Jakarta — Badan Narkotika Nasional (BNN) terus berupaya memerangi penanaman dan peredaran ganja di wilayah Aceh. Berbagai cara dilakukan termasuk menggandeng berbagai pihak untuk langkah pemberantasan ini, salah satunya dengan Badan Informasi Geospasial (BIG).

Kerjasama yang dilakukan antar dua badan non kementerian tersebut, BNN dan BIG, adalah berupa bantuan pemantauan ladang ganja yang selama ini sulit dijamah oleh aparat terkait, dengan menggunakan satelit, karena ladang tersebut biasanya berada di lereng-lereng pegunungan yang tidak terjamah oleh masyarakat karena terjalnya medan pendakian.

“Diharapkan dengan hasil pemetaan itu dapat dengan mudah mengidentifikasi, menentukan koordinat, supaya tidak sulit menyasar ke ladang yang menjadi target pemberantasan,” kata Deputi Penindakan BNN, Brigjen Pol Benny J Mamoto, kepada detikcom di lokasi ladang ganja, Pegunungan Seulawah, Desa Pulo, Kampung Lamteuba, Kecamatan Seulimum, Kabupaten Aceh Besar, Kamis (27/09).

Lebih rinci, proses kerja pemantauan via satelit itu berbentuk data satelit penginderaan jauh dengan resolusi tinggi dan ukuran piksel lebih kecil. Dari pemantaun itu kemudian akan dianalisa di mana titik-titik ladang ganja yang selama ini tumbuh di Serambi Mekah itu.

Pemberantasan terus menerus tanpa ada solusi bagaimana agar ladang dengan tanah gembur itu tidak lagi ditanami ganja, tentu menjadi perhatian BNN. Menurutnya, pemberantasan saja tidak cukup tanpa upaya ‘blokade’ tanah agar tidak dapat ditumbuhi ganja.

“Kita juga akan memanfaatkan kerjasama dengan BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) agar bagaimana dalam hal teknis pemusnahan yang efektif. Kemudian LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) untuk mencari bagaimana model pemusnahan yang efektif supaya tidak bisa lagi ditumbuhi oleh ganja,” terangnya.

Tidak cukup sampai di situ, Kementerian Kehutanan turut digandeng dalam upaya pemberantasan ladang ganja yang selama ini tersebar di Aceh. Caranya, pihak Kemenhut akan kembali melakukan penghijauan di ladang yang telah diberantas dan menjadikan titik tersebut sebagai titik yang masuk pada pemantauan rutin Polisi Hutan.

Lagi-lagi, jelas Benny, semua langkah tersebut tidak akan berjalan sinergis tanpa ada peran tokoh atau pemangku kewenangan di masyarakat. Ini diperlukan untuk memberikan penjelasan kepada mereka mengenai bahaya dan larangan tanaman ganja. Selama ini, ujarnya, masyarakat sekitar diperdaya cukong ganja untuk bertaman ganja dan cukong tersebut yang memasarkannya.

“Peran semua pihak diperlukan untuk memberantas dan membuat kesadaran mengenai bahaya narkotika,” terang Benny.

Namun semua upaya itu mau tidak mau dilakukan perlahan. Benny mencontohkan alih fungsi ladang Opium yang ada di Doi Tung, Thailand , menjadi lahan produktif yang dapat menjadi penopang ekonomi masyarakat sekitar.

“Di sana saja memerlukan waktu 20 tahun untuk memberantas ladang opium dan seperti sekarang dimana masyarakat produktif setelah ladang opium yang dikelolalnya berubah fungsi menjadi lahan ekonomi produktif,” jelasnya.

Sedikit kisah Doi Tung, wilayah selatan Thailand tersebut dulu dikenal sebagai pemasok 75 persen opium dunia. Masyarakat di sana memilih menanam candu karena keterbatasan yang mereka miliki, baik itu infrastruktur ataupun ekonomi. Tak dinyana, pemandangan itu berubah drastis sejak 1988, dimana Her Royal Highness Sondej Phra Sirnagarindra Boromarajajonani, biasa disebut the Princess Mother, saat mengunjungi wilayah tersebut prihatin dengan kehidupan warganya yang menggantungkan hidup mereka dari berladang Opium, miskin.

Saat ini kawasan tersebut dikenal dengan segala hasil kerajinan tangan para eks petani opium. Karya-karya mereka tidak hanya dipasarkan di wilayah Bangkok, namun juga Eropa dan Amerika. Akankah spirit Doi Tung tumbuh di provinsi paling barat Indonesia ini? (detik.com)