SETELAH sebelumnya dinyatakan resmi mejadi Warisan Budaya Nasional (Warbudnas) pada 29 Oktober 2021 lalu, akhirnya Kupiah Meukeutob secara resmi telah menerima sertifikat sebagai Warisan Budaya tak Benda (WBTb) Nasional.
Sertifikat tersebut diserahkan oleh Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek, Hilmar Farid kepada Pemerintah Aceh yang diwakili oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh Jamaluddin di Plaza Insan Berprestasi, Gedung A Kemendikbudristek Jakarta, Selasa, 7 November 2021.
“Sertifikasi ini sebagai komitmen Pemerintah Aceh untuk terus menjaga dan melestarikan Kupiah Meukeutob sebagai karya budaya nasional,” ujar Jamaluddin yang didampingi Kabid Sejarah dan Nilai Budaya Evi Mayasari.
Evi juga menambahkan, untuk tahun depan Disbudpar Aceh selaku koordinator pengusulan WBTb akan meningkatkan koordinasi dan mendorong kabupaten/kota untuk mengusulkan karya budayanya masing-masing sebagai bentuk perlindungan terhadap kelestarian budaya.
“Disbudpar Aceh akan terus membantu dan memfasilitasi teman-teman di kabupaten/kota dalam rangka pencatatan WBTb pada awal tahun 2022,” pungkasnya.
Metamorfosis Kupiah Tungkop
Kupiah Meukutob, namanya berkibar di Meulaboh, Aceh Barat. Ia diidentikkan dengan pakaian khas pahlawan Aceh dari sana, Teuku Umar. Tapi menurut para perajinnya, kopiah ini berasal dari Kabupaten Pidie.
Bukan soal klaim daerah. Menurut Fatmawati (55), Ketua Kelompok Perajin Tungkop Indah, ia sudah diwarisi keterampilan membuat kopiah yang kini aksesoris wajib pengantin pria Aceh itu semenjak kecil oleh orangtuanya.
Menurutnya, Kupiah Meukutob sejatinya bernama Kupiah Tungkop, sesuai dengan daerah lahirnya, Gampong Rawa Tungkop, Kemukiman Garot–Tungkop, Kecamatan Indrajaya, Pidie. Sebuah kelaziman di Aceh tempo dulu, nama produk hasil kerajinan tangan masyarakatnya diberikan berdasarkan nama daerah asal pembuatannya.
Fatmawati bersama 50 anggotanya terus merajut warisan orangtua mereka—dikisahkan pembuatan Kupiah Tungkop sudah ada sejak masa Kerajaan Aceh Darussalam—di kolong rumah panggung berkonstruksi kayu, Rumoh Aceh. Kerajinan itu menghiasi hari-hari mereka bila tidak sedang musim padi yang hanya sekali dalam setahun, dengan mengajari generasi muda setempat.[*/dimila]
Belum ada komentar