Sidang Kaukus IV Pembangunan Berkelanjutan Aceh_Foto Surya Uya

Sidang Kaukus IV Pembangunan Berkelanjutan Aceh_Foto Surya UyaSEJAK diluncurkan 15 Juni 2015 lalu, Kaukus Pembangunan Berkelanjutan Aceh terus melakukan pertemuan rutin setiap tahunnya yang pada Kamis (13/5/2016) malam kembali menggelar pertemuan ke-IV di Ruang Rapat Paripurna DPR Aceh, Banda Aceh.

Dalam sidang yang dihadiri oleh 300 peserta undangan dari berbagai kalangan tersebut, mengangkat tema “Kedaulatan dan Ketahanan Pangan” menghadirkan keynote speaker Direktur Jenderal Tanaman Pangan di Kementerian Pertanian Dr. Ir. Hasil Sembiring serta Country Director “The Sustainable Trade Initiative” Dr. Fitrian Ardiansyah.

Selain itu, sidang yang dipimpin oleh Bardan Sahidi ini dan turut dihadiri juga oleh tim inisiator Kaukus yaitu Kautsar M.Yus, H.Muhammad Amru, Abdurrahman Ahmad, Kartini Ibrahim, serta inisiator lainnya.

“Sidang Kaukus-IV harapannya dapat berkontribusi dalam melengkapi koordinasi efektif di lembaga Legislatif, SKPA dan unit pelaksana teknis maupun mitra pembangunan Aceh serta organisasi masyarakat sipil di Aceh yang menyeluruh dari hulu sampai hilir dalam menjalankan cakupan program pembangunan strategi kedaulatan dan ketahanan pangan lintas sektor di Aceh yang saling berkaitan erat, seperti ketergantungan debit air waduk terhadap pengelolaan di sektor kehutanan,” pungkas Bardan Sahidi selaku pimpinan sidang.

Chairman Kaukus Pembangunan Berkelanjutan Aceh, T. Irwan Djohan dalam pidatonya juga mengingatkan kembali akan sebuah peristiwa dimana pada tahun 1998 kejadian El Nino memicu terjadinya kekeringan yang berdampak pada gagalnya panen produksi pertanian dalam negeri sehinga berimbas pada sebuah kebijakan yang mengharuskan pemerintah mengimpor 6 juta ton beras guna memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri.

“Ditengah kebanggaan Aceh dengan memiliki tutupan hutan yang fenomenal mencapai lebih dari 58% dan rakyatnya tidak menjadi lapar, sekaligus kondisi saat ini bahwa Aceh surplus beras dan menjadikan sebagai salah satu wilayah lumbung pangan nasional. Hal ini tentunya tidak lepas dari jasa ekosistem hutan yang ikut meregulasi daur hidrologi sehingga kebutuhan akan air masih bisa tercukupi,” jelasnya.

Mengutip data yang disajikan oleh WCS dan GCP, yang menganalisa dari data sejak tahun 2010 sampai tahun 2015, sekitar 223.000 orang di Aceh terpaksa mengungsi, lebih dari 100.000 rumah rusak dan terdapat 10.000 catatan kerusakan lahan pertanian akibat peristiwa banjir. Estimasi kerugian adalah minimal 136 juta dolar AS selama lebih dari 5 tahun (rata-rata 27 juta dolar AS per tahun), ini jelas merupakan ancaman bagi kedaulatan dan ketahanan pangan Aceh, untuk menjadi catatan kita, penelitian ini melihat korelasi yang jelas antara frekuensi banjir dengan persentase perkebunan monokultur di banyak kabupaten.

“Hal tersebut seyogyanya bisa dicermati sekaligus menjadi himbauan bersama bahwa kita harus berubah daripada sebuah pemikiran kuno sebahagian pihak bahwa pelestarian hutan hanya dipandang sebagai sebuah sudut kepentingan satwa liar saja, akan tetapi hutan harus dipandang sebagai penyangga kehidupan manusia melalui berbagai jasa ekosistemnya yang diberikannya terutama sekali keamanan penyediaan air dan oksigen bagi segenap makhluk hidup bernyawa,” ingat Irwan Djohan dihadapan peserta sidang.

Sementara itu, usai paparan materi dan diskusi, Tim Perumus yang diwakili oleh Syaifullah Muhamad menyampaikan sejumlah rekomendasi dari hasil sidang yang terdiri dari berbagai poin inti, mulai dari regulasi daerah untuk “lahan abadi”, regulasi moraturium impor beras, regulasi peruntukan lahan, penegakan hukum, hingga program kedaulatan pangan.

Ini dia Rekomendasi Lengkap Sidang Kaukus IV

  • Perlu adanya regulasi daerah untuk mendukung undang undang “lahan abadi”
  • Perlu adanya regulasi untuk moratorium Impor beras untuk Aceh, beras raskin harus dari aceh sendiri
  • Perlu adanya regulasi yang mengatur peruntukan lahan yang dikuasai oleh masyarkat dan kooperasi agar rakyat memiliki akses terhadap sumber ketahanan pangan.
  • Diperlukan penegakan hukum untuk melindungi hutan sebagai sumber air yang menjadi sumber kekuatan ketahanan pangan
  • Stabilitas produksi komoditas berkaitan erat dengan pelestarian kawasan penyangga/hutan, sehingga pelestarian hutan termasuk didalamnya pelestarian daerah tangkapan air menjadi suatu keharusan demi keberlanjutan produksi dan harus explisit dalam strategi ketahanan pangan.
  • Potensi Aceh sangat besar menjadi lumbung pangan nasional baik dari potensi lahan dan SDM, tantangan bagaimana potensi ini dikelola secara baik menjadi berdaulat dan di desain produksi, distribusi dan keterjangkauan oleh masyarakat agar ketahanan pangan dapat dicapai.
  • Insentif untuk kolaborasi peningkatan produktifitas tapi juga melindungi lingkungan. Petani yang mengelola lebih baik, perizinan dimudahkan, dan pajak diturunkan sebagai kompensasi pengelolaan ruang yang berkelanjutan.
  • Konflik tenurial dalam pengembangan pembangunan sawit sangat tinggi serta dapat mengancam produksi komoditas tanaman pangan, maka revisi qanun RTRWP perlu menjadi prioritas untuk keberhasilan upaya kedaulatan dan ketahanan pangan.
  • Perlu dibuat qanun pertanian dan perkebunan berkelanjutan
  • Perlu adanya keberpihakan pemerintah dan pendampingan untuk penguatan posisi Petani dan pedagang kecil dalam rantai tata niaga, dan kemampuan petani untuk mengakses permodalan dari bank.
  • Inspirasi dari Sumsel: Kemitraan pengelolaan lansekap, dan membuat “green growth development plan”.
  • Berdayakan skema zakat dan sedekat sebagai instrument ketahanan pangan dalam aspek aksesibilitas
  • Perlunya qanun perlindungan sumber air.
  • Perlunya pendidikan masyarkat yang menekankan pada perubahan perilaku dan rasa tanggungjawab, sehingga pada akhirnya akan menunjang program kedaulatan pangan.
  • Perlu analisis data agar dapat diberikan rekomendasi yang tepat dalam menangani hambatan-hambatan untuk mencapai ketahanan pangan kuantitas dan kualitas.

Strategi ketahanan pangan tentu tidak semata berhenti pada tataran ketersediaan dan akses bahan pangan, akan tetapi ketahanan pangan harus memiliki dimensi waktu, strategi yang baik dan berdampak jangka panjang yang berkelanjutan, visi jangka panjang inilah yang menjiwai kaukus pembangunan berkelanjutan dalam ketahanan dan kedaulatan pangan serta tidak terlepas dari sebuah prinsip utama bahwa pembangunan yang saat ini dilakukan tidak boleh menciderai kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya akan pangan dan iklim yang mendukung, untuk mendapat kepastian dalam memetik panen dan air selalu mengalir di irigasinya.[]