Aceh Utara – Pemerintah pusat maupun BPK (Badan Pemeriksaan Keuangan) RI diminta segera mengaudit terhadap penyaluran berbagai jenis dana BRA (Badan Reintegrasi Aceh) di provinsi aceh. pasalnya, penyaluran dana bantuan korban konflik saat ini menjadi tanda Tanya masyarakat. Hal itu terbukti ketika ribuan data korban konflik aceh yang terkumpul di salah satu lembaga pusat LSM Aceh Future. Masyarakat mengusulkan permohonan itu melalui lembaga agar dapat direalisasikan pemerintah.

Menurut penilaian Aceh Future, BRA Aceh saat ini diduga ada suatu indikasi yang menjadi hambatan penyaluran bantuan tersebut. Pihaknya sangat mendesak meminta pemerintah pusat untuk mengaudit tentang keberadaan permohonan masyarakat yang telah digantung semenjak akhir-akhir tahun ini.

Permintaan itu dikatakan Ketua pusat LSM Aceh Future, Razali Yusuf kepada media ini, Rabu (15/2), menurut Razali, hal itu tentu saja mengundang keprihatinan dan atensi dari semua pihak. Razali juga meminta segera aparat penegak hokum untuk beresponsif terhadap ulah oknum di BRA Aceh. Padahal diperlukan langkah penyelidikan supaya indikasi yang tidak transparan bias terungkap dengan jelas.

Karena itu, untuk lebih objektif dalam mengetahui indikasi penyimpangan serta kerugian Negara yang ditimbulkan, maka sudah sepatutnya pihak pemerintah maupun BPK turun tangan mengaudit penyaluran dana korban konflik di provinsi aceh. “Kita meminta kepada pemerintah, rakyat yang terkena imbas dari konflik agar disalurkan bantuan kompensasi, Karena itu memang jatah mereka, sementara kita harus memanggil pemerintah pusat maupun Badan pemeriksaan keuangan untuk mengaudit BRA” sebut Razali.

Beberapa warga yang ikut menanyakan keberadaan usulan mereka yang kian lama hanya menunggu janji muluk yang tak wajar. Salah satunya Idris Amin (57) warga desa Mantang Seuke Pulot, dan Abdurahman (60) warga Matang Serdang, keduanya adalah masyarakat kecamatan Tanah Jambo Aye, Aceh Utara. Mereka adalah warga yang terimbas perang bersenjata beberapa tahun silam itu, tapi hingga kini belum tersentuh bantuan dalam bentuk apapun dari pemerintah terkait.

kisah yang diceritakan Idris Amin yang menimpa dirinya, pada tahun 1990 silam ia menjadi salah satu korban penganiayaan, dia pernah dihukum dengan setrum kontak tenaga listrik hingga kepalanya terjadi ganggguan. ia pernah berobat demi kesembuhannya, tapi usahanya itu tidak berbuah hasil. Hingga dia tidak mampu berobat lagi karena biaya yang tidak memungkinkan.Walaupun sesekali dia menjerit kasakitan karena dari imbas pemukulan itu dia biarkan berlalu saja. ”Karena saya tidak mampu berobat lagi, soal usulan sudah capek saya usulkan namun belum ada apaya dari pemerintah kita.” Katanya.

Namun ketika memasuki darurat militer di aceh pada tahun 2003 lalu, ia juga sering kali mendapatkan pemukulan, tapi pemukulan kali ini tidak separah pada tahun 90-an itu. Hingga usai konflik, idris yang berfrofesi petani tidak bisa lagi bekerja seperti biasanya. Sedangkan untuk mencukupi kebutuhan empat anak dan seorang istri ia juga harus bertani, walau ia sakit-sakitan.

Beberapa kali ia pernah mencoba membuat permohonan bantuan kepada pemerintah terkait, untuk mendapatkan biaya berobat. Tapi tak berbuah hasil, dan kini dia hanya pasrah saja, dengan sakit yang menggelinting tubuhnya itu.

Hal serupa juga terjadi pada Abdurrahman. Ayah tujuh orang anak ini juga mendapatkan perilaku yang sama, yaitu terjadi pemukulan kepada dirinya pada pertengahan tahun 2003, ia dipukul ketika sekolompok orang menanyakan dimana keberdaan anaknya. Sebab anaknya itu adalah ‘pasukan Gerakan Aceh Merdeka.’ Tapi ia tidak bisa menunjukan keberadaan anaknya itu, karena tidak tahu, kemana rimbanya waktu itu. Tetapi sekawanan orang yang memakai seragam militer itu tidak mendengarkan , hingga dia dipukuli dan mengeluarkan darah lewat mulut.

Akibat dari pemukulan Sembilan tahun silam itu, hingga kini masih ditanggungnya. dan pernah beberapa kali ia membuat permohonan bantuan untuk biaya pengobatan, sayang, peromohonan itu tak tau lagi kemana rimbanya dan tak ada bantuan yang mengalir kepadanya. Inilah sepenggal kisah yang dicerita Munawar (25) anak ke tiga dari Abdurrahman yang menimpa ayahnya.” Saya berharap pemerintah mau memberikan bantuan untuk biaya berobat.”

Lanjut Munawar, ayahnya selaku petani tidak lagi mampu untuk bekerja keras, kalau bekerja keras sesekali sakit di dadanya itu yang membuatnya terjerit kesakitan. “kalau ayah berobat, sekali berobat itu Rp. 100 ribu. Jadi dari mana uang sebanyak itu setiap kali berobat, hingga akhirnya ayah tidak berobat lagi,”jelasnya.

Keberadaan kondisi kedua warga itu tak jauh beda dari sejumlah ribuan warga lainnya yang telah menumpuk datanya kepada LSM Af yang saat ini masih digantung BRA. (Jamal/Radar Nusantara)