KEPUTUSAN Keputusan Pemerintah Provinsi Aceh menerbitkan rancangan qanun atau peraturan daerah tentang tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara mendapat kritik Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI).
Qanun itu justru akan membuat Aceh tak menarik lagi bagi investor pertambangan. Perda ini kontraproduktif terhadap upaya menarik investor, qanun itu juga bertabrakan dengan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang mengatur soal besaran royalti.
“Ini jelas sangat memberatkan pertambangan mineral dan batubara. Pasalnya belum lagi menyusul rencana pemerintah pusat yang akan menaikkan royalti pertambangan,” ujar Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI), Supriyatna Suhala, Minggu (9/2/2014).
Situasi pengusaha bakal bertambah berat karena Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga berencana menaikkan royalti. “Kalau pusat naik daerah juga mau menaikkan, berapa persen itu totalnya, jelas sangat memberatkan,” katanya.
Apalagi, batubara di Aceh kualitas dan kadar kalorinya rendah dengan harga yang tidak begitu tinggi, di kisaran US $ 30 hingga US$ 40. Pasarnya juga tidak kompetitif karena cuma ke India. Karena itu, dengan dibebani berbagai macam pungutan jelas membuat gerak bisnis pengusaha makin susah.
“Kalau kedua-duanya diterapkan, royalti pusat naik dan ada perda, saya kira enggak akan ada pengusaha yang bisa hidup,” ungkap dia.
Pengusaha, kata Supriyatna, sudah mengeluh karena tidak mungkin bisa survive dengan beragam regulasi yang memberatkan. Hitungan Pemerintah Aceh bahwa pengusaha menikmati keuntungan menambang batubara hingga 95% juga dia nilai sebagai hitungan yang tak jelas dasarnya.
Dalam bisnis pertambangan, untuk biaya pengupasan tanah (prastriping) hingga biaya memasukkan batubara ke kapal mencapai US$ 27,5. Kalau kemudian ditambah biaya royalti sebesar 5 persen atau sebesar US$ 1,35 per ton plus biaya kompensasi sebesar 5 persen dan biaya community development sebesar 2 persen.
Berdasarkan hitungan itu, biaya produksi per ton batubara kalori 5100 bisa mencapai lebih US$ 30. “Dengan hitungan ini, apa yang didapat pengusaha,” tegasnya.
Itulah sebabnya, pengamat pertambangan Simon F Sembiring dan Marwan Batubara kompak mengingatkan pemerintah pusat, untuk tidak gegabah menyutujui qanun tersebut. Jangan sampai qanun ini menjadi preseden buruk dalam bisnis pertambangan mineral dan batubara. (tribunnews)
Belum ada komentar