta pendukungnya,” ujar T. Muhammad Zulfikar.

WALHI Aceh akan mengajukan banding atas keputusan ini. Ketua Satgas REDD, Kuntoro, berkali-kali didepan forum internasional memastikan akan menjadikan moratorium logging sebagai cara untuk mengurangi emisi. SBY pun menetapkan pengurangan emisi sebesar 26 persen. “Kalau seperti ini mengelola hutan, target itu hanya menjadi lelucon saja,” jelas Zulfikar. (maiwanews)