Seputaraceh

Bukti Perkasa Ureueng Inoeng Aceh

Bukti Perkasa Ureueng Inoeng Aceh
Bukti Perkasa Ureueng Inoeng Aceh

Benteng itu terletak di Desa Lamreh, Kabupaten Aceh Besar, 35 kilometer dari pusat Kota Banda Aceh. Tak sulit menemukan tempatnya. Begitu melewati pelabuhan Malahayati di Krueng Raya, Anda akan menemukan sebuah pamflet bertuliskan ‘Benteng Inoeng Balee’.

Perjalanan kemudian dapat dilanjutkan dengan menyusuri jalan setapak. Berkelok dan menanjak dengan semak belukar di kiri dan kanannya. Di balik semak itulah Benteng Inoeng Balee berdiri kokoh. Akar-akar pohon menyatu dengan dinding benteng. Walaupun batu-batu yang tersusun sebagai konstruksi benteng di sisi kiri dan kanannya sudah rusak, namun bentuk benteng masih dapat dilihat. Dari benteng yang terletak di atas bukit, hamparan laut biru tampak memukau.

Menurut perkiraan, Benteng Inong Balee berbentuk persegi panjang, Bahan bangunan penyusun tembok benteng terbuat dari batuan alam berspesi kapur. Tembok benteng di bagian barat memiliki ukuran panjang 60 meter, tebal dua meter, dan tinggi 2,5 meter. Tembok benteng di bagian utara berukuran panjang 40 meter, tebal dua meter, dan tinggi bagian dalam satu meter. Sedangkan tembok di bagian selatan berukuran panjang 60 meter, tebal dua meter, dan tinggi bagian dalam satu meter.

Pada tembok yang membujur utara-selatan di bagian barat terdapat empat lubang pengintaian menyerupai bentuk tapal kuda. Tinggi lubang pengintaian bagian dalam sekitar 90 sentimeter, lebar 160 sentimeter. Sedangkan tinggi lubang bagian luar sekitar 85 sentimeter dan lebar 100 sentimeter. Posisinya yang mengarah ke Selat Malaka, pada zaman dahulu berfungsi untuk mengawasi lalu-lalang kapal laut.

Di sekitar benteng, tepatnya di sebelah utara terdapat sebuah bekas permukiman yang disebut-sebut sebagai Kampung Janda atau Kampung Inong Balee.

Menurut riwayat lama yang diceritakan turun-temurun, Benteng Inong Balee yang disebut juga Benteng Malahayati ini merupakan benteng pertahanan sekaligus sebagai asrama penampungan janda-janda yang suaminya gugur dalam pertempuran. Selain itu, juga digunakan sebagai sarana pelatihan militer dan penempatan logistic keperluan perang.

Benteng Inong Balee tidak bisa dipisahkan dengan kisah seorang laksamana perempuan pertama di dunia, Laksamana Keumalahayati. Kisah kepemimpinan Keumalahayati dimulai ketika terjadi pertempuran laut antara armada Portugis dengan armada Kerajaan semasa Pemerintahan Sultan Alaiddin Riayat Syah Al Mukammil (1589-1604).

Armada Aceh dipimpin sendiri oleh Sultan dan dibantu dua orang Laksamana. Pasukan kerajaan banyak yang gugur dalam pertempuaran tersebut, dan menurut cerita suami Malahayati juga gugur dalam pertempuran itu. Malahayati meneruskan perjuangan sang suami yang sampai saat ini belum diketahui namanya itu.

Ia mengajukan permohonan kepada Sultan Mukammil untuk membentuk armada Aceh yang prajuritnya adalah janda yang suaminya gugur dalam pertempuran. Armada yang baru dibentuk tersebut diberi nama Armada Inong Balee (Armada janda). Sebelum diangkat sebagai Panglima Perang Laut (Laksamana), Keumalahayati pernah menjabat sebagai pemimpin pasukan ketentaraan perempuan di Kerajaan Aceh (Van Zeggelen, 1935 : 89).

Setelah Keumalahayati sukses mengemban tugas sebagai Kepala Pasukan Wanita Kerajaan Aceh, ia diangkat oleh Sultan menjadi Admiral (Laksamana), sebuah pangkat tertinggi dalam militer. (Davis dalam Yacobs,1894).

Awalnya, Armada Inong Balee hanya berkekuatan 1.000 orang janda muda yang suaminya gugur di medan perang laut. Jumlah tersebut, oleh Laksamana Keumalahayati diperbesar menjadi 2.000 orang.

Tambahan personil ini bukan lagi janda-janda, tetapi para gadis remaja yang ingin bergabung dengan pasukan Inong Balee yang dipimpin Laksamana Keumalahayati. (A.Hasjmy, 1980: 3).

John Davis, seorang berkebangsaan Inggris yang menjadi nahkoda sebuah kapal Belanda yang mengunjungi Aceh menyebutkan bahwa Kerajaan Aceh pada masa itu memiliki perlengkapan armada laut yang terdiri dari 100 buah kapal (galey). Di antaranya berkapasitas muatan sampai 400-500 penumpang.

Yang menjadi pemimpin pasukan tersebut adalah seorang perempuan berpangkat Laksamana. (Davis dalam Yacobs, 1894). Pada awal abad XVII, Kerajaan Aceh telah memiliki angkatan perang yang tangguh. Kekuatannya yang terpenting adalah kapal-kapal galey yang dimiliki Angkatan Lautnya.

Berdasarkan sebuah manuskrip (M.S) yang tersimpan di University Kebangsaan Malaysia tahun 1254 H atau sekitar tahun 1875 M, Keumalahayati berasal dari kalangan bangsawan Aceh, dari kalangan sultan-sultan Aceh terdahulu. Ayah Keumalahayati bernama Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari garis ayahnya adalah Laksamana Muhammad Said Syah putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun 1530-1539 M. Adapun Sultan Salahuddin Syah adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M), yang merupakan pendiri Kerajaan Aceh Darussalam. (Rusdi Sufi, 1994 : 30-33).

Sepanjang catatan sejarah, tahun kelahiran dan tahun kematian Keumalahayati belum diketahui dengan pasti. Hanya dapat ditafsirkan bahwa masa hidup Keumalahayati sekitar akhir abad XV dan awal abad XVI. Pada masa Keumalahayati masih remaja, Kerajaan Aceh Darussalam telah memiliki Akademi Militer yang bernama Mahad Baitul Maqdis, yang terdiri dari jurusan Angkatan Darat dan Laut. Para instrukturnya sebagian berasal dari Turki. Sebagai anak seorang Panglima Angkatan Laut, Keumalahayati mendapat kebebasan untuk memilih pendidikan yang ia inginkan.

Peristiwa Cornelis de Houtman Sejarah mencatat, dalam pelayarannya pertama empat buah kapal Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman pada tanggal 22 Juni 1596 berlabuh di pelabuhan Banten (Solichin Salam, 1987:2). Setelah kembali ke negeri Belanda dalam pelayarannya yang kedua armada dagang Belanda yang dipersenjatai seperti kapal perang diserang oleh kapal perang Aceh pada tanggal 21 Juni 1599. Dua buah kapal Belanda yang bernama de Leeuw dan de Leeuwin berlabuh di ibu kota Kerajaan Aceh.

Kedua kapal tersebut masing-masing dipimpin oleh dua orang bersaudara yang bernama Cornelis de Houtman dan Frederick de Houtman. Yang menjadi pemimpin penyerangan adalah Laksamana Keumalahayati. Dalam penyerangan tersebut Cornelis de Houtman dan beberapa anak buahnya terbunuh. Frederick de Houtman ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara (Van Zeggelen, 1935 :157 Davis dalam Yacobs, 1984- 180; Tiele, 1881 : 146-152).

Frederick de Houtman mendekam dalam tahanan Kerajaan Aceh selama dua tahun. Selama di penjara, ia menulis buku berupa kamus Melayu-Belanda yang merupakan kamus Melayu-Belanda pertama dan tertua di Nusantara.

Peristiwa penyerangan kapal Belanda yang dilakukan oleh Laksamana Keumala hayati tersebut dilukiskan oleh Marie van C. Zeggelen dalam bukunya yang berjudul “Oude Glorie”, hal. 157, yang dalam bahasa lndonesianya kira-kira sebagai berikut : “DI kapal Van Leeuw telah dibunuh Cornelis de Houtman dan anak buahnya. Frederick Houtman, oleh Keumalahayati kemudian sebagai tawanan dibawa ke darat. Davis dan Tomkins, keduanya terluka, tinggal di kapal bersama mereka yang mati dan terluka. Dan pada tengah hari kabel pengikat kapal diputuskan dan merekapun berlayarlah.”

Saat ini, makam yang diyakini sebagai makam Malahayati dapat dijumpai Sekitar tiga kilometer dari Benteng Inong Balee. Yaitu pada bagian puncak bukit kecil. Sekeliling areal makam adalah perladangan penduduk. Lokasi ke kompleks makam tersebut ditempuh dengan cara menaiki susunan anak tangga semen mulai dari bawah bukit.

Untuk menghargai kepahlawanan Malahayati, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Skep/1487/XI/1977 mengabadikan namanya di kapal TNI AL dengan nomor lambung 362. Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) juga mencatatkan Benteng Inong Balee dalam Daftar Inventaris Benda Cagar Budaya Tidak Bergerak dan Situs dengan nomor registrasi 2/01-06/C/56.

Menurut Ridwan Aswad, Sekretaris Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA), Benteng Inong Balee dan Malahayati masih diselimuti misteri. Karena cerita tentang Malahayati sendiri sangat sedikit disebutkan dalam buku-buku sejarah.

Ridwan mengatakan, memang ada dalam buku Aceh Sepanjang Abad edisi pertama tahun 1961, halaman 124, disebutkan kisah tentang perlawanan Aceh terhadap belanda tahun 1599, salah seorang anak buah kapal bernama John Davis, seorang berkebangsaan Inggris, mengatakan bahwa salah seorang laksamana itu adalah wanita, itu memang betul. Tapi namanya tidak disebutkan.

“Tapi sekarang yang terpenting adalah situs sejarah itu dipelihara dengan baik. Agar misteri itu bisa dibuka, minimal kita bisa membayangkan suasana masyarakat tempo dulu, sehingga sejarah bukan hanya impian, tetapi ada bukti pendukung,” ungkap laki-laki 61 tahun itu. (jul/mul)

Belum ada komentar

Berita Terkait