[quote]Oleh Carla Babb[/quote]

Sebuah penelitian terbaru yang dilakukan oleh perusahaan kehumasan AS Burston-Marsteller menunjukkan peran Twitter, media sosial yang membatasi komentar sepanjang 140 karakter, terus meningkat sebagai medium diplomasi.

Tren ini disebut sebagai ‘Twiplomasi’. Perusahaan tersebut mengatakan bahwa Twitter merupakan alat yang tangguh untuk para diplomat meski tidak mungkin menggantikan diplomasi tradisional.

Studi tersebut menemukanbahwa dua pertiga pemimpin dunia telah memiliki akun di Twitter, dan beberapa diantaranya memiliki pengikut yang sangat banyak. Presiden AS Barack Obama, misalnya, memiliki 17 juta pengikut, sementara Presiden Venezuela Hugo Chavez mempunyai lebih dari tiga juta pengikut.

Namun fakta bahwa para pemimpin dunia tersebut ‘berkicau’ di Twitter bukan berarti pemimpin global lainnya mendengarkan. Penelitian Burston-Marsteller menunjukkan bahwa bahkan akun @BarackObama yang populer hanya diikuti seperempat pemimpin dan pemerintah dunia. Bahkan akun Gedung Putih pun tidak mengikuti akun sang presiden, dan Obama hanya mengikuti dua pemimpin dunia di Twitter.

Pembatasan ini membawa kelompok Burston-Marsteller pada kesimpulan bahwa diplomasi ala Twitter, atau ‘Twiplomasi’ tidak mampu menggantikan diplomasi tradisional.

James Carafano dari lembaga The Heritage Foundation menyetujui kesimpulan tersebut. “Twitter tidak akan pernah bisa menggantikan diplomasi. Itu gila,” ujarnya.

“Jika seseorang berpikir bahwa 140 karakter merupakan solusi diplomatik untuk menyelesaikan masalah-masalah dunia, maka kita memiliki persoalan. Twitter bukan diciptakan untuk diplomasi. Twitter bahkan tidak diciptakan untuk bercakap-cakap,” kata Carafano.

Carafano menulis sebuah buku berjudul “Wiki at War: Conflict in a Socially Networked World” yang diterbitkan tahun ini. Di dalamnya, ia menjelaskan bagaimana beberapa pengguna media sosial terlibat dalam apa yang ia sebut “moda penyiaran” untuk berkomunikasi.

Dalam kasus Twitter, sebagian besar pemimpin dunia dapat mengirim banyak pesan namun tidak dapat sering bercakap-cakap dengan pengguna Twitter yang lain. Ia mengatakan bahwa praktik ini kurang memiliki kapasitas untuk diplomasi sesungguhnya, dan hanya dapat digunakan untuk membantu mendorong diplomasi lewat medium lain.

“Jika Anda ingin menggunakan Twitter sebagai alat untuk melibatkan orang lain, yang harus Anda lakukan adalah melakukannya dengan moda penyiaran dan mengidentifikasi orang-orang. Lalu Anda coba cari tahu bagaimana menarik mereka ke sebuah tempat yang berbeda, baik Facebook, atau pembicaraan telepon atau Skype atau yang lainnya, dimana Anda dapat melakukan komunikasi dua arah,” ujar Carafano.

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa seiring dengna beradaptasinya diplomasi dengan teknologi baru, para pemimpin dunia akan perlu menemukan cara-cara yang efektif untuk berkomunikasi di media sosial. Bahkan jika kicauan di Twitter terus tumbuh sampai ratusan ribu, tidak ada risiko bagi diplomasi tradisional untuk menghilang. (voaindonesia.com)