Oleh Dhian dan Syaiful Bahri – Berbagai bentuk rekayasa untuk mencapai jumlah angka kelulusan siswa yang dipaksakan masih sangat kentara dan sengaja dikondisikan. Keterlibatan guru dalam memberikan kunci jawaban kepada siswa pada saat UN berlangsung menjadi pemandangan yang biasa.
Fakta tersebut sempat dibenarkan oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Pidie Bukhari Taher. Namun menurut Bukhari, dalam kondis yang sangat dilematis, antara pemaksaan kehendak terhadap pelaksanaan UN oleh Pemerintah Pusat, dengan fakta dari kondisi sosial dan ekonomi masyarakat Aceh secara umum pasca konflik dan tsunami yang sebenarnya belum memungkinkan.
Namun hal itu dengan sangat terpaksa harus dilakukan, demi mengurangi jumlah angka anak putus sekolah akibat tidak lulus UN, serta sebagai upaya lain untuk memperkecil jumlah para siswa penyandang ijazah paket di daerahnya itu.
Sebab, berkaca dari pengalaman dua tahun sebelumnya, yakni tahun 2007 lalu sebelun ia menjabat Kepala Dinas Pendidikan, jumlah angka kelulusan siswanya sangat terpuruk. Bayangkan
dari 7.416 siswa SMA, MA dan SMK peserta UN dengan standard grid kelulusan 5,00 ketika itu, jumlah kelulusan siswanya hanya mencapai 5.266 orang saja (71%). Sementara selebihnya sebanyak 2.150 orang siswa lainnya harus cukup puas mengantongi ijazah paket C. Itupun bila tidak ada diantara mereka yang lantas patah arang sehingga tidak lagi mau melanjutkan sekolahnya, maka tak ada pilihan lain, mau tidak mau pelaksanaan UN di Kabupaten Pidie harus dikondisikan sedemikian rupa.
Terlepas dari persoalan dilematis yang dialami oleh para peluku dunia Pendidikan di Aceh secara umum terkait pelaksanaan UN, sesungguhnya hasil baik atau buruk terhadap kemampuan akhir siswa pada tingkat SMU dan SMP, sangatlah tergantung dari kemampuan dasar mereka yang didapat dari bangku sekolah di tingkat paling bawah yakni Sekolah Dasar.
Tapi, apa mau dikata dalam kontek ini di Kabupaten Pidie, para pelaku Pendidikan di sini terkesan kurang memperdulikan hal itu. Sehingga jangan heran bila sejauh ini masih banyak ditemukan sejumlah guru SD di pedalaman Kabupaten penghasil kerupuk mulieng ini, yang kemampuan mengajarnya pas-pasan saja. Padahal berbicara soal kesejahteraan, hari ini tingkat pendapatan seorang guru sudah berada, jauh lebih besar dari PNS lainnya dengan pangkat yang sama.
Bahkan yang lebih unik lagi, meski sudah ada pelajaran khusus bahasa daerah, namun masih banyak diantara mereka yang ketika menerangkan pelajaran umum lainnya kepada para murid kerap menggunakan bahasa Aceh.
Hal tersebut mungkin bisa dibenarkan, tapi dalam kontek nanti ketika menghadapi ujian secara nasional, tentu hal itu akan sangat berpengaruh pada kemampuan murid dalam memahami dan beradaptasi dengan soal-soal ujian yang akan mereka hadapi kelak. Maka wajar saja, dan bukanlah untuk sebuah alasan yang mengada-ada bila menjelang pelaksanaan UN tahun 2009 lalu, berbagai kelompok masyarakat dan para mahasiswa yang peduli pendidikan di Aceh menolak pelaksanaan UN di daerah Serambi Mekkah ini dengan aksi demo turun kejalan.
Mereka menilai, dalam kontek kondisi Aceh kekinian ketika itu, pelaksanaan Ujian Nasional di Aceh haruslah dikecualikan.
Kasus yang masih sangat aktual menimpa 11 orang siswa SMA Sukma Bangsa Caleue Kabupaten Pidie yang harus dikeluarkan oleh pihak sekolah lantaran kedapata mencontek dalam UN beberapa hari lalu, setidaknya haruslah dijadikan pelajaran yang sangat berharga, sekaligus dijadikan batas ambang bagi pengecualian di atas. Sebab, Aceh kekinian ketika itu dengan Aceh hari ini, tidaklah terlalu jauh berbeda.
Terlepas adanya pro dan kontra dengan kasus tersebut, yang pasti para pelaku pendidikan di Kabupaten Pidie hari ini, harus berani mengambil sisi positifnya dari kasus yang menimpa 11 siswa SMU Sukma Bangsa itu. Soal kearifan lokal yang harus menjadi pertimbangan, bukanlah hal mutlak yang diperlukan untuk menabrak aturan demi kemajuan.
Berbicara persoalan yang menyangkut kearifan lokal di Aceh, dunia pendidikan yang sifatnya memang harus mengglobal, tanpaknya tidak bisa mentolerir segala bentuk kearifan lokal dari berbagai daerah yang berbeda-beda. Karena dunia Pendidikan di Aceh, Papua, Kalimantan, di pulau Jawa bahkan seantero tanah air, tidaklah sekedar hanya untuk ruang lingkup Indonesia saja. Namun, lebih dari itu cakupannya berlaku bagi seluruh jagat raya.
Jadi, adalah merupakan PR besar bagi pelaku dunia Pendidikan di Kabupaten Pidie hari ini, untuk terus berupaya mengangkat secara ril mutu Pendidikan di daerah ini ke tingkat yang lebih baik. Atau setidak-tidaknya bisa sejajar dengan sejumlah daerah lain di tanah air.
Dari fakta ril yang terjadi di Kabupaten Pidie sejauh ini, pemerintah daerah bersama dinas
pendidikannya harus bersikap lebih cepat tanggap. Dan mau tidak mau, suka atau tidak suka, upaya peningkatan kualitas guru di Pidie secara khusus harus segera dilakukan. Jangan lagi tingkat kesejahteran guru dijadikan sebuah alasan. Janji Profesionalisme guru secara keseruruhan, bahkan lebih khusus lagi bagi guru di tingkat sekolah dasar yang kerap dibicarakan dalam setiap seminar dan Work shop benar-benar dapat dibuktikan dalam wujut yang nyata. Sehingga pada gilirannya nanti pelaksanaan UN tidaklah lagi menjadi momok yang menakutkan bagi siswa.
Duka tsunami telah lama pergi, alasan kesejahteraan guru jangan dipolitisir lagi. Mari mengukir prestasi diri yang terbaik untuk tanah kelahiran ini. Buatlah generasi baru kita kelak tersenyum bangga pada karya keikhlasan kita bersama hari ini. Yang telah dengan susah payah mampu mengangkat kualitas dunia pendidikan di daerah ini menjadi lebih baik dari sebelumnya. (Harian Andalas)
Belum ada komentar