Wak Ma’e adalah orang kampung. Kedekatannya pada segala kebutuhan, baik kebutuhan fisik atau pskhis umumnya “beraliran” tradisionil. Juice kesukaannya pisang thok. Kuliner ringan kegemarannya canggruk (butiran sagu masak dicampur santan), cemilan yang paling dia gandrungi boh bi teucroh (ubi belah yang digoreng). Dan karena kesukaannya mengunyah sirih sejak muda, giginya masih sempurna dan kuat kendati saat ini usianya sudah lebih 60 tahun sehingga keripik ubi yang keras itu juga biasa dijadikannya sebagai pelalai kunyahan senggang waktu.

Dan pagi itu, dari desanya di Gampong Baro, ia mengayuh sejarak tiga kilometeran sepedanya yang tua itu menuju pasar tradisionil Grong-Grong. Padahal untuk urusan membeli segala kebutuhan bukankah pasar Kota Sigli lebih lengkap dan dekat? Desa Gampong Baro berada dalam wilayah Kecamatan Pidie. Tapi secara geografis dia sudah tergolong desa-kota karena letaknya nyaris persis di tepian Kota Sigli sebagai ibukota Kabupaten Pidie di mana pasarnya menjual lengkap bahkan untuk segala kebutuhan sekabupaten warga. Kenapa musti lelah-lelah mendayung sepeda karatan ke pasar Grong-Grong?

“Di pasai Sigli hana ureueng meukat bakong rukok yang mangat. Na dua droe ureueng meukat, mandua jimeukat bakong murah (di pasar Kota Sigli tidak ada penjual tembakau yang berkualitas. Ada dua penjual, dua-duanya menjual tembakau murahan),” kata Wak Ma’e (nama aslinya Ismail Ben) beberapa waktu lalu di pasar Grong-Grong. Jadi rupanya Wak Ma’e bukan saja pe-juice pisang thok, peminum canggruk, pengunyah bi teucroh dan pengagum seudati serta penyorak geudeue-geudeue, tetapi dia juga penghisap rukok on (rokok daun/sering disebut rokok linting).

Sempurnalah sudah Wak Ma’e sebagai manusia yang hidup di zaman yang bukan miliknya lagi namun tetap sebagai orang tua yang kuat mengusung segala adat-budaya dan tradisi serta kebiasaan-kegemaran personal yang mewakili adat-budaya dan tradisi serta kebiasaan-kegemaran kolektivitas zamannya. Namun dia harus kuat pula menghadapi fakta di zaman yang memang sudah sah dimiliki generasi terkini, paling kurang dalam wujud kelangkaan penjual tembakau rokok linting.

Adalah kenyataan, bahwa di tengah gencarnya pasaran berbagai merek rokok produk industri, tembakau rokok linting masih tetap diproduksi seperti bakong (tembakau) Takengon, bakong Blangkeujren dan bakong Aceh. Tetapi mari dihitung. Berdasarkan pantauan beberapa waktu lalu, penjual tembakau tradisionil itu kini hanya tinggal tiga orang di pasar Beureunuen, dua orang di pasar Grong-Grong, dua orang di pasar Kembang Tanjong, dua orang di pasar Lamlo, satu orang di pasar Caleue dan satu orang di pasar Ileubeue di mana ini pun hanya sebatas hari Rabu saja karena hari pekan. Di pusat pasar Kecamatan Glumpang Baro, malah tidak ada samasekali.

Kiranya, Zakaria Ali, 52 tahun, warga Adan Meunasah Dayah, Kecamatan Mutiara Timur, masih tetap eksis sebagai penjual tembakau rokok linting di pasar Kota Sigli. Tembakau yang sering disebut dengan bakong takengon (berwarna kuning) dan bakong blangkeujren(berwarn coklat kehitaman) ini dipasok dari Takengon, Aceh Tengah dan Blangkeujren, Gayo Lues.

Hingga Agustus 2008 lalu, Zakaria masih mampu menjual peunajoh ureung tuha itu rata-rata Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu per hari. Tetapi dua pekan lalu ketika wartawan datang ke pasar itu dan bertanya pada salah seorang penjual rempah di situ, “Ho ka ureueng meukat bakong rukok di sinoe? (sudah ke mana pedagang tembakau rokok linting yang berjualan di sini?).” Lalu mereka menjawab, “O, dia sudah lama tidak lagi berjualan tembakau rokok daun di sini.”

Walhasil, di seukuran pasar rempah Kota Sigli saja sebagai pasar kabupaten, kini penjual bakong rukok cuma tersisa dua orang, itu pun barang jualan mereka seperti yang Wak Ma’e kita bilang, cuma menjual bakong-bakong berkualitas rendah, apalagi di pasar Glumpang Baro Trueng Campli yang konon karena kemakmuran hidup dari limpahan hasil tambak dan lahan pertanian yang subur, mereka lebih merasa nyaman dengan keakraban bibir mereka mengecup-menghisap ujung filter rokok produk industri; bahkan konon sampai ke orang tua-orang tuanya begitu. Ya, sudah. Itu menyangkut selera. Tak ada yang harus disesali. Yang tuha-tuha juga berhak berselera tinggi.

“Dikee nah kupiep rukok on kon karena selera rendah, hai Nyak. Tapi memang ka nyoe peunajoh kuh seujak muda. Lagi pula kalau saya hisap rokok pabrik, saya langsung batuk-batuk karena kata orang memang banyak sekali zat kimianya yang tidak jelas. Kalau merokok tembakau Takengon begini, lempang saja. Tak batuk-batuk. Tak ada efek buruk apa pun. Apalagi kalau saya merokok tembakau Aceh Rayeuk, malah kerongkongan saya bersih dan bersuara nyaring,” pungkas Wak Ma’e kita seraya menelisik dua lidi daun nipah kering dengan panjang sejari (on rukok) dan lalu mengisinya dengan sejumput tembakau Takengon terus membakar ujungnya dengan keh beusoe berbahan bakar minyak bensin keluaran tahun 70-an yang kini konon juga tidak lagi diproduksi. (*/ha/musmarwan abdullah)