Di desa itu, gajah tak hanya merusak kebun penduduk. Tiga rumah roboh, mesjid rusak. Warga harus mengungsi.

DI ATAS perahu tradisional yang kami tumpangi, belum ada bayangan apa-apa tentang Desa Alue Gejerun, tempat yang akan kami tuju. Di mobil tadi, rekan-rekan sesama wartawan yang ikut meliput ke lokasi hanya bercerita tentang situasi desa. Masyarakat yang ketakutan diteror kawanan gajah liar, akses transportasi darat sangat minim, letak desa di kaki Gunung Leuser dan nikmatnya ikan kerling, ikan khas yang hanya terdapat di alur sungai Alas, tempat warga setempat menggantungkan mata pencarian.

Tiga jam dihempas arus deras ombak terasa tak terlalu melelahkan. Kicauan burung, gaduhnya monyet-monyet yang bergantungan di pohon-pohon berukuran raksasa seakan menemani perjalanan kami hari itu, Minggu 11 Oktober.

Meski pun tentu saja ada rasa tak sabar untuk segera melihat langsung separah apa sebenarnya amukan gajah-gajah yang memaksa warga mengungsi dari desanya itu.

Gak bisa terlalu kencang pak, karena kita tujuh orang di perahu ini. Kalau dua atau tiga orang biasanya tiga atau tiga jam setengah sudah sampai,” kata Agam, pemuda setempat yang perahunya kami booking sepanjang hari itu.

Setibanya di Desa Alue Gejerun warga beramai-ramai berdiri di tepi sungai. Meski sempai heran, namun akhirnya terjawab, seorang rekan wartawan memberitahukan. “Agam sudah memberitahu kedatangan kita, makanya kita disambut,” kata kawan ini dengan raut wajah bangga.

“Warga di sini jarang lihat televisi, jadi belum terlalu paham tentang profesi wartawan” kata dia lagi.

Warga lalu menggiringi rombongan kami menuju ke salah satu rumah yang ambruk diamuk gajah. Pemandangan yang mengerikan. Bayangkan saja, rumah berkonstruksi papan berukuran lima kali 10 meter terbalik dengan posisi atap tepat berada di bawah. Beberapa papan di dindingnya patah dan paku-pakunya terlepas dari tiang.

“Ini rumah Pak Abadi, saat gajah mengamuk dia sedang tidur, untung saja dia tidak apa-apa,” kata Abu salah seorang warga yang ladangnya ikut menjadi korban keganasan gajah.

Kata dia lagi, ketika rumahnya terbalik, Pak Abadi ikut terpelanting-pelanting di kamar tidurnya. Menyadari yang menerjang rumahnya adalah gajah, Pak Abadi berlari sekuat tenaga ke rumah Abu. Keesokannya, ia mengungsi bersama keluarganya ke Desa Manggamat, Kecamatan Kluet Tengah Kabupaten Aceh Selatan. Pak Abadi bahkan pernah berkata, ia tidak akan kembali ke desanya.

Selain tiga rumah penduduk, satu-satunya mesjid yang ada di Desa Alue Gejerun juga ikut terkena amukan kawanan gajah. Beruntung, hanya dinding bagian depan saja yang dirusak. Karena serangan gajah ke mesjid itu, beberapa  warga mengaku mulai was-was menjalankan ibadah malam dimasjid itu, khawatir gajah-gajah liar ini kembali menyatroni masjid tersebut.

“Kami bahkan bergantian jaga malam pak, kalau gajah itu datang lagi paling tidak kami bisa membangunkan seluruh warga untuk menyelamatkan diri,” kata Abu menjelaskan kondisi di desa mereka sepekan terakhir.

Berdasarkan pengakuan Abu, sebenarnya kejadian itu sudah dilaporkan warga ke Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Selatan, namun hingga saat ini pengaduan mereka belum juga ditanggapi. “Sudah kami laporkan, namun entah kenapa sampai sekarang belum ada bantuan pada kami” ungkap Abu dengan wajah murung.

Setelah melihat-lihat kondisi desa, rombongan kami memutuskan untuk makan bersama di salah satu rumah penduduk, sebelum kembali ke Tapak Tuan, ibukota Kabupaten Aceh Selatan. Di sinilah kami membuktikan cerita orang-orang tentang sensasi ikan kerling.

Benar saja, ternyata, nikmatnya ikan kerling memang berbeda dari ikan-ikan lainnya, meski hanya direbus dengan campuran asam dan garam saja, cukup membuat rombongan kami menyantap hidangan sederhana ini dengan lahap.

Sedang lahapnya menyantap ikan kerling, tiba-tiba seorang lelaki bertubuh kekar, berkulit legam nyelonong masuk menghampiri kami. Mukanya pucat, dengan raut wajah putus asa. Matanya sayu seperti sedang menahan-nahan kantuk yang luar biasa. Sedikit bergetar suaranya yang serak terdengar berat.

“Pak, kampung kami diamuk gajah. Kalau sudah di-shooting, apakah akan ada bantuan untuk desa kami…?” [Muhammad Roni]