TA Sakti (KOMPAS/AGUS SUSANTO)
TA Sakti (KOMPAS/AGUS SUSANTO)
TA Sakti (KOMPAS/AGUS SUSANTO)
Teuku Abdullah alias TA Sakti (KOMPAS/AGUS SUSANTO)

SEJARAH adalah soal siapa yang berkuasa. Dan narasi-narasi besar biasanya berisi propaganda penguasa yang menggambarkan kemegahan dan keindahan semata. Teuku Abdullah gigih membangun narasi dari hikayat-hikayat dan naskah-naskah pinggiran yang selama ini kerap dilupakan.

Banyak kitab telah mengisahkan kebesaran Aceh masa lalu. Misalnya, dalam Kitab Bustanus Salatin atau Taman Para Raja yang ditulis Nuruddin Ar Raniry tahun 1636 disebutkan tentang Kesultanan Aceh seperti taman dunia karena saking megahnya. Era Kesultanan Iskandar Muda kerap disebut sebagai puncak kebesaran itu di mana pemerintahannya digambarkan makmur dan syariat agama dijalankan.

Namun, bagi Teuku Abdullah atau kerap dipanggil TA Sakti, masa lalu Aceh tidak sepenuhnya elok. ”Buku-buku sejarah, termasuk yang ditulis Ali Hasjmy—sejarawan Aceh—biasanya penuh puja-puji. Tetapi, sejarah Aceh ternyata tidak betul-betul indah,” katanya. ”Setidaknya itu yang saya baca dari beberapa hikayat.”

Kami menemui ahli hikayat Aceh ini di rumahnya yang bersahaja di lorong sempit di Tanjoeng Selamat, Darussalam, Banda Aceh, pada pengujung Februari 2013. Karpet tua yang melapisi ruang tamu dari semen, menurut dosen sejarah Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, ini telah berumur 14 tahun. Tumpukan naskah tua dan beberapa kardus buku hikayat memenuhi ruangan.

Fisiknya rapuh. Kakinya yang pernah patah akibat kecelakaan membuatnya tertatih-tatih saat berjalan. ”Selama ini, saya kalau pergi ke mana-mana harus naik RBT (rakyat banting tulang) atau ojek,” katanya.

Namun, semangat dan kegigihan langsung terasa saat dia mulai bicara soal hikayat dan naskah-naskah lama Aceh. Sudah 21 tahun Sakti menggeluti hikayat dan mengalihaksarakannya dari huruf Arab ke Latin, lalu menerbitkannya.

Akhir hikayat

Sakti membiayai sendiri pencetakan hikayat. Biasanya dia mencetak 1.000 eksemplar per judul. Ongkos cetaknya Rp 1.100 per eksemplar dan dititipkan di toko buku seharga Rp 1.400 per eksemplar. ”Saya jual murah karena tujuannya untuk pelestarian hikayat,” katanya.

Toko buku biasanya memasarkan hikayat seharga Rp 3.000 per eksemplar. Walaupun murah, tetap saja pemasarannya seret. ”Biasanya saya rugi. Pernah saya taruh di delapan toko, tidak satu pun ada hasil,” katanya.

Masa keemasan hikayat memang sudah berakhir. ”Orang lebih suka menonton televisi,” katanya. ”Padahal, masyarakat Aceh akan kehilangan besar jika hikayat benar-benar hilang.”

Apa pentingnya hikayat?

Hikayat selama ini identik dengan sastra rakyat, ditulis oleh orang biasa atau kadang anonim. Tak hanya berupa puja-pujian terhadap penguasa, tambeh atau nasihat-nasihat agar berbuat baik, hikayat juga banyak berisi kehidupan rakyat jelata yang ditulis apa adanya.

Misalnya tentang Hikayat Rantau yang ditulis Leube Isa. Hikayat ini mengisahkan tentang kehidupan orang-orang yang merantau di Aceh Barat untuk membuka seneubok (perladangan) lada sekitar awal abad ke-19. Gaya bertutur hikayat ini mirip reportase yang menunjukkan penulisnya mengalaminya sendiri.

Bahkan, beberapa bagian mengolok-olok penulisnya sendiri, yang digambarkan merantau akibat disindir mertua agar jangan menganggur di rumah. Namun, kehidupan perantauan ternyata digambarkan begitu menyedihkan. Penulis menuturkan tentang para pekerja yang justru terlibat dengan perjudian, sabung ayam, dan memakai candu. Selain itu, juga disinggung praktik homoseksualitas dan juga kisah para leube—orang yang dianggap pintar soal agama—yang menjadi rentenir.

Beberapa naskah lain mengisahkan hal serupa. Setidaknya, ada empat naskah yang menggambarkan dekadensi moral di Aceh pada abad ke-19, yaitu Tuhfatul Ihkwan yang ditulis Syekh Abdussalam. Naskah berikutnya adalah Tambeh 95 (95 Tuntunan) oleh Syekh Jalaluddin. Selain itu, juga Kitab Akhbarul Karim (Kabar yang Mulia), dan Tambeh Tujoh Blah (17 Tuntunan).

Keempat naskah ini aslinya ditulis dalam aksara Arab Melayu/Jawi (Aceh: Jawoe), menggunakan bahasa Aceh dalam bentuk sanjak. Isinya tentang mewabahnya pemadat dan pemabuk, gemerlap dunia hiburan malam, hingga kaum bangsawan yang sengaja memelihara ”maling” demi memperkaya diri.

Setelah mengkaji empat naskah ini, saya membuat tulisan berjudul Syariat Islam di Aceh pada Abad ke-19. Saya kemudian mengirim naskah itu ke media-media di Aceh. Tapi, tak ada satu pun yang mau memuatnya. Padahal, tulisan-tulisan dengan tema lain, terutama yang menyinggung kebesaran Aceh, biasanya dimuat.

Apakah menyerah dengan realitas ini?

Selain sering mengirim tulisan di media cetak, belakangan saya juga membuat laman blog pribadi www.tambeh.worldpress.com. Sebagian besar isinya memuat tulisan-tulisan saya yang sudah pernah naik di media cetak. Tetapi, tulisan yang tidak bisa dimuat juga bisa saya taruh di sini, termasuk soal pelaksanaan syariat Islam di Aceh pada abad ke-19 itu. Selain bisa mengatasi soal tidak bisa naik di koran karena kebijakan redaksi, pemikiran saya bisa tersebar lebih luas. Saya berharap selain dibaca oleh mereka yang tinggal di Aceh, juga masyarakat di segala penjuru dunia.

Kapan jatuh hati kepada hikayat?

Saya tertarik hikayat sebenarnya sejak kecil. Waktu itu, hikayat masih kerap dibacakan di meunasah (mushala) di kampung saya. Selain itu, di rumah orangtua juga banyak tersimpan naskah warisan. Setiap pesta kenduri, hikayat didendangkan siang dan malam. Orang Aceh memiliki hikayat dan membacanya pada saat kelahiran hingga kematian. Saya biasanya mengikuti pembacaan ini sampai selesai.

Sekitar umur 13 tahun, saya melihat pentas Adnan PMTOH—penutur hikayat yang sangat terkenal di Aceh dan meninggal pada 2006—di Lapangan Kota Bakti, Sigli. Saya terpana melihatnya mendendangkan hikayat, ditambah dengan peragaan alat-alat sederhana, tetapi sangat hidup.

Sejak itu, saya semakin rajin membaca dan mengumpulkan hikayat. Tetapi, waktu itu belum terpikir untuk menulis ulang dalam bahasa Latin. Pada 1985, saya meneruskan sekolah ke Yogyakarta. Suatu hari, saya mengalami kecelakaan bermotor sehingga patah kaki. Saya pun kembali ke Aceh dan berobat di ahli patah tulang di Beutong, Aceh Barat.

Selama dua tahun, saya tinggal di rumah tabib yang terpencil. Tak ada listrik, tak ada televisi, bahkan radio. Untuk mengisi waktu, saya mendaras hikayat. Kebetulan, istri tabib ternyata sangat menyukai hikayat dan meminta saya membaca keras-keras agar dia turut mendengarkan. Setiap hari, dia minta dibacakan. Beberapa tetangga datang dan memenuhi halaman rumah tabib. Hikayat telah menjadi obat hati paling mujarab.

Mengapa mengalihaksarakan hikayat?

Awalnya kebetulan. Pada 1992, koran Serambi Indonesia membuat kolom tentang hikayat lama. Lalu saya coba kirim Hikayat Meudeuhak yang telah saya alihaksarakan. Saya kirim hikayat di koran itu sampai kolomnya ditutup pada akhir 1994. Dari 12 judul hikayat yang dimuat di koran itu, tujuh hasil alih aksara saya.

Setelah kolom itu tidak ada lagi, saya ketagihan mengalihaksarakan hikayat. Saya butuh pelarian karena tidak bisa bergiat di bidang lain setelah kaki patah. Saya merasa menjadi berguna setelah mengurus hikayat yang sebelumnya diabaikan, bahkan ada naskah yang sudah dibuang di tempat sampah saya ambil. Ternyata dengan hikayat itu saya bisa terlibat lagi dalam masyarakat, misalnya sering diundang dalam seminar-seminar budaya.

Selain itu, saya juga pernah mengalami satu masa ketika hikayat masih menjadi bagian penting dari hidup orang Aceh. Saat itu, hikayat masih dibaca dan ternyata memberikan banyak manfaat. Hidup saya juga banyak diwarnai oleh hikayat. Hikayat yang membuat saya bertahan menghadapi kerasnya hidup, terutama saat di rantau.

Namun, sekarang ternyata orang tidak lagi membaca hikayat. Bahkan, saat saya baca hikayat, anak saya sering meledek, peu ngeng-ngeng (ngapain bergumam-gumam) seperti orang minta sedekah saja. Banyak yang tidak bisa membaca dan akhirnya tidak bisa menikmati karena beraksara Arab. Karena itu, sangat penting untuk mengalihaksarakannya.

Kapan mulai mencetak sendiri hikayat?

Pada 16 April 1997 di halaman 3 harian Serambi Indonesia, saya membaca berita meninggalnya Syeh Rih Krueng Raya. Dia adalah penyair hikayat Aceh terkenal dan terakhir yang saya kenal. Saya salah satu pengagum beliau. Itulah yang menyentak dan menggerakkan saya untuk mencetak hikayat-hikayat yang telah saya alih aksarakan dari aksara Arab ke dalam huruf Latin.

Apakah cukup dengan mencetak hikayat lama?

Walaupun saya jual hikayat yang sudah saya alih aksarakan dengan harga murah, tetap saja penjualan buku hikayat itu sulit laku. Bahkan, kini sejumlah toko buku di Banda Aceh menolak saat dititipi buku hikayat dengan alasan tak ada lagi yang mau beli. Di pasar-pasar, penjualan buku hikayat sudah mati.

Saya sudah berupaya keras menghidupkannya, tetapi ternyata tidak gampang. Kalau pemerintah mendukung, misalnya memasukkan hikayat atau sastra Aceh dalam muatan lokal di sekolah-sekolah, mungkin situasinya akan lebih baik. Setidaknya hikayat tidak punah karena masih dipelajari di sekolah.

Masih adakah keinginan lain?

Sudah bertahun-tahun saya menjadi tauke hikayat, tetapi tetap miskin. Bukan kemiskinan yang meresahkan, melainkan nasib hikayat Aceh yang hampir punah yang membuat sedih. Saat ini, saya berdoa, ada rezeki dari Allah sehingga bisa membeli mobil tua agar bisa berjualan hikayat di kota-kota kecil di hari pekan. Selain itu, saya juga bisa membacanya di sana.

Itu cita-cita saya sebelum mati, tetapi ternyata banyak yang tidak setuju. Bahkan, beberapa kawan di pemerintahan mengatakan, kalau saya tetap keliling kampung berjualan dan membaca hikayat, itu akan merendahkan saya. Namun, saya tetap ingin mewujudkannya. Satu-satunya kendala adalah kondisi fisik dan keuangan. (kompas.com)