Helmi, warga Padang Tiji yang baru pulang dari lima tahunan perantauannya di Jakarta, sore itu terkesima menatap perubahan yang terjadi di taman tepi laut alun-alun depan pendopo Bupati Pidie. Terutama, pohon-pohon cemara yang tumbuh asri menaungi bangku-bangku batu tempat para pengunjung duduk sembari menatap nun jauh ke garis ufuk Selat Malaka.

Lebih dari itu, jalan lebar beraspal licin yang melata di antara garis pantai dan jajaran perumahan penduduk Gampong Cina, Tanjung Harapan mengetengahkan suatu nuansa baru dalam konteks ruang publik di Kota Sigli dan sekitarnya. “Ini seperti Malioboro di Yogyakarta. Jalan lintas yang juga sekaligus ruang publik,”  ujar Helmi, Minggu sore (4/7/2010).

Padahal sebelumnya, sebagai sebuah ibukota kabupaten, di Kota Sigli hanya ada tiga ruang publik. Pertama: Alun-alun depan Gedung Olah Raga (GOR), sisi kanan pendopo wakil bupati. Boleh dikata, ini merupakan ruang publik dengan nuansa kapitalisme yang kental. Artinya, di sini sarat aktivitas perekonomian yang memanfaatkan ruang publik untuk menggelar barang dagangan demi memancing aktivasi transaksi jual-beli.

Kedua: Taman Tepi Laut depan pendopo bupati yang pada beberapa bulan lalu tanpa kehadiran jalan tembus yang membentang antara taman hingga ke penghujung garis pantai. Ketiga: halaman belakang dan sisi kanan pekarangan mesjid Al-Falah di mana kawasan ini merupakan ruang publik bernuansa spiritual islami.

Sebagai mantan asisten sutradara di beberapa rumah produksi (Production Hose/PH) di Jakarta, Helmi sudah mengunjungi hampir segenap ruang bersantai bagi warga kota yang ada di kota Jakarta dan Yogyakarta serta beberapa kota lainnya di Pulau Jawa. Menurut lelaki gempal berusia 47 tahun ini, ruang publik dengan mode seperti di jalan tepi laut dalam kawasan Gampong Cina sangat penting artinya bagi warga Kota Sigli yang status sosial dan perekonomiannya terdiri dari berbagai kalangan.

Ruang publik taman kota alun-alun depan Gedung Olah Raga sisi kanan pendopo wakil bupati jelas tidak bebas dari segala bentuk transaksi jual-beli antara pengunjung taman dengan para pedagang makanan. Di sini warga yang berdaya beli rendah harus berpikir dua kali bila harus bersantai-santai dengan tiga-empat anaknya sekaligus.

Begitu juga ruang publik di halaman belakang dan sisi kanan pekarangan mesjid Al-Falah yang merupakan ruang publik bernuansa spiritual islami, perilaku bersantai dengan gaya bebas sedikit bercampur unsur sekularitas seperti bersantai sembari menendang-nendang bola dengan penampilan celana selutut, jelas tak mungkin.

Tetapi di ruang publik badan jalan tepi laut Gampong Cina, di sini semua gaya pengunjung bisa diterima. Pengunjung dengan gaya bebas dan kemampuan daya beli rendah, bisa memilih areal perpasiran yang berbatasan langsung dengan garis tepi jilatan ombak. Sedangkan pengunjung dengan gaya dan kondisi dompet sebaliknya, bisa memilih sisi badan jalan dan duduk di meja rendah yang disediakan warung-warung penjual makanan yang berjejer sepanjang jalan itu sambil menikmati minuman sembari berbincang-bincang antar sesama dan bebas menatap laut lepas bagi pengunjung yang tengah dilanda kecenderungan merenung-renung.

“Kota Sigli memang semakin maju,” ujar Helmi. Katanya kehadiran jalan tepi laut depan pendopo bupati itu membuat ruang publiknya sudah beragam, tidak hanya untuk kalangan tertentu. “Tetapi dari sudut letak kawasan, kalau malam hari ruang publik ini nampaknya rentan aktivitas kendur moral,” kata dia.

“Di sini saya kira peran we-ha (WH/petugas Wilayatul Hisbah) sangat dibutuhkan. Tanpa peran we-ha, film kita di ini akan bocor frame tiap syuting,” ujar Helmi dengan menggunakan istilah yang jamak di kalangan aktivis perfileman untuk adegan-adegan yang janggal dan harus disyut ulang berkali-kali.(*/ha/musmarwan abdullah)