Banda Aceh — Pemerintah Aceh kurang memperhatikan perajin kain songket, khususnya di kawasan sentral Kabupaten Aceh Besar, sehingga usaha tradisional masyarakat tersebut kurang berkembang bahkan terancam punah.

“Usaha kerajinan tangan yang telah berjalan secara turun temurun tersebut dalam beberapa tahun terakhir kurang mendapat perhatian dari pemerintah, sehingga usaha ini sulit berkembang,” kata Jasmin, salah seorang perajin songket di Desa Miruk Taman, Kabupaten Aceh Besar, Selasa (28/08).

Dijelaskannya, usaha industri rumah tangga yang dijalaninya bersama warga lainnya sempat mendapat perhatian serius dari berbagai pihak saat rehabilitasi dan rekontruksi Aceh pascatsunami 2004, namun dengan berakhirnya kegiatan tersebut industri rumah tangga kerajinan songket seakan tidak mendapat perhatian.

“Kami sangat membutuhkan perhatian dan pembinaan dari pemerintah sebagai upaya meningkatkan mutu dan kualitas hasil kerajinan agar mampu bersaing dengan songket yang dihasilkan dari provinsi lainnya,” katanya.

Disebutkannya, harga songket yang diproduksinya tersebut dijual dari Rp1,5 juta sampai Rp1,8 juta/lembar dengan waktu pembuatan sekitar 20 hari.

Ia mengatakan, kain songket yang diproduksi tersebut menawarkan berbagai motif khas Aceh dan disesuaikan dengan keinginan dari konsumen yang akan membeli hasil kerajinan tersebut.

“Rata-rata kain songket yang kami hasilkan merupakan pesanan dari konsumen, jika ada pesanan maka kami buat dan begitu juga sebaliknya,” katanya.

Ia menyatakan, pihaknya berharap adanya pembinaan secara intensif dari pemerintah, sehingga kerajinan rumah tangga yang digeluti secara turun temurun dari daerah sentral kerajinan songket dapat terus berkembang di masa mendatang.

“Kami juga berharap adanya pasar penampung demi keberlanjutan usaha songket yang makin tahun akan kehilangan penerusnya jika minimnya perhatian dan pembinaan dari pemerintah,” ujar Jasmin. (ant)