Banda Aceh, Seputar Aceh- Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Aceh, Dahlan Sulaiman, memandang lokasi Aceh tidak strategis untuk pengembangan usaha, sehingga membutuhkan kerja yang lebih keras untuk mengembangkan ekonomi.

“Dalam hal perizinan, masih banyak aparat yang belum memahaminya. Selain itu, pungutan di jalan raya juga masih cukup sering terjadi, selain upah minimum provinsi yang tergolong tinggi,” kata Dahlan Sulaiman, Kamis (29/10), pada acara peluncuran buku Tata Kelolo Ekonomi Daerah Aceh 2008, di Hermes Palace Banda Aceh.

Sebagai pelaku usaha, ia juga memandang bahwa pemerintah belum memahami kebutuhan dunia usaha dengan baik.

Direktur Eksekutif Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED), Agung Pambudhi mengatakan, program pengembangan usaha swasta (PPUS) di Aceh, yang mestinya dinikmati pengusaha mikro dan kecil, ternyata lebih banyak diikuti pengusaha besar dan menengah.

Berbagai PPUS, seperti pelatihan manajemen bisnis, peningkatan kualitas tenaga kerja, proses mempertemukan mitra bisnis, dinilai dapat memiliki dampak positif terhadap kegiatan usahanya.

“Sayangnya, kurang dari 20 persen responden yang mengetahui dan pernah berpartisipasi dalam PPUS ini,” ungkap Agung, berdasarkan hasil survei yang dilakukan pihaknya selama pembuatan buku TKED Aceh.

Menurut Agung, rata-rata pelaku usaha di Aceh membutuhkan waktu delapan minggu, dalam hal pengurusan sertifikat tanah. Ia beranggapan, hal ini cukup baik jika dibandingkan dengan 15 provinsi lain di Indonesia yang mencapai 12 minggu. Risiko terhadap penggusuran tanah dan potensi konflik lahan juga dipandang rendah oleh pelaku usaha.

“Secara keseluruhan, wilayah dengan kepadatan penduduk yang rendah relatif memperoleh peringkat lebih tinggi pada aspek lahan daripada kawasan perkotaaan,” katanya.

Kepala Biro Kesejahteraan Rakyat, Pemerintah Aceh, Saifuddin Harun, mengatakan saat ini merupakan momentum yang tepat untuk memperbaiki tata kelola ekonomi daerah Aceh untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat. [sa-jmg]