Mari Elka Pangestu

Mari Elka PangestuUNTUK pertama kalinya dalam 119 tahun, Indonesia akan berpartisipasi dalam pameran arsitektur bergengsi di dunia, Venice Biennale Arsitektur (Architecture International Exhibition Venice Biennale-AIEVB) 2014. Ajang ini akan diselenggarakan di Kota Arsenale, Venezia Italia, selama enam bulan dari 14 Juni hingga 27 November 2014.

“Untuk bisa berpartisipasi di ajang ini bukan dengan mendaftar, melainkan harus diundang oleh pihak mereka. Ini bukti eksistensi Indonesia di dunia arsitektur. Kita harus ikut untuk tampilkan cerita tentang arsitektur Indonesia,” ujar Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu, dalam jumpa pers di Jakarta.

AIEVB 2014 mengangkat tema ‘Fundamentals, Absorbing Modernity: 1914-2014’. Hal ini, seperti disampaikan kurator utama AIEVB 2014, Rem Koolhaas, yang meminta agar tiap negara peserta pameran dengan caranya masing-masing menunjukkan perjalanan proses terkikisnya “karakter nasional” karena diadopsinya sebuah bahasa arsitektur modern yang universal.

“Event ini juga menjadi ajang untuk mempromosikan daya tarik destinasi Indonesia,” ujar Mari.

Dalam menterjemahkan tema utama yang disampaikan Rem Koolhaas, Avianti Arman bersama rekan kurator lainnya yang terpilih mewakili Indonesia, menjadikan “ketukangan” sebagai tema utama yang akan diangkat.

Pemilihan tema tersebut, jelas Avianti, setelah melihat seratus tahun perjalanan sejarah arsitektur Indonesia, termasuk dalam persinggunganya dengan modernitas. Selama ini, adanya metoda produksi modern, membagi proses kerja dalam dua wilayah besar, yakni desain yang mereprentasikan ide dan konstruksi yang merepresentaikan kerja lapangan.

Spesialisasi ini mengkondisikan arsitek bekerja hanya pada satu aspek tertentu yang akhirnya memfokuskan perhatian mereka pada hal-hal tertentu saja. Arsitek seringkali kehilangan kontak dengan keseluruhan proses. Dalam merancang tidak lagi berdasarkan pemahaman yang cukup terhadap tapak, lokasi, iklim, topografi, sumber daya alam, tenaga, teknologi dan ketrampilan membangun serta material.

“Tim akhirnya memaparkan bahwa ketukangan merupakan jalan alternatif ke arah memanusiakan kembali kerja yang menjadi terasing karena kapitalisme. Dalam kapitalisme menemparkan kerja bukanlah kesenangan, melainkan komoditi, Disinilah ‘ketukangan’ merupakan jawaban ekonomis, estetis, bahkan etis terhadap matearilitas,” kata Avianti.

Ketukangan sendiri erat kaitanya dengan material atau bahan yakni, kayu, bata, bata, beton, metal dan bambu.

“Kalau kita soal kayu, bangunan yang kita ambil adalah Aula Barat ITB. Dia gunakan susunan kayu lapis yang diikat dengan baja. Itu pemecahan original dan sangat kreatif dari keterbatasan kayu yang ada,” ujar Setiadi Sopandi, kurator lainnya.

“Kalau batu, kita akan bicara soal batu dalam restorasi borobudur. Dengan hal itu batu candi jadi hidup dan menghadirkan keterampilan baru,” jelas Setiadi.

Nantinya paparan ini akan dipresentasikan dalam medium kaca dan film.

“Ini jadi proporsi yang menarik dan membuat sejarah arsitektur Indonesia jadi khas. Kaca memang tidak pernah cocok sebagai material yang dominan di iklim tropis. Maka, kami menampilkan kaca sebagai sesuatu yang lain yang tidak material,” papar Setiadi. (rol)