[quote]Oleh Sukeri Abdillah[/quote]

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahilhamdu
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah…

Mau jadi juara dalam kehidupan? Belajarlah dari keluarga Nabiullah Ibrahim AS. Jika hidup diibaratkan sebuah perlombaan, maka beliau adalah pemain yang selalu memenangkan pertandingan. Bukan hanya menang dalam interaksi sosial, tetapi juga dalam menghadapi beratnya tekanan kehidupan. Pendek kata, beliau selalu berada pada posisi kelas atas.

Artinya persoalan apapun selalu mampu beliau atasi. Tak heran jika Allah, melalui Rasulullah Muhammad SAW memasukkan beliau dalam kelompok ulul ‘azmi (orang yang mampu memikul beban berat kehidupan). Uniknya, meski hidup selalu didera persoalan pelik dalam interaksi sosial, tetapi beliau mampu membangun pertahanan ekonomi keluarga dengan baik. Sehingga rumah tangganya makmur dan sejahtera.

Sebut saja misalnya saat mendakwahkan kalimat Tauhid. Beliau diajak beradu argument oleh raja di hadapan khalayak ramai. Temanya sangat sensitif. Yakni tentang kekuasaan Allah versus kekuasaan raja – yang mengaku dirinya adalah Tuhan. Dihadirkan di hadapan publik dua orang budak. Yang satu gemuk dan yang satu kurus. Yang gemuk disembelih dan yang kurus dibebaskan. Dan raja mengklaim kalau dirinya bisa mematikan dan menghidupkan. Hal ini dilakukan raja sebagai tantangan kepada Ibrahim yang mengklaim, bahwasanya Allah Tuhan Yang Mampu menghidupkan dan mematikan. Nabi Ibrahim menjelaskan kalau Allah mampu menerbitkan matahari dari timur dan menterbenamkan di barat. Beliau meminta agar raja melakukan dengan cara sebaliknya. Tentu saja raja tidak mampu. Sehingga dialog hari itu dimenangkan Nabi Ibrahim.

Beliau juga dibakar hidup-hidup dengan tuduhan telah melakukan perusakan terhadap patung-patung sesembahan. Tapi dengan izin Allah, api tidak melukai dirinya, termasuk pakaian yang dikenakannya.

Di sisi lain kehidupannya, beliau mampu menjamu tamunya dengan anak sapi guling tatkala di sepertiga paruh awal malam, beliau kedatangan dua orang tamu. Ini menunjukkan bahwa secara ekonomi beliau adalah aghniya alias termasuk kelas atas.

Elegy Dalam Rumah Tangga

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahilhamdu
Sekian lama berumah tangga, sang istri-Sarah-mandul. Hanya saja dengan itikad baik, Sarah menyarankan Nabi Ibrahim menikahi budak mereka, Hajar. Belum lama Hajar melahirkan Ismail, Sarah mulai cemburu dan meminta tidak menyaksikan romantisme mereka bertiga di depan matanya. Untuk itu beliau mengasingkan anak istrinya ke gurun tandus nan kerontang, yang kelak disebut baqi, artinya lembah air mata.

Lama meninggalkan mereka berdua, sekalinya berjumpa, kala itu Ismail menginjak remaja Allah memintanya untuk menyembelih. Perintah itu juga dilakukan. Perjalanan dari baqi ke Mina, mendapat hambatan berat dari Iblis yang terus bermaksud menggagalkan penyembelihan. Tapi team work ini berhasil melalui semuanya dengan aman. Dan Allah mengganti Ismail dengan domba sembelihan.

Mental Juara

Jika diperhatikan dengan seksama, kenapa Nabi Ibrahim dan keluarganya berhasil diabadikan dalam sejarah akan kisah hidupnya. Bahkan perbuatannya dijadikan syariat dalam agama Islam. Itu karena beliau dan keluarganya adalah orang-orang yang memiliki mental juara. Selalu terdepan dan berada di posisi atas. Mampu mengatasi masalah bukan di bawah (baca ditekan) masalah. Artinya dalam hidup masalah itu pasti adanya. Tapi sang juara mampu mengatasinya. Sehingga yang mereka tonjolkan selalu prestasi terbaik dalam kehidupan.

Beberapa mental juara yang mereka miliki adalah:

1. Selalu optimis tidak pesimis. Sang juara selalu melihat peluang sedang sang pecundang selalu melihat kehampaan. Gurun yang didatangi Nabi Ibrahim untuk menempatkan Hajar dan orok merahnya-Isma’il. Adalah gurun tandus tanpa kehidupan, tanpa apapun yang menjanjikan. Tapi Ibrahim optimis. Kelak tempat ini makmur dengan buah-buahan. Terbukti beliau berdoa kepada Allah untuk hal ini. “Ya Allah jadikan negeri ini aman untuk tempat tinggal dan makmurkan penghuninya dengan buah-buahan”.

Hajar juga melakukan hal yang sama tatkala air susunya mengering, perbekalan habis. Beliau berlari ke sana kemari mendaki bukit-yang kemudian disebut Shafa dan Marwa. Jelas-jelas di atas bukit itu tidak ada apa-apa kecuali hamparan fatamorgana dan hembusan angin kering gurun Sahara. Berbekal mental optimis, beliau tetap bergerak. Sehingga optimismenya berbuah. Sebuah air memancar dari kaki oroknya, Ismail. Kelak air itu disebut zamzam artinya kumpul. Air yang berkumpul, mengikuti seruan Hajar yang waktu itu berkata dalam bahasa Ibrani:”zamzam!”

2. Yakin tidak ragu. Sang juara, yakin bahwasanya Allah Yang Maha Kaya, selalu memberikan penghidupan kepada hambaNya. Dia takkan membiarkan hambaNya betul-betul berkekurangan. Yakin bahwa potensi yang diberikan Allah kepada dirinya adalah potensi besar dan kuat. Yakin bahwa karunia Allah terhampar di muka bumi. Sehingga ia bergerak di atas jalan keyakinan, menuju arah yang hendak dicapai tanpa ada keraguan sedikit pun.

Langkah ini pernah ditempuh sahabat Abdul Rahman bin ‘Auf. Berhijrah dari Mekah ke Madinah tidak membawa sekeping harta pun kecuali pakaian yang melekat di badan. Padahal beliau adalah konglomerat Mekah. Berkat keyakinannya, Allah selalu memberi ilham berupa ide-ide brilian. Bukan hanya menolak kebaikan Sa’ad bin Rabi’ai tatkala ditawari istri dan perusahaan. Tetapi beliau justru berani menyewa tanah seorang muslim dengan bayar belakang. Tanah itu dikavling dan disewakan kepada para pedagang muslim, yang juga dipersilakan bayar belakangan. Asal barang yang masuk ke kavling tersebut kualitasnya mampu menyamai barang pasar seberang yang dikelola Yahudi.

Sehingga dalam waktu tiga bulan hidup di perantauan, Abdul Rahman bin ‘Auf mampu mengawini seorang wanita dengan mahar yang memadai.

3. Berani bayar mahal dan tidak banyak menawar. Sang juara, tak pernah risau dengan harga yang dituntut untuk sebuah keberhasilan. Berapa pun harganya ia akan bayar. Ia hanya melihat hasil besar yang akan diraih jika dibandingkan dengan pengorbanan yang ia lakukan. Ini membuat dirinya tak pernah menawar bertele-tele.

Simaklah dialog heroik yang dilakukan Ibrahim dan Isma’il: ”Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam tidurku (mimpi) menyembelih kamu. Maka pikirkan bagaimana pandanganmu (tentang mimpi ini).” “Wahai ayah, lakukanlah apa yang telah diperintahkan (Allah) kepadamu. Semoga, engkau akan dapatkan aku sebagai bagian dari orang yang sabar”.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahilhamdu…
Sungguh dialog spektakuler para juara. Isinya saling menguatkan dan tidak melemahkan. Meski mereka sadar, harga yang harus mereka pertaruhkan adalah nyawa. Tapi dengan tenang dan bersahaja mereka melenggang menjalaninya. Hasilnya, begitu luar biasa….

Jadilah juara, menangkan kehidupan dunia, sebelum memasuki gerbang surga.
Allahu Akbar!!!

*Khutbah Idul Adha 1433 H ini disampaikan di Elnusa, Jakarta/dakwatuna.com