Kisah tentang perjuangan perempuan perkasa, Anita Fauziah Fairuz, yang melepas karir di perusahaan transnasional dan memilih menjadi guru honorer di pedalaman Aceh Besar.

MENTARI belum benar-benar terang ketika Anita menunggu becak langganannya di simpang jalan dekat rumahnya, di Neusu Banda Aceh. Rabu pagi di awal Februari itu, ia tak mau mengalah pada waktu. Pukul 06.10 pagi ia harus sudah tiba di Simpang Lima, menyergap labi-labi pertama. Dalam dingin, ia berpacu dengan waktu.

Kesempatan untuk mendapat trip Banda Aceh-Krueng Raya memang bukan sekali. Tapi, terlambat lima menit saja berarti Anita harus menunggu lebih lama. Angkutan kedua baru datang satu jam kemudian.

Beruntung dia dapat armada pertama, pukul 06.45, labi-labi hitam putih, belum penuh.

Perjalanan pagi itu datar saja. Tak banyak cerita dalam kabin belakang labi-labi. Hanya tentang orang-orang menguap, setengah mengantuk karena menerobos sisa embun saat pagi akan usai. Anita pun diam saja. Gerakannya hanya untuk mengatur posisi duduk dan merapikan jaket.

Banda Aceh-Krueng Raya tembus dalam satu jam 25 menit. Penumpang budiman harus maklum, karena angkutan umum bernama labi-labi sering berhenti untuk “bongkar-muat”. Anita tiba pukul 08.10, meleset sepuluh menit dari target. Tapi, tak menggerutu, karena satu kerisauannya tentang waktu sudah lepas. Ia sudah sampai tujuan.

Anita Fauziah Fairuz melewati pagi-pagi seperti ini sejak tiga tahun lalu. Sejak ia memutuskan menjadi guru di SMA Negeri Lamteuba di Desa Ateuk, Kecamatan Seulimum, Aceh Besar, tahun 2005 silam.

Anita putri Aceh tulen. Ia lahir di Banda Aceh, 17 Juli 1966 silam, dari sebuah keluarga dengan ekonomi mapan. Lahir sebagai anak keempat dari lima bersaudara, cuma Anita satu-satunya anak dalam keluarga itu yang tidak bercita-cita terlalu tinggi. Ia ingin menjadi guru.

Setelah menamatkan pendidikannya di SMA Negeri 3 Banda Aceh, Anita melanjutkan studinya ke Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Ia memilih jurusan bahasa Indonesia dan menyelesaikannya pada tahun 1994.

Setahun setelah meraih gelar sarjana, Anita menunda jadi guru. Ia diterima bekerja di perusahaan transnasional Jepang di Malaysia, Philips JV Malaysia (PJVM) . Ia bekerja di sana dua tahun, sebagai assisten supervisor. Ia menunjukkan prestasi bagus, sehingga manajemen perusahaan itu kemudian merekomendasikan namanya untuk leader engineering cabang JVC Electronics Indonesia di Jakarta.

“Saya kemudian pindah ke Jakarta dan bekerja di sana delapan tahun,” kata Anita Fauziah.

Loyalitas dan pengabdian di perusahaan itu membuat Anita akhirnya diangkat sebagai karyawan dengan klasifikasi pendapatan tinggi, grade I. Gajinya bahkan sampai Rp10 juta per bulan, belum termasuk berbagai fasilitas dan tunjangan rutin yang didapatnya.

Tapi, ketika hantinya tersentuh, perempuan yang masih melajang ini meninggalkan semuanya. Kerja itu, gaji itu dan semua kemewahan yang didapatnya.

Pada pertengahan 2005, beberapa bulan setelah tsunami meluluhlantakkan Aceh, Anita mendengar berita tentang ribuan guru di Aceh meninggal dunia dalam bencana. Tanah kelahirannya kekurangan banyak guru. Anita terpanggil. Dia ingin pulang. Akhirnya ia mengambil keputusan penting dalam hidupnya; mengundurkan diri dari perusahaan besar itu.

“Waktu itu, yang ada di pikiran saya cuma satu, menjadi guru,” ujar Anita. Maka, ia tak berpikir panjang ketika seseorang menawarkannya untuk menjadi guru di SMA Lampanah, Seulimum. Ia setuju menjadi guru honorer. Gajinya ratusan ribu rupiah per bulan.

“Saya mengajar di SMA Lampanah cuma tiga bulan. Setelah itu, Kepala SMA Lamteuba mendatangi saya dan berharap saya mau pindah ke sekolahnya, karena benar-benar kekurangan guru,” kenangnya.

SMA Lamteuba terletak di kaki Seulawah, hampir 70 kilometer dari pusat Kota Banda Aceh. Sekolah ini dibangun tahun 2003 silam, ketika sudah semakin banyak lulusan SMP satu-satunya di sana mengeluh tak ada sekolah lanjutan. Pada Juni 2008, status sekolah ini menjadi sekolah negeri dan dua bulan setelah itu diresmikan pemerintah.

Cuma ada 16 guru di sana; lima Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan 11 honorer. Lebih setengah guru di sekolah ini datang dari jauh, di antaranya Banda Aceh, Lhoknga, Sibreh dan Montasik, Aceh Besar. Sisanya, penduduk Lamteuba.

Guru yang datang dari jauh mengajar tiga hari dalam sepekan. Senin, Selasa dan Rabu, atau seperti Anita Fauziah Fairuz, dijatahi Rabu, Kamis dan Jumat. Guru-guru jauh ini tidak pulang-pergi saban hari. Mereka akan menginap di mess sekolah dan akan pulang ke rumah masing-masing di hari terakhir mengajar.

“Guru-guru yang rumahnya jauh ini membawa bekal beras dan lauk-pauk ke sekolah. Mereka tinggal di mess. Kalau setiap pagi pulang-pergi, akan sangat melelahkan,” kata Musnidar, salah satu guru muda di sekolah itu.

Sebagai pelengkap, sekolah itu merekrut tiga tenaga tata usaha; dua honorer dan seorang PNS.

***

MASIH ada tantangan besar bagi Anita setelah sampai ke Krueng Raya. Salah satunya, cara menyusur rimba untuk menggapai sekolah.

Tidak ada transportasi umum dari kawasan pelabuhan itu menuju Lamteuba. Jalan memang sudah teraspal. Tapi, Pemerintah Kabupaten Aceh Besar sampai sekarang belum punya inisiatif membebaskan kawasan pedalaman itu dari belenggu isolasi. Lamteuba, dengan kesederhanaannya, terus tersekat.

Anita harus menunggu truk pengangkut kayu. Truk pun tak banyak. Sehari cuma ada dua, masuk pagi keluar sore. “Belakangan ini truk pengangkut kayu semakin jarang, karena pemerintah sudah memberlakukan jeda tebang. Cuma ada satu dua truk yang nekad,” kata Anita.

Atau, seperti pekan lalu, ia menumpang omprengan penjual ikan keliling, sehingga ketika tiba di sekolah wangi cologne di pakaiannya berganti amis darah bandeng.

Supir truk dan omprengan ikan memberinya tumpangan gratis. Tapi, bukan berarti perjalanan ke Lamteuba selalu mulus.

Suatu hari supir omprengan setengah baya, yang bekerja sendirian tanpa kondektur, memberinya tumpangan. Anita duduk di depan, di samping supir. Ia mengira perjalanan itu akan lancar, karena biasanya supir berani berangkat tanpa pendamping hanya jika kondisi mobil benar-benar fit dan ia tidak sedang mengantuk. Tapi, keadaan benar-benar tak selalu sesuai taksiran. Omprengan mogok di tengah rimba.

“Hanya kami berdua. Tidak ada orang lewat pagi itu. Waktu itu, supir memeriksa mobil dan saya tidak bisa apa-apa. Ternyata batere mobil soak. Supir masuk ke kabin dan saya harus menolongnya. Saya perempuan, sendirian mendorong mobil di tengah rimba,” kata Anita.

Tantangan bukan hanya ada saat berangkat ke sekolah. Pulang pun penuh masalah. Anita pernah harus menunda pulang ke Banda Aceh karena pada hari terakhir dia mengajar truk pengangkut kayu yang ditunggunya tidak muncul setelah ditunggu dari siang sampai petang.

Ketika merasa jera pada truk dan omprengan, Anita nekad ke sekolah dari Banda Aceh ke Lamteuba dengan sepeda motor. Kali ini ia tidak khawatir terlambat atau tak mendapat tumpangan truk dan omprengan. Sepeda motornya lebih tepat pada jadwal. Tapi, kini ia khawatir pada rampok.

***

KEPALA SMA Negeri Lamteuba, Hamdani, memberi kepercayaan besar kepada Anita Fauziah Fairuz, karena perempuan ini berwawasan lebih luas ketimbang guru-guru lain di sekolah. Anita mengajar bahasa Indonesia di kelas satu dan tiga, setelah setahun jadi guru khusus untuk studi antropologi. Dia juga mengisi ekstrakurikuler les sore untuk kelas tiga,  penanggung jawab bimbingan dan konseling, sampai menjadi pendamping ketika tamu-tamu penting datang ke sekolah.

Sepanjang dua tahun pertama pengabdiannya di SMA Lamteuba, Anita dipercaya menjadi pembina upacara tunggal di sekolahnya. Setiap Senin pagi, selama dua tahun, ia berdiri di depan ratusan siswa-siswi untuk berpidato. Ia absen dari upacara hanya ketika sakit. Selama dua tahun pula Anita berangkat Minggu sore ke Krueng Raya dan baru kembali ke Banda Aceh pada Rabu, setelah mengajar tiga hari. Jadwal itu baru berubah setahun lalu, ketika kepala sekolah memutuskan mengganti pembina upacara.

“Dalam setiap pidato upacara pengibaran bendera, saya berupaya membuka wawasan anak-anak, tentang betapa pentingnya mereka sebagai generasi yang akan membuka isolasi Lamteuba,” kata Anita.

Anita loyal dan melaksanakan semua tugasnya tanpa mengeluh.

Ia sering selesai mengajar pukul 13.45, ketika sekolah bubar. Dari sekolah, ia pulang ke mess guru, yang terletak 40 meter di belakang kantor guru. Di mess itu, ia makan siang dan beristirahat sejenak. Belum pulih letihnya, ia bergegas kembali ke kelas, mengajar les.

Anita juga tak pernah menyerah pada keadaan. Pernah suatu hari ia nekad berangkat dari Banda Aceh ke Lamteuba dengan sepeda motor. Di perjalanan, hujan turun deras menembus mantel dan ia basah kuyup. Ia terlambat tiba di sekolah dan mendapati hampir setengah dari jumlah siswa sekolah itu tidak hadir. Ia pantang putus asa. Dikumpulkannya siswa dari dua kelas dan ia mengajar ketika tubuhnya masih menggigil kedinginan.

“Saya tidak ingin siswa di sekolah ini patah semangat”.

“Ketika siswa pergi ke sekolah dengan penuh keyakinan, guru tidak boleh mematahkan semangat mereka,” ujarnya.

***

ANITA meninggalkan karir dan kehidupan mewahnya di Jakarta dengan niat tulus, mengabdi. Ia ikhlas menjadi guru honorer dengan gaji Rp480 ribu sebulan, yang dibayar berdasarkan hitungan jumlah jam ia mengajar. Ia dibayar Rp10 ribu untuk satu jam, sungguh jauh dari Rp10 juta per bulan yang didapatnya ketika masih bekerja di Philips.

Ia benar-benar tak mengincar materi dan kondisi serba mudah.

“Kalau saya ingin itu, tiga tahun lalu saya sudah menerima tawaran mengajar di SMA tiga Banda Aceh, atau bekerja di nongovernment organization. Tapi, saya memilih mengajar di Lamteuba saja,” katanya.

Banyak orang meminta agar Anita berhenti mengajar di Lamteuba dan melamar pekerjaan lain, apalagi ia seorang perempuan cerdas. Saudara-saudaranya–yang tertua dosen di Jakarta, kedua wiraswastawan di Banda Aceh, ketiga dan si bungsu yang kelima staf di NGO asing–menganjurkan hal sama. Tapi, Anita merasa pengabdiannya di Lamteuba belum cukup. Ia masih ingin mengajar di sana.

Kini ia hanya berpikir agar siswa-siswi di sekolahnya pintar dan lulus SMA, lalu melanjutkan studi ke perguruan tinggi. “Bangga rasanya jika ada alumni SMA Lamteuba yang tembus ke universitas terkenal. Sudah tiga alumni sekolah ini yang diterima di universitas terkenal di pulau Jawa. Ada juga yang diterima di Unsyiah,” ujar Anita.

Status sebagai guru honorer tak membuatnya surut. Ia pernah tiga kali mendaftar Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), tapi ia tak lulus. Katanya, “belum rezeki”.

Tak banyak guru seperti Anita, yang mau mengorbankan hal-hal penting dalam hidup demi sebuah pengabdian. Dalam hitungan seribu, barang kali cuma ada satu. Keikhlasannya mengabdi membuat Anita Fauziah Fairuz bersinar seperti mutiara, yang tersembunyi dan terasing di Lamteuba. [Andi Irawan]