Jakarta — Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mempertanyakan komitmen dan kesungguhan pemerintah dan pemerintah Aceh terhadap agenda pembentukan pengadilan HAM Aceh dan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh. Padahal, dua poin ini, secara jelas dinyatakan dalam Nota Kesepahaman antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

“Kami menyayangkan sikap abai pemerintah, baik di tingkat nasional maupun di Aceh yang cenderung mengulur-ngulur implementasi dua poin tersebut. Pembentukan pengadilan HAM untuk Aceh dan Pembentukan KKR di Aceh merupakan amanat rakyat di Aceh yang menderita dimasa konflik bersenjata antara GAM dan aparat TNI,” ujar Koordinator Kontras, Haris Azhar, dalam siaran persnya yang diterima Suara Karya, pekan lalu.

Para korban, kata dia, membutuhkan kepastian hukum serta kebenaran atas apa yang terjadi di masa lalu. Maraknya penggalian kuburan di Aceh oleh keluarga korban akhir-akhir ini, adalah bukti dari kebutuhan atas “kebenaran” di masa lalu.

Hal ini sekaligus menunjukan lemahnya tanggung jawab pemerintah Aceh dan pemerintah pusat dalam mengawal agenda keadilan transisi di Aceh. Selain itu, kekerasan yang terjadi dalam rangkaian pemilihan gubernur, menunjukan proses perdamaian dan rekonsiliasi di Aceh masih sangat rentan,” ujarnya menambahkan.

Lebih jauh lagi, katanya, dua mekanisme ini dibutuhkan sebagai prasyarat untuk mendorong lahirnya rekonsiliasi di antara masyarakat Aceh dan menjaga perdamaian. Penegakan hukum yang adil dan kebenaran yang terungkap secara resmi akan menjadi pilar utama membangun perdamaian dan stabilitas politik di Aceh.

Oleh karenanya, Kontras meminta agar Presiden SBY segera memerintahkan Kementerian Hukum dan HAM membuat UU Pembentukan Pengadilan HAM di Aceh. Kemudian, Kontras juga menyarankan agar DPRA dan Gubernur Aceh terpilih, segera merumuskan pembentukan KKR Aceh,” katanya. (suarakarya)