Seputaraceh

Menkeu: Nilai Pecahan Rupiah Belum Efisien

Menkeu: Nilai Pecahan Rupiah Belum Efisien
Menkeu: Nilai Pecahan Rupiah Belum Efisien

Jakarta — Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan nilai pecahan uang rupiah saat ini belum efisien sehingga upaya penyederhanaan jumlah digit mata uang atau redenominasi harus dilakukan.

“Saat ini pencapaian perkembangan perekonomian nasional yang cukup baik, belum didukung dengan nilai pecahan uang rupiah yang efisien,” ujarnya dalam memberikan sambutan acara konsultasi publik perubahan harga rupiah di Jakarta, Rabu (23/1).

Menurut Agus, nilai rupiah yang memiliki jumlah digit terlalu banyak berpotensi menyebabkan inefisiensi serta menimbulkan pemborosan dalam penyajian laporan akuntansi dan penggunaan memori pada perangkat teknologi informasi.

“Sebagai contoh proses input data, pengelolaan data base, pelaporan data dan penyimpanan data akan cenderung tidak efisien,” katanya.

Selain itu, lanjut Agus, nilai uang dengan jumlah digit yang banyak juga menimbulkan kerumitan perhitungan dalam transaksi ekonomi sehingga berpotensi menimbulkan kekeliruan serta memakan waktu lebih lama.

“Dari sistem pembayaran non tunai, jumlah digit yang terlalu besar dapat menyebabkan permasalahan transaksi akibat nilai transaksi yang melampaui jumlah digit yang ditolerir infrastruktur sistem pembayaran dan pencatatan,” katanya.

Untuk itu, Agus menjelaskan perubahan harga mata uang atau redenominasi diperlukan karena dapat meningkatkan kepercayaan terhadap nilai rupiah, mempermudah sistem pembayaran serta mencerminkan kesetaraan kredibilitas dengan negara maju lainnya.

“Dengan adanya redenominasi, nilai rupiah semakin berharga dan dapat disejajarkan dengan nilai mata uang negara lain. Saat ini kondisi ekonomi Indonesia menunjukkan perkembangan baik, sehingga kondusif bagi pelaksanaan redenominasi,” ujarnya.

Ia memastikan proses redenominasi berbeda dengan sanering yang merupakan pemotongan nilai uang, karena redenominasi merupakan penyederhanaan nominal yang sama atas harga barang dan jasa, sehingga daya beli masyarakat tidak berubah.

“Masyarakat diharapkan memahami perbedaan redenominasi dengan sanering agar tidak terjadi kesalahpahaman dan resistensi di kalangan masyarakat,” kata Agus.

Menurut dia, keberhasilan melaksanakan redenominasi dengan menghilangkan tiga angka nol dalam harga barang dan jasa, membutuhkan dukungan kuat dari lapisan masyarakat, dilakukan pada perekonomian stabil dan adanya landasan hukum serta edukasi yang intensif.

Namun, pemerintah juga perlu mempelajari beberapa kasus kegagalan redenominasi di negara lain, apalagi Indonesia pernah mengalami kegagalan redenominasi pada tahun 1965 ketika kondisi perekonomian nasional mengalami ketidakstabilan.

“Kegagalan di Rusia, Brasil, Argentina dan Zimbabwe karena implementasi kurang tepat yaitu dilaksanakan ketika kondisi fundamental perekonomian memburuk dan adanya kebijakan makro yang tidak sehat,” ujar Agus. (ant)

Belum ada komentar

Berita Terkait