Di rumah yang berbatasan langsung dengan dinding meuligoe gubernur, Basyariah menerima upahan mencuci pakaian sejak seperempat abad lalu. Umurnya kini 70 tahun.
BULIR air mengalir dari deretan pakaian basah yang terpanggang mentari di deretan tali-temali usang di halaman rumah Basyariah. Baju dan celana berjejer rapi, warna-warni seperti pelangi menghiasi kediaman perempuan tua itu.
Rumah sederhana di lorong Amaliah, Peuniti, Banda Aceh itu berdinding papan seadanya. Letaknya persis di belakang Meuligoe Gubernur Aceh. Di sana ia tinggal bersama empat anak dan seorang cucu.
Basyariah hidup di rumah itu setelah ditinggalkan oleh suaminya yang berdarah Jawa pada tahun 1981. Suaminya pergi selamanya, tanpa meninggalkan banyak harta atau warisan. Basyariah seorang janda miskin.
Dua tahun setelah suaminya meninggal, terbukalah babak baru dalam hidup Basyariah. Ia harus bekerja keras dengan menjadi buruh upahan pencuci pakaian, pekerjaan yang sudah digelutinya sampai sekarang.
Ia menerima upah menyuci pakaian dari kedai binatu (laundry) sejak 25 tahun lalu.
“Waktu itu ongkos cuci satu baju masih 25 rupiah, sedangkan seprai 75 rupiah,” kata Basyariah, mengenang kisah ketika pertama kali ia menerima upah, ketika dijumpai Seputar Aceh di rumahnya pekan lalu.
Dalam sehari biasanya Basyariah mampu mencuci hingga 200 potong pakaian dan jenis kain lainnya. Untuk setiap satu potong pakaian yang dicuci kering, tanpa disetrika, ia mendapat upah hanya Rp600. Orderan itu didapat dari salah satu kedai laundry di Peuniti.
Basyariah tidak sendirian. Ia dibantu ketiga anak perempuannya.
“Mereka ikut membantu saya menyuci pakaian sehari-hari. Anak saya yang laki-laki bekerja di luar rumah,” kata perempuan asal Ajun Jeumpet Aceh Besar ini.
Belakangan ini dalam sehari Basyariah mendapat pemasukan Rp100 ribu. Uang itu digunakan untuk memehuni kebutuhan hidup dan menyekolahkan anak serta cucunya. Jika ada sisa, ia menabung.
Di bulan Ramadhan, ia tetap bekerja seperti buasa. Puasa tidak membatasinya. Tiada hari yang ia jalani tanpa menyikat, membilas dan menjemur pakaian-pakaian itu.
Saat pertama kali menerima upahan cucian pakaian, Basyariah mengaku harus pergi ke sungai. Air sumurnya sangat terbatas. Berbeda dengan sekarang. Kini ia sudah lega, karena adanya sumbangan aliran pipa air sumur bor dari pendopo gubernur dan masuknya air PDAM ke kawasan perumahan tempat ia tinggal.
“Saya sangat berterima kasih kepada bapak Gubernur Abdullah Puteh. Dia yang telah memberikan kami aliran pipa air sumur bor dari pendopo,” kata Basyariah.
Diumurnya yang 70 tahun, Basyariah mengaku tak tahu kapan akan berhenti menerima upahan menyuci pakaian. Ia hanya berpikir untuk terus menyuci dan menyuci. Ia tak punya harapan lain.
Ia ihklas pada pekerjaan itu. Raut bahagia selalu terpancar di wajahnya, meski esok tak ada waktu istirahat, meski esok ia harus mencuci lagi. [husaini]
Belum ada komentar