AMERIKA mengatakan sedang mempelajari dengan seksama sinyaliran bahwa senjata kimia sudah digunakan untuk pertama kalinya dalam perang saudara di Suriah.

Rezim Suriah dan kaum pemberontak saling tuding atas apa yang disinyalir sebagai serangan senjata kimia di sebuah desa dekat Aleppo.

Pemerintah Suriah menuduh kaum pemberontak menggunakan senjata kimia dalam serangan roket terhadap Khan al-Assal, yang katanya menewaskan paling tidak 25 orang dan melukai puluhan lainnya.

Kementrian Luar Negeri Russia mendukung klaim rezim Suriah bahwa kaum pemberontak berada di belakang serangan itu, tapi Gedung Putih mengatakan tidak ada bukti bahwa telah terjadi serangan senjata kimia.

Pejuang pemberontak mengatakan, pasukan pemerintahlah yang bertanggungjawab atas serangan itu, dan Amerika mengatakan tidak melihat “adanya bukti” bahwa kaum pemberontaklah yang bertanggungjawab.

“Kami tidak punya bukti untuk menunjang tuduhan bahwa oposisi telah menggunakan senjata kimia,” kata jurubicara Gedung Putih, Jay Carney, kepada wartawan.

“Kami sangat skeptis terhadap rezim yang telah kehilangan semua kredibiltas, dan juga ingin memperingatkan rezim agar tidak melontarkan tuduhan-tuduhan seperti ini sebagai alasan atau kedok bagi penggunaan senjata kimia oleh pihaknya sendiri,” tambahnya.

Serangan itu belum diverifikasi secara indepen, tapi kantorberita pemerintah Suriah mengatakan jatuh korban jiwa, sementara televisi pemerintah menunjukkan gambar orang-orang yang katanya menderita efek dari gas beracun.

Kaum pemberontak mengatakan, para korban yang cedera melaporkan kesulitan bernafas dan menghirup bau chlorine yang keras setelah rudal menghantam kota itu.

Seorang fotografer kantor berita Reuters yang berada di desa itu mengatakan hal yang sama.

Seorang dokter yang diwawancarai televisi pemerintah mengatakan, serangan itu agaknya “belerang atau racun” tapi tidak menjelaskan lebih lanjut.

Seorang pria dengan masker medis berwarna hijau, yang mengatakan telah membantu mengevakuasi para korban, mengatakan : “Bahan itu seperti bubuk, dan orang-orang yang menghirupnya lantas pingsan.”

Seorang lasykar pemberontak di Khan al-Assal, sekitar delapan kilometer sebelah baratdaya Aleppo, mengatakan melihat asap berwarna agak merah muda setelah ledakan dahsyat mengguncang wilayah itu.

Ahmed al-Ahmed, anggota brigade Ansar di suatu pangkalan militer yang dikuasai kaum pemberontak dekat Khan al-Assal, mengatakan kepada Reuters bahwa rudal menghantam kota itu sekitar jam 8 pagi.

“Rudal itu –mungkin jenis Scud– menghantam suatu daerah yang dikuasai rezim, dan saya yakin itu bukan karena sengaja. Brigade saya tidak punya senjata kimia seperti itu dan kami sudah bicara dengan banyak satuan di wilayah ini, semua membantah bertanggungjawab.”

Kata Ahmed, ledakan itu segera disusul dengan gempuran udara. Sebuah pesawat jet tempur mengitari sekolah polisi yang dikuasai kaum pemberontak di pinggiran kota Khan al-Assal dan membombi wilayah itu.

Keterangan lasykar pemberontak itu belum bisa diverifikasi secara indepen.

Ketua Dewan Nasional yang beroposisi di Suriah, Moaz al-Khatib, mengatakan, hanya pemerintah yang memiliki simpanan senjata kimia.

“Sederhananya, kalau memang sudah digunakan senjata kimia, dan itu pun masih “kalau”, pemerintah Suriah lah yang punya akses ke senjata kimia dan mungkin menggunakannya terhadap warga sipil,” kata al-Khatib.

Badan internasional pengawas penggunaan senjata kimia mengatakan sedang mengusut laporan kemungkinan telah terjadi serangan senjata kimia di Suriah itu.

Menteri Penerangan Suriah Omran al-Zoabi mengatakan, sampai sebanyak 86 orang cedera dalam serangan itu.

“Bahan dalam roket itu menyebabkan orang pingsan, kejang-kejang, kemudian mati,” katanya.

Deputi Menteri Luar Negeri Suriah Faisal Meqdad mengatakan, pemerintahnya akan mengirim surat kepada Dewan Keamanan PBB “menyerukan agar menangani tanggungjawabnya dan memperjelas batasan terhadap kejahatan terorisme seperti ini dan mereka yang mendukungnya di dalam wilayah Suriah”.

Ia memperingatkan bahwa kekerasan yang menyelimuti Suriah adalah suatu ancaman terhadap kawasan, bahkan juga terhadap seluruh dunia.

Kalau telah digunakan senjata kimia, ini merupakan pertama kalinya senjata demikian digunakan dalam perang saudara yang telah berjalan dua tahun di Suriah.

Presiden Amerika Barack Obama, yang tidak menghendaki intervensi militer terbuka di Suriah, sudah memperingatkan Presiden Suriah Bashar al-Assad bahwa setiap penggunaan senjata kimia akan menjadi “garis merah”.

Suriah memiliki salah satu simpanan senjata kimia paling besar di dunia, dan Kementrian Luar Negeri Inggris mengatakan, kalau benar telah ada serangan senjata kimia, perlu diambil respons internasional yang serius.

Mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair memperingatkan, negara-negara Barat bisa-bisa harus menebus mahal kalau tidak turun tangan di Suriah.

Berbicara kepada BBC, Blair mengakui bahwa ada upaya besar untuk menentang intervensi pihak luar di Suriah.

Akan tetapi, katanya, Suriah terancam akan menjadi pusat terorisme, dan korban jiwa yang jumlahnya sudah besar masih akan terus bertambah.

“Kalau situasi di Suriah terus seperti sekarang ini, dalam beberapa bulan lagi, dari segi proporsi terhadap populasinya, korban jiwa di Suriah akan lebih besar dibanding dalam seluruh konflik sejak tahun 2003 di Irak.” kata Blair.
Sementara itu, Menlu Australia Bob Carr mengatakan Australia kuatir dengan potensi perkembangan di Suriah.

Menlu Carr mengatakan di PBB di New York, klaim itu masih perlu diverifikasi, tapi mungkin merupakan isyarat tahap baru yang mengkuatirkan dalam konflik Suriah.

Tahun lalu presiden Amerika Barack Obama mengatakan, akan ada “konsekuensi besar” kalau senjata kimia digunakan dalam perang saudara di Suriah, yang sejauh ini sudah menewaskan lebih dari 70.000 orang.

Penggunaan senjata kimia paling terkenal di Timur Tengah dalam sejarah adalah di kota Halabja yang berpenduduk Kurdi di Irak, dimana sekitar 5.000 orang tewas akibat serangan gas racun yang diperintahkan oleh mantan Presiden Irak Saddam Hussein 25 tahun yang lalu. (ABC Radio Australia)