Warga menyelematkan harta di lokasi gempa (Foto Twitter @IndieGem)
Salah satu kondisi di reruntuhan rumah ibadah (Foto Twitter @IndieGem)
Salah satu kondisi di reruntuhan rumah ibadah (Foto Twitter @IndieGem)

SEJAUH mata melihat, suasana pasca gempa 6,2 SR yang melanda Bener Meriah dan Aceh Tengah, Selasa (2/7) lalu yang juga turut dirasakan seluruh Aceh, Medan, dan juga beberapa daerah lainnya di Sumatera sungguh pilu.

Bangunan semisal rumah, fasilitas umum untuk publik, rumah ibadah hampir rata-rata rubuh dengan tanah. Pemandangan pilu sangat-sangat terlihat, tidak ada lagi tempat untuk bernaung dalam dinginnya malam di dataran tinggi Gayo ini. Belum lagi jumlah korban yang terus bertambah dari hari ke hari, meninggal dunia, hilang, hingga luka-luka seakan tidak bisa tertampung lagi di puskesmas dan rumah sakit.

Badai mungkin akan berlalu, kata-kata itu pun sering menyatu dalam setiap alunan lagu. Namun, kepiluan selalu akan hadir, bukan saja dari rasa empati kepada korban, melainkan juga orang-orang yang semakin hari terjauh dari sebuah rasa dalam jiwa, rasa kasihan, rasa kehilangan, rasa yang mungkin akan selalu muncul untuk melihat bencana lebih dekat dengan mata sebagai bukti.

Bukan tidak mungkin, ‘wisata gempa’ yang berlabel pada tamu-tamu yang tidak diharapkan terus berdatangan. Kadang membawa misi kemanusiaan dengan jati diri relawan, tapi dibalik itu akses ke tempat-tempat terparah malah siaga dengan hape –yang smartphone– atau gadget untuk memotret situasi tanpa bisa beraksi.

Kita sadar, psikologis korban sangat berat. Harta dan jiwa sudah lebur, harapan mereka hanya satu berdo’a dan berusaha untuk bisa terus bertahan dan juga lewat pertolongan dari sesama.

Memang betul, foto atau gambar adalah salah satu media menyebarkan informasi. Etika pun perlu diperhatikan disini, apalagi dengan adanya jejaring sosial seperti Twitter dan Facebook sangat mudah untuk berbagi informasi dalam sekejap.

Bukan tidak mungkin, foto-foto itu pun akan dikonsumsi oleh masyarakat luar  atau netizen (pengguna internet), bisa jadi dari foto-foto yang kita bagi lebih berdampak pada narsis diri dibandingkan kondisi sebenarnya yang dialami oleh korban (pengungsi). Jadi, sadarilah dokumentasi foto atau gambar yang berupa penampakan diri di tengah kondisi tanggap darurat hanya bisa menjadi arsip untuk sementara dan bukan untuk dipublish semena-mena.

Fenomen ‘wisata’ di tengah bencana sudah kerap terjadi di Indonesia, tidak hanya di Bener Meriah dan Aceh Tengah yang baru-baru ini dilanda gempa. Bentuk kecil lainnya pun bisa perhatikan disaat musibah semisal kebakaran, berapa banyak orang yang pergi melihat dibandingkan yang membantu? Apalagi saat ini banyak orang  (netizen) kejebak dengan plesetan “no pic = hoax” yang dalam kondisi bencana itu jelah menyesatkan.

Solusinya mungkin sederhana, kembalilah pada fitrah diri dan jangan sampai teknologi memburu nafsu untuk kita menjadi orang-orang yang cuma peduli sesaat. Melainkan sebaliknya lewat kemajuan informasi, justru kitalah yang mengontrol itu semua agar bisa tercipta kondisi yang tidak saling merugikan — terutama psikologis korban di daerah bencana.

Dan khususnya untuk petugas berwajib, selalu siaga dengan garis polisi (police line) di setiap tempat yang tidak boleh di lewati orang semisal rawan longsor, daerah korban tertimbun, dan lainnya. Setidaknya hal ini telah memberi rambu, agar warga juga teredukasi. Karena dari setiap bencana pasti akan ada tahap atau fase-fase yang dilewati seperti response (tanggapan), recovery (perbaikan), mitigasi, persiapan, dan juga lainnya.

Kita tidak ingin lagi ada jeritan-jeritan korban yang terus mengusik mereka, “jangan foto kami, kami perlu bantuan bukan untuk difoto”, dan masih banyak lainnya. Semoga saja, disaat kita bisa memahami fenomena seperti ini tentu bisa menjadi sedikit bahan pelajaran, jika belum mampu membantu lewat fisik atau tenaga, bantulah dengan do’a dan harta, jika belum sanggup pula jangan usik mereka (korban) lewat perbuatan kita.

Kita juga tidak mengharapkan ‘wisata bencana’ ini terus terjadi dikalangan masyarakat, tidak saja di tanah Gayo melainkan juga di seluruh Indonesia. Karena kita sadar negeri yang kita pijak adalah negeri yang rawan bencana, maka dari itu kesiapan untuk belajar dari setiap musibah harus menjadi dasar pijakan kita untuk mewujudkan masyarakat berbudaya siaga bencana, layaknya seperti negeri Sakura.[]