*Diilhami dari Kisah Nyata
Oleh. Boy Nashruddin Agus
“Kak…kamu syahid. Semoga dirimu tenang di alam sana. Aku rindu memetik jamur kancing bersamamu. Tunggu aku di surga ya kak”
Langit masih meremang, saat Naura bersama Dahri dan Siti berjibaku menantang dinginnya suhu hari itu, berburu jamur yang tumbuh di pematang sawah, usai panen padi di gampong mereka. Ketiga gadis cilik ini, tak sadar bahaya sedang mengintai mereka di subuh berdarah itu.
Juli, 1997. Masyarakat gampong Paya Seutui, Pidie Jaya, Aceh, masih terlelap dalam singgasana pembaringan di rumah mereka. Dari sebuah rumah berkonstruksi panggung bercorak semi rumah Aceh, keramaian mulai terlihat. Satu dua kamar, perlahan menghidupkan penerangan dan suara-suara canda kecil menghiasi pagi.
Seorang gadis berusia enam tahun, dengan rambut berwarna pirang turun dari rumah utama. Ia menuju ke sumur yang letaknya tak jauh di belakang rumah. Di tangan gadis cilik ini, tergenggam sebuah lampu teplok. “Kak…takut. Kawanin,” pintanya, pada saudara perempuannya yang berada di dapur.
“Entah apa takut. Pergi terus ke sumur. Aku memantaumu dari pintu.”
“Kawanin…” rengek gadis berambut pirang lagi.
“Baiklah. Naura…Naura.., kau memang penakut rupanya,” jawab Dahri, gadis yang berada di dalam rumah.
Dahri keluar dari dapur menuju sumur. Gadis berkulit hitam dan lebih tua dari Naura ini, berdiri di pintu sumur sembari menatap langit. Sesekali, ia memerhatikan daun-daun melinjo yang tertiup angin. Dahri tersenyum kecil.
Naura yang sedang berada di dalam sumur, bergegas ke luar. Ia telah selesai mengambil air wudhu’ dan kembali ke dalam kamarnya. Sementara Dahri, kembali menuju dapur mencari kantung plastik. Di buka olehnya satu persatu, kantung-kantung plastik besar yang tergantung di sela-sela dinding kayu rumah itu.
“Dapat,” gumamnya, sembari meraih sehelai kantung plastik kecil berwarna hitam dan dimasukkan ke dalam saku celana, seragam olahraga sekolahnya.
“Hei…kau mau kemana?” tanya seorang wanita, paruh baya dengan rambut panjang sepinggul yang baru saja turun dari ruang utama.
“Aku mau mencari jamur Kak. Aku dan Siti, semalam sudah sepakat mencari jamur pagi ini.”
“Hmm…Kau ajak Naura bersamamu. Tapi, jangan terlalu jauh kalian mecari jamur itu. Gampong masih sepi. Orang-orang bersenjata pasti masih berkeliaran,” sambut Kakaknya, seraya membuka pintu dapur menuju ke arah sumur.
Gadis berkulit hitam itu, memicingkan mata. Kemudian, ia menghela napas panjang. Dahri tidak begitu senang mengajak Naura. Karena, adik bungsunya itu terlalu penakut. Pikirnya, ia nanti pasti akan merengek minta pulang. Apalagi, hari belum begitu terang.
Namun, Dahri terlalu takut membantah perintah kakak sulungnya. Maka, dengan berat hati, ia memanggil Naura yang memang senang sekali diajak bersama Dahri dan Siti mencari jamur.
Selesai berkemas, dua saudara perempuan ini menjemput Siti. Rumah Siti terletak 400 meter ke arah barat dari rumah Naura dan Dahri. Tak jauh dari rumah Siti, persawahan penduduk gampong Paya Seutui membentang luas hinggake kaki bukit Pemancar.
“Siti…Siti…” panggil kedua bersaudara ini.
“Ya…aku sudah siap. Sebentar ya.”
Dari balik pintu rumah semi permanen berwarna hijau muda, keluar seorang anak perempuan. Tubuhnya tambun dan lebih tinggi dibandingkan Naura dan Dahri. Ia adalah Siti. Teman akrab Dahri sedari kecil.
Karena takut terlambat, ketiga gadis ini akhirnya bergegas ke sawah. Mereka bertarung melawan dinginnya suhu, pagi itu. Rumput hijau, masih segar dengan embun membasahi daun-daunnya. Sementara, dari kejauhan di dalam hutan di kaki bukit pemancar, suara nyanyian burung-burung rimba, terdengar nyaring menghiasi fajar yang menyingsing.
Ketiga gadis ini, akhirnya sampai ke tempat tujuannya. Dahri dengan tangkas melompat saluran irigasi yang membelah dua petak sawah di depannya. “Aku sebelah sini. Kalian di situ saja. Biar jamur yang kita peroleh banyak, kita harus berpencar,” teriaknya, diikuti anggukan dari Siti dan Naura.
Jarum jam, pagi itu berputar lambat. Namun, Siti, Naura dan Dahri sudah berhasil mengumpulkan sekantung lebih jamur-jamur kancing yang tumbuh di pematang sawah. Merasa belum puas, Dahri mengajak adik dan temannya menyusuri petak-petak sawah penduduk gampong lainnya yang terletak agak dekat dengan kaki bukit pemancar.
Awalnya, Naura menolak. Langit masih gelap. Sang surya, masih terlihat malas di ufuk timur. Namun, karena mendapat bujukan dari Dahri, akhirnya gadis bermata coklat ini pun mengikuti kakak kandungnya dari belakang.
Ketiganya berjalan seraya meloncat-loncat kecil di pematang sawah. Siti yang berjalan di deret paling belakang, sesekali berhenti, mengambil batu dan melempar sekenanya ke depan. Lebih dari tiga kali, gadis bertubuh tambun itu melakukan hal yang sama.
“Dor…” suara salak senjata dari kejauhan membelah langit yang masih meremang. Ketiga gadis ini terkejut. Serta merta, mereka tiarap di sawah yang masih basah oleh embun.
“Tretet…tuar…tuar..dor..dor..dor…” salak senjata semakin kuat dan berdesingan di atas kepala, ketiga gadis cilik ini. Dahri yang berada di deretan terdepan, terkejut. Ia menjatuhkan sekantung penuh jamur ke dalam saluran irigasi.
Di tengah-tengah desingan peluru dari satu arah itu, Dahri merayap perlahanke arah kantung jamur yang berserakan. Nyaris didapatinya kantung jamur itu, ketika sekilas cahaya api menuju ke arahnya. “Tuarrrrr…”
“Arghhh,” jerit Dahri, sembari terguling ke dalam irigasi. Gadis itu meraba perutnya. Dilihatnya ada cairan merah, hangat keluar di sana. Ia langsung menangis dan berteriak pada Naura.
“Naura, lari ke rumah. Cepat. Siti juga. Aku kena tembak. Kalian bilang sama ayah dan mamak, aku di sini. Cepat. Sakit sekali,” teriak Dahri.
Naura dan Siti menjadi pucat pasi. Mereka berlari ke arah perkampungan. Tak peduli dengan belasan kilat api sesekali menyambar di atas kepalanya. Kantung-kantung jamur yang ada di tangan mereka, terlepas. Naura berada di depan. Sementara Siti, jauh tertinggal di belakang.
“Kak Jah…Kak Jah…tolong,” teriak Naura, dari arah kejauhan. Gadis berambut pirang ini histeris. Didapatinya pintu pagar dari kayu, masih terkunci. Karena ketakutan, Naura tidak sempat lagi membuka pintu pagar, rumahnya. Ia menerobos dari alur irigasi gampong yang ada di samping rumah, langsung menuju pintu dapur.
“Kak, Ayah, Mamak…Kak Dahri kena tembak,” teriak Naura.
Mendengar hal tersebut, orang dari dalam rumah langsung berhamburan ke luar.Seorang laki-laki dengan postur badan tegap, menyambar Naura dan Siti, seraya mengunci pintu dapurnya.
“Kalian dari mana?” tanya laki-laki, yang tak lain Ayah Naura.
“Kkkaaammi…kami dari sawah,” ujar Siti, terbata-bata. Dari matanya yangsipit, keluar setitik air bening.
“Mana Dahri?”
“Kak Dahri, kena tembak tadi di sawah. Ia masih di sana. Kami disuruh pulang dan Dahri menyuruh kami untuk menyampaikan hal ini pada kalian. Kak Dahri, waktu kami tinggalkan, tidak bisa bangun… Ia..Ia, tersungkur ke dalam irigasi. Dari perutnya keluar…darah,” cerita Naura, terputus-putus karena menangis.
Seketika, tahmid dan takbir keluar dari mulut keluarga Naura. Mereka menjerit histeris. Ayahnya, bergegas keluar. Namun ditahan oleh ibu dan Kak Jah. “Jangan Ayah. Biar kami saja yang menjemput Dahri,” larang Kak Jah.
Saat itu, dalam aturan tanpa tertulis di daerah operasi militer, di Aceh, laki-laki tidak boleh berada di lokasi Tempat Kejadian Perkara (TKP) saat berlangsung maupun berkahirnya kontak tembak. Bisa-bisa, mereka menjadi sasaran berikutnya. Tidak perduli siapa dan apa profesinya.
Mamak Naura, langsung menyambar lampu teplok. Sementara Kak Jah, bertandang ke beberapa rumah tetangga, mencari bantuan. Tak lama berselang, beberapa perempuan paruh baya dan beruban berkumpul di depan rumah Naura. Mereka semua membawa lampu teplok dan obor.
Setelah siap, meskipun cahaya merah mulai terlihat di ufuk timur, pertanda pagi sudah mulai dekat, puluhan wanita dengan obor masing-masing di tangannya, bergegas ke pematang sawah gampong. Sebagai pemandu, Siti diajak bersama mereka. Sementara Naura, ditinggal di rumahnya karena masih syok berat. Maklum, saat tertembaknya Dahri, posisi Naura tak jauh dari Dahri. Ia melihat jelas Dahri yang tersungkur dan mengeluarkan.
“Dahri…dahriiiii,” teriak para wanita ini, ketika hampir tiba di TKP. Namun,orang yang dicari tak jua ketemu. Padahal, Siti yang memandu mereka telah menunjukkan tempat Dahri tertembak. Di lokasi tersebut, segumpal darah segar yang masih hangat berhamburan. Sementara di sebelahnya, sekantung jamur berdarah, terserak begitu saja.
“Hana lee aneuk lon,” histeris Mamak Naura, kemudian jatuh di pelukan Kak Jah. Wanita berkepala lima ini pingsan ketika melihat bercak-bercak darah yang ditunjuk Siti, tempat Dahri terakhir dilihatnya.
Satu jam lebih, puluhan wanita ini mencari sosok mungil Dahri. Namun,pencarian itu berakhir dengan kekecewaan. Dahri tak jua ditemukan. Karena usaha pencarian itu tidak berhasil, beberapa wanita terutama istri Keuchik gampong Paya Seutui, menganjurkan kepada semuanya, untuk menghentikan pencarian. Mereka harus mengadakan rapat dengan para pria yang mulai berkumpul di balai desa untuk memperluas area pencarian.
Akhirnya, semua sepakat untuk kembali ke gampong dan berkumpul di Balai Desa. Walaupun Mamak Naura dan Kak Jah bersikeras memaksa para wanita ini untuk terus mencari Dahri, namun, akhirnya mereka melunak. Wajah putus asa dan memelas, terpancar kuat dari kedua wanita ini.
“Kami akan bantu Kakak mencari Dahri. Tapi, kita harus kembali dulu ke Balai Desa. Mungkin saja ada informasi baru disana tentang Dahri, disaat kita ada disini,” ujar Istri geuchik, pada Mamak Dahri.
——
Tiga jam berlalu. Dahri belum ditemukan. Keluarga Naura, menangis hebat hari itu. Naura sendiri, terlihat pingsan beberapa kali. Gadis mungil ini, sesekaliberteriak ketakutan. Lalu, pingsan lagi.
“Hai…Saya baru saja pulang dari Bukit Pemancar. Di sana tadi terlihat orang-orang bersenjata turun dengan mobil dengan cepat menuju jalan Banda Aceh-Medan. Mungkin saja, Dahri ada di sana. Bukankah, biasanya memang begitu adanya selama ini?” lakap seorang laki-lakitua perihal yang ia lihat, ketika melepas ternaknya di kaki Bukit Pemancar.
Mendengar hal tersebut, Pak Geuchik kemudian mengatur beberapa orang perempuan yang harus ke sana. Sementara untuk kaum laki-laki, dianjurkan bertahan di Balai Desa, kecuali dirinya. Keikutsertaan Geuchik bersama para perempuan ini, beberapa kali ditolak. Karena, dalam kasus seperti ini, biasanyalaki-laki akan menjadi bulan-bulanan kalau berpas-pasan dengan orang-orang bersenjata.
“Tidak apa-apa. Saya sudah siap. Apapun resikonya, saya adalah geuchik disini. Ini tugas saya. Saya berharap, Allah membuka pintu hati mereka. Karena Dahri, bukanlah salah satu golongan yang harus dibantai seperti itu. Ia anak-anak. Saya siap menanggung resiko apapun, kalau dipersalahkan mecari Dahri,” jelasnya kepada masyarakat.
Menemui kata sepakat, akhirnya, rombongan yang didominasi perempuan ini beranjak ke Bukit Pemancar. Mereka berjalan rapi, dengan satu komando di bawah perintah Pak Geuchik. Satu hari penuh, rombongan yang terdiri dari 30 orang ini berangkat. Namun, sampai pukul 17.30 WIB, yang dicari masih tidak bisa diketemukan.
Putus asa, Pak Geuchik akhirnya menginstruksikan pada aparatur gampong meminta bantuan petugas Polsek dan Koramil terdekat. “Kita harus melibatkan mereka. Kita juga harus menceritakan apa yang terjadi. Ini adalah hal yang salah. Oh ya, Kak Jah juga tolong beri kabar ke saudara-saudaranya yang ada di ibukota provinsi tentang hal ini. Bisa jadi, Dahri sudah diungsikan ke sana karena menjadi korban salah tembak. Suruh mereka mencari ke rumah sakit-rumah sakit yang ada di sana. Siapa tahu, Dahri disana,” pinta Pak geuchik.
—-
Tiga hari berselang. Kondisi Dahri belum juga diketahui. Personil Polsek dan Koramil setempat, ikut terlibat dalam pencarian. Relawan Palang Merah Indonesia juga dilibatkan, termasuk masyarakat gampong sekitar. Mereka semua, bahu membahu mencari Dahri.
“Pak Geuchik…?” seorang tentara berseragam, menghampiri Pak Geuchik.
“Ya benar. Kenapa ya pak?” tanya Pak Geuchik, pada tentara berpangkat Serdaitu.
“Kami mendapat informasi dari pasukan BKO yang berada di gampong ini saat kejadian, bahwa mereka melihat memang ada seorang gadis kecil yang terluka saat kontak tembak terjadi. Gadis itu, dikabarkan sudah meninggal. Dan jasadnya, ada di lembah bukit pemancar.”
“Hah…kenapa bisa disana Pak?” tanya Pak Geuchik, memaksakan diri.
“Maaf…Cuma ini yang bisa saya sampaikan. Sebaiknya, kita langsung ke sana saja. Saya sudah melingkari lokasinya di peta,” sambung tentara tersebut.
Mendapat informasi tersebut, Pak geuchik langsung mengabarkan ke keluarga Naura. Dahri sudah diketemukan. Tapi, pihak keluarga diminta bertabah. Karena, katanya, Dahri sudah meninggal saat ditemukan. Untuk memastikan jenazah temuan itu adalah Dahri, Kak Jah diminta ikut serta dengan rombongan ke Bukit Pemancar.
Meskipun sakit dan pingsan beberapa kali, saat mendengar kabar itu, Kak Jah menguatkan diri untuk ikut bersama rombongan. Sementara, keluarga Naura lainnya, bergegas menyediakan perlengkapan fardhu kifayah dan memberitahukan warga gampong lainnya, bahwa jenazah Dahri sudah ditemukan.
Tak lama berselang, puluhan orang mulai berdatangan ke rumah Naura. Semuanya terlihat sibuk. Ada yang menggergaji sebilah papan. Ada pula yang mengisi ember-ember dengan air penuh. Naura, berada di dalam kamarnya. Ia memandang keluar dari balik teralis jendela. Matanya nanar.
“Kak Dahri…”teriaknya.
—-
“Naura…Naura, bangun. Kau mimpi buruk lagi ya?” tanya seorang perempuan berkerudung pada Naura.
“Iya kak. Aku mimpi buruk lagi tentang almarhumah Kak Dahri. Padahal, kejadian itu sudah berlangsung 13 tahun silam.”
“Naura, kamu harus banyak beristighfar. Kamu juga harus sering-seringmemanjatkan do’a untuk kakakmu itu. Mungkin saja, dia mengharapkan doa darimu.Doa dari adik yang paling ia sayang,” ucap perempuan berkerudung, teman sekamar Naura, di Pesantren tempat ia menghabiskan masa remajanya.
Setelah mendengar kata-kata temannya itu, Naura bergegas ke kamar mandi. Ia tak lagi takut pergi sendiri. Ia tak lagi minta ditemani. Sejak kejadian itu, Naura menjadi pendiam. Namun, ia tergolong perempuan paling berani di antara para santriwati yang ada di pesantren tersebut.
Naura menatap ke arah langit yang masih hitam. Semilir angin berhembus kearahnya. Juli 2010. Hari itu, tepat 13 tahun kematian Dahri, kakak kandungnya.
Naura hanya tersenyum. “Kak…kamu syahid. Semoga dirimu tenang di alam sana. Aku rindu memetik jamur kancing bersamamu. Tunggu aku di surga ya kak..” lirihnya, sembari membasuh kedua telapak tangan dengan air disertai lafadz bismillah…[]
Belum ada komentar