Oleh Sumarni Dahlan

JALAN kaki merupakan alternatif moda perjalanan yang dapat menghemat energi karena tidak membutuhkan bahan bakar minyak dan bebas polusi.

Sesuai dengan tujuannya yakni memberikan lingkungan pedestrian yang baik, udara bersih, tidak berisik dan nyaman, pedestrian juga dapat mencegah kemacetan lalu lintas seperti yang sering terjadi pada jam-jam tertentu.

Menelusuri kota Banda Aceh mengingatkan kita pada sebuah kota kecil bersejarah di semenanjung Malaysia. Kota Malaka atau tepatnya Bandar Hilir ini memiliki berbagai objek bersejarah diantaranya museum budaya, bangunan Stadhuys yang memiliki seni arsitek Belanda, peninggalan portugis, dan berbagai objek yang menarik lainnya.

Dengan hanya berjalan kaki, kita bisa menikmati suasana asri sambil duduk melepas lelah di sudut taman. Kawasan ini memiliki pelayanan pedestrian yang cukup disamping sarana transportasi tempoe doeloe yang disebut “andong”. Kereta yang ditarik oleh seekor sapi tersebut membawa pengunjung berkeliling area untuk berbelanja baik souvenir maupun sekedar berkeliling area objek wisata termasuk pusat perbelanjaan Mahkota Parade.

Jika Banda Aceh sebagai ibukota Serambi Mekah kita ibaratkan Kota Malaka, sedang kawasan Baiturrahman adalah Bandar Hilir yang memiliki berbagai bangunan bersejarah. Sementara pusat perbelanjaan Pante Pirak atau Pasar Atjeh adalah “Mahkota Parade”nya. Maka akan terciptalah kota wisata sejarah yang sangat menarik seperti Malaka.

Adalah sangat mendukung karena kota Banda Aceh memiliki beragam peninggalan sejarah seperti Masjid Raya Baiturrahman, Museum Aceh, Makam Sultan Iskandar Muda, Makam Kandang Meuh, Makam Kandang XII, Pendopo Gubernur, Gunongan, Kerkhoff, Taman Sari, Tugu Kemerdekaan, Monumen RI dan beberapa objek menarik lainnya.

Tidak jauh dari kawasan Baiturrahman masih ada beberapa objek wisata lainnya yang mencatat sejarah baru sebagai kawasan wisata tsunami.

Berita terseretnya kapal berbobot 3600 ton sejauh empat kilo meter telah menyebar luas ke berbagai negara.
Bahkan sebagian mengatakan peristiwa ini merupakan salah satu dari sekian keajaiban dunia.

Kalau dulu, tidak lengkap rasanya menjejakkan kaki ke kota Banda Aceh kalau tidak melihat dari dekat Masjid Raya Baiturrahman.

Saat ini objek wisata yang harus dikunjungi bertambah, salah satunya adalah PLTD Apung.

Sayangnya untuk mencapai objek tersebut kawasan ini belum terpenuhi sarana pedestrian yang memadai. Siang hari udara menyengat yang membuat para wisatawan enggan untuk melangkahkan kaki meski jaraknya cukup dekat dengan objek bersejarah lain seperti Kerkhoff dan monumen RI.

Tidak tertatanya sistem pedestrian yang menghubungkan ruang-ruang terbuka hijau menuju objek wisata baru ini membuat suasana tidak nyaman. Pengunjung yang datangpun hanya sekedar melihat dan tidak ingin berlama-lama lalu meninggalkan lokasi.

Kalau saja kawasan wisata ini tertata rapi, asri dan dapat dimanfaatkan untuk duduk sambil menikmati jajanan kecil, alangkah nyamannya mengunjungi lokasi tersebut.

Pedestrianisasi Kawasan Perkotaan

Pertumbuhan ekonomi kota Banda Aceh meningkat pesat pasca tsunami diiringi dengan meningkatnya jumlah kendaraan bermotor khususnya sepeda motor.

Hal ini dipengaruhi kehadiran BRR dan sejumlah NGO yang membantu proses rehab rekon. Sewa rumah melambung yang dipengaruhi oleh meningkatnya kebutuhan tinggal maupun kantor. Demikian pula harga makanan selangit termasuk ongkos transport yang berlipat ganda melebihi biasanya baik angkutan umum, becak dan taksi. Uang seolah gampang diperoleh manakala masyarakat masih terus mendapat bantuan termasuk kebutuhan pokok seperti makanan dan lain-lain. Mereka yang cepat tanggap akan berusaha memanfaatkan situasi ini dengan membuka usaha apa saja yang tentunya menghasilkan uang.

Seiring dengan akan berakhirnya tugas BRR di Aceh dan Nias, pemerintah setempat perlu memikirkan bagaimana kondisi kota Banda Aceh pasca BRR dan NGO.

Berbagai kemungkinan bisa saja terjadi dimana masyarakat baik pedagang, relawan yang semula terbiasa dengan pendapatan tinggi karena berkurangnya jumlah NGO yang ada. Masyarakat akan kembali ke kehidupan normal bahkan bukan tidak mungkin, mereka akan meninggalkan pola hidup konsumtid dan dalam keadaan terpaksa, menjual kendaraan mereka karena faktor ekonomi atau dengan pertimbangan tidak diperlukan lagi. Ketiadaan kendaraan pribadi mendorong mereka untuk kembali memilih angkutan labi-labi disamping becak bermotor sementara pelayanan transportasi belum mampu menjangkau 89 kelurahan yang ada.

Kenyataan yang terlihat di lapangan, labi-labi sebagai sarana tranportasi umum hanya melintasi jalan protokol dan warga terpaksa berjalan kaki dari pemukiman ke tepi jalan.Ironisnya lagi, setelah lelah berjalan mereka harus berdiri di terik matahari menunggu angkutan yang lewat. Ini disebabkan karena ketiadaan sarana pendukung seperti halte, bangku atau setidaknya pepohonan sekedar tempat berteduh.

Pada seminar “Studi Pengembangan Sistem Transportasi Intermoda dan Sistem Pedestrian Kota Banda Aceh 2007-2008, PT Qorina Konsultan Indonesia sebagai salah satu konsultan tata ruang yang ditunjuk oleh Satker Penataan Ruang dan Permukiman BRR NAD-Nias untuk proyek ini memaparkan hasil surveynya. Dikatakan, pedestrian juga dapat menjadi escape building sesuai kondisi yang ada mengingat masyarakat Aceh masih trauma akibat bencana tsunami.

Dalam pembahasan yang dihadiri berbagai elemen terkait transportasi baik dari pihak Organda, Dinas perhubungan, para ahli, dosen dan lain-lain disinggung pula tentang beberapa sarana pedestrian yang kondisinya sangat memprihatinkan. Trotoar yang menganga di sana sini, meski tertutup akan tetapi sangat berbahaya bagi pejalan kaki. Ibarat enjotan (ayunan), ketika satu sisi dipijak maka sisi lainnya akan terjungkit ke atas.

Padahal trotoar sangat dibutuhkan oleh si pejalan kaki terutama saat darurat seperti yang terjadi beberapa waktu sebelumnya. Saat early warning system tiba-tiba berbunyi, seluruh warga panik dan berupaya menyelamatkan diri. Mereka berlari di trotoar dan terjatuh ke dalam lubang akibat kondisi trotoar yang sudah rusak akibat tsunami.

Untuk menciptakan Banda Aceh sebagai kota pejalan kaki memang masih jauh dari harapan. Kendalanya adalah sistem pedestrian yang belum tertata rapi. Pemandangan yang lazim terlihat tiap pagi bahkan siang dan sore hari, para pelajar yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar harus menyeberang jalan sendirian tanpa bantuan orang lain akibat ketiadaan jembatan penyeberangan. Ini sungguh berbahaya bagi keselamatan mereka apalagi kesadaran para pengemudi kendaraan terutama angkutan umum di kota Banda Aceh masih sangat kurang.

Bukan hanya faktor ketiadaan sarana pendukung pedestrian, beberapa permasalahan lain juga sangat mengganggu sistem pedestrian. Kehadiran pedagang kaki lima di seputaran Masjid Raya misalnya, telah merubah fungsikan area yang ada. Sedianya tempat pejalan kaki malah digunakan untuk berdagang.

Kawasan lain seperti jalur antara terminal angkutan labi-labi menuju pasar Aceh, letaknya tidak terlalu jauh namun ketiadaan sarana pedestrian yang baik menyebabkan jarang sekali terlihat orang berjalan kaki.

Pergerakan pedestrian di beberapa lokasi seperti Simpang Lima, perempatan Jalan Diponegoro, pertigaan jalan STA. Mahmudsyah-jalan Pante Pirak-Jalan Diponegoro secara keseluruhan tingkat pelayanan pedestrian masih sangat buruk.

Dari pusat kota menuju pusat perbelanjaan Pante Pirak misalnya, tidak ada ruang terbuka hijau yang menarik minat warga yang berada di pusat kota persisnya di kawasan Masjid Raya untuk berjalan kaki.Padahal angkutan umum labi-labi tidak melewati kawasan tersebut dan posisinya pun tidak jauh.Sarana untuk pedestrian seperti tempat duduk untuk melepas lelah setelah berjalan belum mencukupi.

Keamanan juga perlu menjadi pertimbangan untuk pedestrian terutama pada malam hari, kondisi jalan yang gelap gulita akan membuat rasa takut pejalan kaki.

Terlepas dari persoalan minim tidaknya pejalan kaki, pedestrian memang sangat mendukung terciptanya lingkungan aman, nyaman demi terwujdnya kota wisata bersejarah dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai Islami.

Lihat saja kota Malaka yang mayoritas turunan Tionghoanya hidup berdampingan dengan bangsa Melayu dan menjadi pemeluk Islam yang taat pula.[]

*Penulis adalah Pekerja Media