Banda Aceh – MoU Helsinki dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) merupakan modal bagi perdamaian Aceh, namun modal tersebut belum bisa sepenuhnya dilaksanakan, karena masih adanya beberapa aturan pelaksanaan teknis seperti Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres), yang belum rampung.

Hai itu disampaikan anggota tim Aceh Peace Advisorry Committe (APAC), Mawardi Ismail dalam Workshop Bina Perdamaian Aceh, di Hotel Asean International, Medan-Sumatera Utara, Sabtu (3/4/2010). Acara tersebut didukung Aceh Recovery Forum (ARF) dan USAID–SERASI.

Menurut Mawardi, belum siapnya sejumlah aturan pelaksanaan UUPA, juga merupakan tantangan dari perdamaian Aceh. Sebagian PP dan Perpres memang sudah ada, tapi tak sampai 50 persen dari yang seharusnya. “Hal itu berpengaruh dalam mewujudkan penguatan perdamaian seperti diharapkan masyarakat. Aturan tersebut belum lengkap, sedang dalam proses. Mudah-mudahan dalam waktu dekat akan terlaksana,” ujarnya.

Mawardi mengatakan, saat ini Aceh punya kewenangan yang lebih besar dibandingkan dengan provinsi lain dalam berbagai bidang. Juga punya banyak uang. “Apakah dengan keuangan dan kewenangan yang besar, kita mampu membuat kesejahteraan lebih baik. bolanya ada di kita, terserah kita. Semua ini akan pengaruh pada bina perdamaian?” tanya Mawardi di hadapan peserta Workshop yang dihadiri tokoh masyarakat dari sejumlah kabupaten/kota di Aceh, seperti Aceh Singkil, Subulussalam, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tamiang dan Kota Langsa..

Mawardi menegaskan, kalau dana dan kewenangan tersebut tidak mampu mensejahterakan masyarakat, perdamaian Aceh bisa saja terancam. Hal ini juga mengacu kepada pengalaman di belahan negara lain yang mempunyai sejarah konflik. Umumnya dalam 10 tahun, kalau damai tidak mampu dipelihara baik, maka konflik akan berulang kembali.

Ketua Tim APAC, Prof Yusni Saby, mengatakan, workshop tersebut dilaksanakan untuk mengumpulkan ide-ide dan pemikiran dari para tokoh masyarakat di Aceh untuk penyempurnaan hasil penelitian Tim APAC terkait bina perdamaian di Aceh.

Selain itu, tim APAC mengukur sejauhmana pelaksanaan MoU dan UUPA di Aceh, pascakonflik. “Semua hasil nantinya akan kita rangkum untuk kami rekomendasikan ke pemerintah baik pusat maupun daerah sebagai pemikiran bersama,” ujar Yusni Saby.

Sementara itu, Ketua MAA Kota Langsa, Yahya Hanafiah menilai UUPA belum berjalan sempurna. Proses penguatan perdamaian Aceh sangat tergantung kepada bagaimana upaya pemerintah dalam mensejahterakan masyarakat. “Damai akan hancur kalau tak memperhatikan pengangguran dan lapangan kerja bagi masyarakat,” katanya.

Selain itu, dia menilai pendidikan juga harus diutamakan untuk mendidik generasi yang lebih paham tentang perdamaian. Artinya masih diperlukan sosialisasi yang melibatkan semua pihak dalam memberikan pemahaman damai kepada masyarakat luas.

Perwakilan MPU Aceh Singkil, Baharuddin mengajak semua pihak bersatu dalam membangun damai Aceh. Pemerintah provinsi juga diharapkan berkeadilan dalam membangun kabupaten/kota di Aceh, pembangunan harus merata di semua daerah. “Provinsi harus memperhatikan daerah untuk bersatu Aceh ini. Jangan sampai konflik muncul antara kabupaten dan provinsi.”(*/ha/cju)