Seputaraceh

Pinang

panjat pinang [taufanwijaya.wordpress.com]
Lomba panjat pinang hari kemerdekaan. (taufanwijaya.wordpress.com)

Oleh Mustafa A Glanggang

MULUTNYA komat-kamit, seperti orang membaca mantra. Di depanya lalu lalang beragam jenis kendaraan, termasuk mobil mewah. Ketika suara azan Ashar berkumandang barulah mulutnya berhenti. Si penguyah sirih campur pinang dibelah empat itu namanya Kak Tihawa. Bibirnya merah bagaikan delima.

Tapi, pinang yang kita bahas bukan pinang dibalut daun sirih yang dijual CupoTihawa depan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Tidak pula pinang “nyen” alias pinang muda, yang konon dapat menambah vitalitas kaum bapak-bapak. Tidak pula biji pinang yang sudah dikelupas dan dijemur sampai kering untuk diekspor ke negeri India menjadi bahan baku pewarna.

Dalam kitab Tajul Muluk peninggalan sejarah Islam, disebutkan, pohon pinang itu selain buahnya mengandung zat obat, daun serta akarnya sangat bagus untuk pengobatan secara tradisonal. Hingga hari ini, pengobatan menggunakan ‘ie ranub’ masih dipraktikkan di kampung-kampung.

Saking terkenal dan mujarabnya pohon pinang, dalam urusan cinta pun pinang dilibatkan. Kita pasti sudah sering mendengar ungkapan, ‘seperti pinang dibelah dua’ saat mengomentari hubungan anak manusia. Ungkapan itu merujuk pada suatu kondisi dalam sebuah rumah tangga yang hidup sepadan dan harmonis. Pasangan tersebut hidup damai dan tenteram.

Daun pinang dapat dijadikan untuk membuat ayaman kerjang atau bakul, banyak juga digunakan untuk membuat janur pada pesta perkawinan. Janur itu menjadi tanda berakhirnya masa lajang atau gadis ketika menuju pelaminan atau pernikahan. Sehingga sering muncul ungkapan, ‘sebelum janur kuning melengkung, setiap orang masih milik bersama’. Ungkapan ini cukup populer di kalangan muda-mudi.

Nah, bagaimana dengan batang pinang. Ini cukup menarik dibahas, karena penuh muatan budaya dan politis bercampur dengan nilai kemanusiaan. Batang pinang selain untuk bahan bangunan rumah pangung tempoe doeloe, juga sebagai bahan membuat pagar. Malah, setiap 17 Agustus pohon pinang itu sangat laku, karena ada perlombaan Panjat Pinang.

Di daerah-daerah tertentu olahraga atau budaya panjat pinang ini sudah menjadi ‘menu’ tiap 17 Agustus tiap tahunnya. Namun panjat pinang itu tidak tercatat pada even olahraga nasional seperti dalam Pekan Olahraga Nasional (PON). Padahal perlombaan ini sudah merakyat dalam kehidupan masyarakat Indonesia sebagai hiburan murah meriah. Sebab, anggaran pelaksanaanya tak pernah dimasukkan dalam APBD atau APBN melalui putusan sidang pleno anggota DPR RI atau DPRD setempat. Cukup dengan duit celengan para pemuda yang dihimpun dari sumbangan warga.

Yang dipergunakan dalam panjat pinang adalah batang pinang yang sudah dikelupas kulit arinya, lalu dioles oli bekas atau minyak. Setelah dipotong dengan ukuran sekitar 10 meter, lalu ditanam dalam tanah sedalam satu meter lebih agar bertahan dan tidak roboh, mampu menahan hingga 15 orang pemanjat. Untuk memanjatnya pun, para anggota regu tak boleh memakai baju alias telanjang dada.

Aksi para pemanjat itu unik, menarik, serta menghibur. Bayangkan, mereka memanjat pohon sambil memeluk batang yang sudah dilapisi oli (gumok, dalam bahasa Aceh), kadang-kadang juga memeluk badan temannya untuk penyangga. Sangat atraktif. Mereka berlomba-lomba dan mengerahkan semua kemampuan untuk dapat sampai ke puncak karena banyak hadiah yang disediakan. Mulai dari yang sangat murah hingga yang mahal-mahal, menurut ukuran masyarakat. Hadiah-hadiah digantung berjejeran mengikuti lingkaran.

Alkisah, olahraga panjat pinang ini merupakan warisan kolonial Belanda. Penjajah nenek moyang kita dulu menjadikan panjat pinang sebagai hiburan setelah mereka capek seharian melakukan patroli keliling kampung mengawasi penduduk untuk kerja pakasa di perkebunan VOC. Sambil mereka menikmati hasil panen kebunnya, dibuatlah hiburan panjat pinang dengan sistem dan aturan yang telah disepakati.

Walaupun tidak mencerminkan sifat kebudayaan yang mendidik, tapi ada nilai perjuangan di dalam lomba ini. Karena untuk mendapatkan hadiah berupa beras, ikan asin, minyak makan, minuman kaleng yang digantung di atas batang pinang itu, pemanjat harus bekerja keras dan mengerahkan segenap kemampuan. Kadang-kadang menjadi tidak lagi manusiawi. Seolah-olah kepedihan rakyat untuk memenuhi kebutuhan hidup sebagai hiburan semata.

Bayangkan, bagaimana seandainya di antara kelompok pemanjat itu terdapat mertua-menantu. Sudah bertelanjang dada, saling memeluk untuk menyangga, bahkan sampai menginjak kepala segala. Di manakah kesopanan? Bagaimana perasaan isteri dan anak mereka menonton suaminya menginjak bahu ayahnya. Karena licin sang menantu jatuh, lalu naik lagi. Jatuh lagi, bangun lagi, naik lagi, jatuh terus berulang-ulang beberapa kali, seperti lirik lagu Kristina, “jatuh bangun aku…” dan seterusnya.

Bagi perwira Belanda, menonton panjat pinang itu seperti mereka menikmati permainan adu cangkrik. Cangrik dimasukan dalam kaleng bekas lalu diadu sesama jantan cangrik itu. Sang petinggi Belanda menikmati sambil tertawa.Begitulah mereka menonton sambil tertawa terbahak-bahak menyaksikan warga setempat, saling injak menginjak bahu atau juga kepala.

Setelah lama merdeka, kini mulai muncul pro-kontra terkait olahraga panjat pinang ini, meski hanya masih sebatas pemikiran: antara melarang atau dilanjutkan. Dari segi modal, jelas tak begitu mahal. Dana Rp500.000-Rp1.000.000 sudah cukup untuk satu batangnya. Bandingkan dengan olah raga yang identik milik para pejabat dan konglomerat seperti golf. Hadiah panjat pinang itu hanya cukup untuk membayar satu orang caddy.

Dewasa ini, permainan ‘panjat pinang’ itu sering dipraktikkan oleh politisi kita. Coba saja lihat siaran TV, hampir tiap hari kita disuguhi adegan panjat pinang: saling sikut, saling injak, dan saling menjatuhkan. Kadang-kadang kepala atasan di’injak-injak’ untuk memuluskan ambisi politik. Tujuannya menjatuhkan wibawa. Para atasan juga demikian, menginjak-injak anak buah yang berpotensi merebut kuasa yang dipegangnya. Intinya, kita makin sering melihat petinggi negeri ini, seperti Belanda dulunya melihat rakyat naik pinang. Rakyat miskin dieksploitasi sebagai pemuas dan penghibur belaka.[]

Belum ada komentar

Berita Terkait