SETELAH Melewati tahun baru dengan ”gempuran” publisitas yang negatif, mulai dari survei yang menghasilkan data merosotnya dukungan untuk Partai Demokrat, dan penahanan mantan ketua umumnya, Anas Urbaningrum, SBY setidaknya meyakini bahwa beberapa hal masih bisa berjalan dengan baik.

Ketika banyak orang meremehkan Konvensi Partai Demokrat yang diprediksikan gagal untuk meningkatkan popularitas partai, mata publik telah menangkap satu atau dua calon yang menonjol–terutama Dahlan Iskan. Peserta yang menonjol lainnya adalah kakak ipar SBY, Pramono Edhi Wibowo yang juga telah menarik perhatian karena masih ada hubungan dengan keluarga Cikeas.

Kembali ke Dahlan Iskan, banyak orang terkejut ketika dia diangkat menjadi Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN) pada 2009. Namun, setelah saya berkeliling ke pembangkit listrik di Kalimantan Timur, dan mengetahui komitmen Dahlan dalam mengurus kelistrikan di Indonesia, semuanya lantas menjadi masuk akal. Masa kepemimpinan Dahlan di PLN benar-benar “electrifying”.

Dengan semangat tak kenal lelah, ia memimpin PLN yang menghadapi problem berat, dan mengubahnya menjadi entitas yang berorientasi pada layanan maksimal kepada publik. Saya masih ingat jelas ketika berpapasan dengannya di bandara dan lobi hotel: ia begitu cepat meloncat dari satu provinsi ke provinsi lain dengan diikuti staf PLN yang tampak kelelahan di belakangnya. 2011, SBY mengangkat Dahlan Iskan menjadi Menteri BUMN, dan pengangkatan ini disambut gembira oleh masyarakat.

Saat kabinet terlihat lesu, Dahlan datang seperti sebuah cahaya yang terang – memberikan bangsa ini sebuah sentuhan yang dinamis namun tetap fokus pada peningkatan kinerja BUMN. Tentu saja, akan ada saat-saat di mana ia melewati batas. Dalam sebuah insiden yang terpublikasi, setelah menjabat sebagai menteri, Dahlan membuka paksa gerbang tol Semanggi.

Ia membebaskan para pengendara yang terjebak macet di jam sibuk masuk kantor. Beberapa pekan kemudian Dahlan mengulangi aksi serupa di gerbang tol lain. Namun dia menemukan bahwa tol kedua yang menjadi ‘korbannya’ bukan milik BUMN. Namun, masyarakat tampak senang melihat aksi Dahlan, dibandingkan siapa saja yang hanya duduk diam.

Pertemuan dengan Dahlan di Jakarta beberapa minggu lalu terjadi setelah Pertamina menaikkan harga elpiji, saya datang menyapa Pak Menteri yang selalu bersemangat ini. Setelah baru saja menyelesaikan olahraga pagi di Monas, sembari menyantap bubur ayamnya, Dahlan Iskan mengajak saya bercakap-cakap sebentar. “Kenaikan harga ini (elpiji) memang harus dilakukan, tapi besaran harga kenaikan harus dikoreksi.”Sepanjang diskusi, pesan utama Dahlan cukup jelas.

Ketika ditanya tentang strateginya untuk Konvensi Partai Demokrat ia berujar santai. “Kampanye terbaik adalah kinerja”, ia menambahkan, “Anda harus terbiasa bekerja lama dan ekstra keras selama 16-18 jam sehari”. Dahlan menambahkan, “Saya sudah mencoba menolak (masuk konvensi) dengan enam alasan, salah satunya saya mau kembali jadi orang bebas.

Saya juga tidak mau ikut konvensi kecuali direstui Pak Presiden. Kalau tidak benar-benar diminta saya tidak mau. Saya tidak ingin kemajon (mendahului) dan itu tidak baik dalam kebudayaan Jawa, karena saya masih anak buah Bapak Presiden”. Namun, orang-orang tidak melihat Dahlan sebagai ‘orang dalam’ Cikeas meskipun ia dengan hormat menyebut ‘Bapak Presiden’.

“Program-program yang direncanakan pada masa Presiden SBY pada dasarnya semuanya sangat baik. Jika terpilih nanti, saya akan melanjutkan dengan nilai tambah pada pembangunan infrastruktur, ketahanan pangan, energi dan industrialisasi dalam negeri,” sebut Dahlan. Tidak perlu diragukan bahwa Dahlan telah mengumpulkan sejumlah pengalamannya baik dari segi keadministrasian dan jangkauannya ke seluruh Indonesia.

“Saya paham betul apa yang dilakukan Pak Presiden. Saya tidak perlulah belajar. Road map-nya sudah saya pikirkan. Kadang-kadang harus mampu membuat keputusan yang cepat sehingga tidak kehilangan momentum. Momentum sekarang, ekonomi dan demokrasi, saya lihat sedang bagus. Pak Presiden memiliki kegelisahan tentang demokrasi.

Karena yang berkualitas belum tentu terpilih dan yang terpilih belum tentu berkualitas,” ujar pria asal Magetan ini. Saya rasa, tidak ada yang lebih tahu tentang Indonesia dibandingkan pria yang memiliki lebih dari dua ratus surat kabar yang tersebar di provinsi dan kabupaten dari Aceh hingga Papua ini. Selain itu, masyarakat basis kelas menengah yang cemas akan nasib reformasi banyak yang mendukungnya.

Dahlan Iskan jelas siap untuk menapaki tantangan kepemimpinan ke depan. Bapak Presiden pasti sangat senang memiliki orang-orang yang bersedia untuk melanjutkan dan mewarisi yang sudah dilakukannya. *)Karim Raslan adalah seorang pengamat Asia Tenggara. Dia memiliki keahlian di bidang public affairs, pendiri sekaligus CEO KRA Group.

Lulusan Cambridge University ini memiliki pengalaman lebih dari 15 tahun dalam bidang stakeholders management, dan analisis risiko sosial-politik di Asia Tenggara. Pengalamannya sebagai pengacara, kolumnis dan penulis telah mengembangkan pemahamannya yang luas mengenai bisnis dan politik di seluruh Asia Tenggara, terutama di Malaysia, Indonesia, Singapura, Thailand dan Filipina. (kaltimpost)