Banda Aceh – Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Aceh Halili Toha, SH menyatakan, dua penjaga di Kejari Jantho telah dijatuhi sanksi oleh Jaksa Agung berupa pemecatan dan dibebastugaskan dari jabatan struktural.

“Keduanya dipecat dan dibebastugaskan terkait hilangnya barang bukti sabu-sabu senilai Rp2 miliar beberapa bulan lalu,” kata Halili Toha usai upacara gabungan di Lapangan Blang Padang, Banda Aceh, Senin (19/4/2010).

Ia mengatakan, pemecatan dan pembebastugasan dua staf di Kejari Jantho tersebut setelah dilakukan pemeriksaan internal. Sedangkan Kajari Jantho selaku atasan dikenakan hukuman ringan berupa teguran.

Halili Toha menegaskan, hukuman yang diberikan itu bukan berarti kedua penjaga di Kejari Jantho tersebut menjadi pelaku raibnya sabu-sabu senilai Rp2 miliar.

Selain itu, kata dia, seorang penjaga di Kejari Jantho juga telah meminta keringanan hukuman karena dirinya tidak bersalah mutlak. Hanya saja yang bersangkutan lalai dalam menjalankan tugas. Itu pun hanya membeli nasi untuk sahur, kata dia.

Menyangkut proses pidana keduanya, Halili Toha mengatakan, proses pidana terhadap pelaku yang membawa sabu-sabu itu tetap dilakukan, meskipun alat bukti berupa sabu-sabu hilang.

“Tetap kami lakukan, meskipun barang bukti utama hilang. Kami tetap mempunyai bukti lain seperti surat keterangan pemeriksaan dari polisi,” katanya.

Terkait sabu-sabu yang hilang itu, ia mengatakan kejaksaan bekerja sama dengan kepolisian tetap menelusuri ke mana barang terlarang itu hilang.

Kerugian Negara

Sementara, kasus dugaan mark up pengadaan CT-Scan seharga Rp17,6 miliar di Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin, Banda Aceh, dinyatakan hingga kini belum ditemukan indikasi kerugian keuangan negara.

“Setelah saya lihat dari berita pemeriksaan belum ada indikasi yang mengarah kerugian keuangan negara,” kata Halili Toha. Ia mengatakan, meskipun pengadaan CT-Scan belum ditemukan unsur merugikan negara, namun pengusutan kasus tersebut tidak akan dihentikan.

“Belum tentu kasus ini akan saya hentikan. Sebab bisa saja ditemukan bukti baru, di mana terdapat unsur yang mengarah ke tindak pidana korupsi,” kata dia.

Untuk itu, kejaksaan terus menyelidiki kasus pengadaan CT-Scan tersebut yang diduga banyak pihak terutama kalangan DPRA terjadi mark-up.

Sebelumnya, Pansus DPR Aceh periode 2004-2009 menemukan indikasi penggelembungan harga pengadaan CT-Scan. Di mana harga alat medis tersebut diperkirakan sekitar Rp11 miliar, sementara dalam pengadaannya Rp17,6 miliar.

Terkait indikasi korupsi di TVRI Aceh, Halili Toha mengatakan kasus tersebut tidak dihentikan, tetapi terus dilakukan penyelidikan. “Yang belum tuntas akan terus kami usut. Dan jika tidak terbukti akan kami hentikan,” katanya.(*/cqi)