Lebih baik hujan emas di negeri orang daripada hujan batu di negeri sendiri, mungkin inilah filosofi bagi mereka yang berprofesi sebagai pemburu emas. Buktinya di Kecamatan Tangse, Manee dan Geumpang, Pidie, kini marak didatangi ahli penambang emas dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan dari luar negeri.

Mereka datang dengan satu tujuan, memburu emas yang terkandung dalam perut bumi kawasan itu. Kini jumlah lokasi penambangan logam mulia itu semakin hari semakin bertambah, bahkan menurut kabar telah berjumlah puluhan unit peralatan penambangan yang beroperasi. Hasilnya sangat mencengangkan. Di antara unit mesin penambang itu ada yang telah mengumpulkan emas sebanyak 1-3 kilogram hanya dalam satu bulan. Meski belakangan diketahui mutu emasnya di bawah standar emas murni.

Namun hal itu tidak jadi soal, toh satu kilogram saja bisa dihargai sebesar Rp350.000.000. Mungkin inilah yang mendorong pemburu emas merambah wilayah Tangse, Manee dan Geumpang.

Puluhan titik lokasi penambangan yang kini tengah beroperasi, konon satu pun diduga tidak memiliki Izin Usaha Penambangan (IUP), baik dari Pusat, Provinsi maupun dari Kabupaten. Kecuali, dua perusahaan multinasional di bidang eksplorasi mineral, East Asia Minerals Cooperation (ESMC) dan Woyla Aceh Minerals yang mengantongi izin Kontrak Karya (KK) dengan pemerintah Indonesia

Puluhan unit usaha pertambangan yang kini beroperasi dinilai sebagai praktik Illegal Minning (penambangan tak berizin) dan telah mengangkangi  UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Sejauh ini belum ada action dari Pemerintah Daerah Pidie untuk menertibkan usaha tersebut.

Bahkan Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Aceh pada tahun lalu telah meminta Bupati Pidie untuk segera mencabut izin empat perusahaan tambang emas yang beroperasi di Tangse dan Geumpang, karena IUPnya telah habis masa berlaku selama tiga tahun.

Jumlah kandungan emas di Tangse, Manee dan Geumpang menjadi kontroversi, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindag-Kop) Pidie, melalui Kabid Pertambangannya pernah mengeluarkan statemen bahwa kandungan emas di areal seluas 50.000 Hektar sebesar 5 hingga 40 PPM (part per milion). Atau setara satu ton batu ada lima gram emas. Lima PPM itu artinya 5 per 1 juta miligram atau 0,5 gram per 1 ton. Belakangan perkiraan tersebut dibantah Distamben Aceh.

Ditilik dari polemik ini, dapat disimpulkan bahwa, kandungan emas di kawasan Tangse, Manee dan Geumpang tidak jelas. Lalu mengapa orang berbondong-bondong datang ke kawasan itu untuk mengeruk gunung demi sebongkah emas?

Berdasarkan pemboran terbatas yang dilakukan Conzine Rio Tinto Australia (CRA) pada tahun 1980 saja di Tangse terdapat kandungan  tembaga Molibdenum dengan panjang sekitar lima kilometer dan luasnya sekitar 1-2 kilometer dan disimpulkan berdasarkan estimasinya setidaknya terdapat  600 juta ton (Mt) bahan kelas rendah, termasuk zona kelas yang lebih tinggi dari 30 Mt dengan nilai antara 0,3 atau 0,8%, serta tembaga (Cu), dari 0,02 menjadi 0,03% molibdenum (Mo)

Meski simpang siur kandungan emas di Tangse, Mane dan Geumpang. Namun  penambangan emas dengan menggunakan mesin semakin marak beroperasi di kawasan itu, dikhawatirkan akan merusak lingkungan karena di lokasi itu terdapat kawasan hutan lindung Ulu Masen selain penambang menggunakan cairan mercury untuk memisahkan emas dan bebatuan melalui mesin gelondongan.

Di samping itu penambang tradisional juga giat mencari bijih emas dengan cara mendulang, dianggap tidak membahayakan lingkungan. Mereka beroperasi di kawasan Sungai Aneuek Suloh, tidak seperti penambang yang menggunakan mesin terdapat di Aneuk Perak dan Alu Eumpeuek, Kecamatan Geumpang.

Sejauh ini Distamben Aceh telah mengeluarkan sedikitnya 34 IUP kepada perusahaan penambangan dalam kurun 3 tahun terakhir. Ironisnya izin-izin itu ternyata diperjualbelikan kepada pihak ketiga, karena banyak pengurus izin berfungsi sebagai broker, meski sebagian kecil saja yang berniat mengurus izin produksi (eksploitasi).

Ke-34 IPU yang telah dikeluarkan IUP ada yang beroperasi di Tangse, Manee dan Geumpang, namun belum terjawab sebelum Pemkab Pidie menertibkan usaha tambang tersebut. Sudah setahun belakangan ini tambang- tambang itu beroperasi, tetapi tidak seperak pun menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor pertambangan, meski Bupati Pidie menginstruksikan jajarannya untuk meningkatkan PAD pada tahun 2010 ini hingga mencapai angka Rp26 Miliar.

Sampai sekarang tidak diketahui dengan pasti tentang sejarah emas di Tangse, Manee dan Geumpang, namun yang pasti orang tidak mempersoalkan sejarahnya.(*/ha/marzuki)