Irzen Hawer, memperlihatkan novel terbarunya “Gadis Berbudi” (2013).
Irzen Hawer, memperlihatkan novel terbarunya “Gadis Berbudi” (2013).

NOVELIS Indonesia asal Kota Serambi Mekah Padangpanjang Sumatera Barat Irzen Hawer kembali “menelurkan” novel terbarunya; “Gadis Berbudi”. Novel yang diterbitkan FAM Publishing, Divisi Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia ini, melepas dahaga pembaca yang menunggu kisah-kisah dengan warna lokal yang ditulis “Pak Guru” ini.

“Gadis Berbudi” adalah novel keempat buah karya Irzen Hawer setelah novel-novel sebelumnya ia tulis dan sukses di pasaran. Novel-novel itu adalah “Cinta di Kota Serambi” (2010), “Gerhana di Kota Serambi” (2011), dan “Prosa Cinta di Kota Serambi” (2012). Bila merunut tahun terbitnya, setahun sekali Irzen Hawer menghasilkan satu novel yang terbit dan itu sangat produktif sekali.

Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Negeri 1 Batipuh, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat ini menyebutkan, “Gadis Berbudi” dia tulis sejak tahun 2010 setelah novel pertamanya terbit yaitu “Cinta di Kota Serambi”. Namun novel ini tidak buru-buru dirilis dengan alasan dia melakukan sejumlah riset terkait tokoh dan ide cerita di dalamnya. Baru pada September 2013 novel ini terbit.

“Novel ini termasuk novel yang paling lama saya tulis karena proses kreatif dan risetnya membutuhkan waktu,” ujar Irzen Hawer, Rabu (2/10).

Dia menyebutkan, “Gadis Berbudi” berkisah tentang seorang gadis minang yang mencari ayah kandungnya dan kuliah di salah satu kampus seni di Kota Padangpanjang. Dalam pencarian itu, si tokoh mengalami bermacam konflik yang mengharu-biru. Walau begitu novel dengan ketebalan 472 halaman ini juga mencerahkan lantaran ditulis dengan bahasa yang mudah dicerna yang beberapa babnya disisipi dengan kisah-kisah yang kocak dan romantis.

“Sebuah kisah melodrama yang ditulis dengan bahasa yang lancar, dan tak bertele-tele. Pengarang berhasil menggiring pembacanya tanpa airmata, karena tokohnya yang jujur, sederhana, berdedikasi dan mandiri. Perlu dibaca sebagai motivasi bagi generasi sekarang,” ujar Syarifudin Arifin, sastrawan dan budayawan minang mengomentari novel “Gadis Bebudi”.

Sementara terkait tema perjodohan yang juga disisipi di dalam novel ini, menurut Arafat Nur yang juga pemenang penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta 2010, tema itu memang kaya dengan konflik dan masih menjadi daya tarik yang tiada pernah kering digali.

“Sebagaimana novel ini punya lika-liku yang pelik, yang menunjukkan betapa rumitnya sebuah hubungan antar manusia di dalam sebuah keluarga. Tidak semua keinginan bisa dicapai dengan kehendak yang memaksa, yang kemudian justru menimbulkan sebuah kehancuran. Gadis Berbudi, sebuah cerita yang mengandung nilai edukatif yang cocok dibaca bagi mereka yang ingin memahami suatu hubungan, sebuah sisi dunia lain yang kita jalani juga,” kata Arafat Nur yang juga penerima anugerah Khatulistiwa Literary Award 2011 dan berdomisili di Aceh Utara.

Dalam produktivitasnya melahirkan karya sastra terutama novel, menurut pegiat Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia Muhammad Subhan, apa yang dilakukan Irzen Hawer menjadi preseden yang baik bagi murid-murid didikannya di sekolah.

“Seorang guru yang menulis akan memberikan pengaruh yang luar biasa bagi anak didiknya. Pengaruh itu akan membuat banyak orang suka membaca buku dan menulis karangan yang akhir-akhir ini mulai jarang dilakukan,” kata Muhammad Subhan.

Dalam ranah kesusastraaan Sumatera Barat nama Irzen Hawer sudah tidak asing lagi. Ia lahir di Padangpanjang, Sumatera Barat, tahun 1960. Setelah menamatkan pendidikan menengah di SMA jurusan IPA, ia melanjutkan pendidikan tingginya di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FPBS IKIP Padang. Semasa kuliah ia aktif berkesenian pada Sanggar Prakarsa FPBS di perguruan tinggi tersebut.

Produktivitas Irzen Hawer menulis novel berawal ketika ia mengikuti pelatihan Membaca, Menulis dan Apresiasi Sastra (MMAS) di Rumah Puisi Taufiq Ismail akhir tahun 2008, yang juga dihadiri Ahmad Tohari, seorang sastrawan yang menulis novel “Ronggeng Dukuh Paruk”. Dalam acara tersebut, Irzen berkesempatan melakukan diskusi-diskusi singkat dengan salah satu sastrawan terkenal itu. Kemudian hari, Irzen Hawer merasa tertarik untuk menulis novel dan tak lama kemudian, di tahun 2009, ia telah merampungkan novel “Cinta di Kota Serambi” dan diterbitkan pada awal tahun 2010. Novel tersebut mendapat sambutan luas dari masyarakat, dan diiringi terbitnya novel-novel karyanya yang lain.

“Saya menyampaikan terima kasih kepada para pembaca yang telah membaca novel-novel yang saya tulis, semoga bermanfaat dan mencerahkan,” ujar Irzen Hawer yang juga anggota Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia Cabang Kota Padangpanjang itu. (rel)