Seputaraceh

Yang Ingin Bertahan Sebagai Warga Pidie

Seiring perguliran waktu, dan berlalunya rangkaian gejala alam, serta rentetan peristiwa sosial, politik dan dinamika kehidupan masyarakat di negeri ini, belantara Tuhan yang semula hanya dihuni margasatwa, itu kini nyaris berubah jadi perkampungan.

“Phon that-that ayah aneuk miet lon geudom sidroe geuh lam uteuen nyoe (mulanya ayah anak saya menginap sendiri di hutan ini),” tutur Azizah Ali, 50 tahun, kepada Harian Aceh, Kamis siang (01/04/2010) di warungnya yang berkonstruksi kayu itu.

Lembah itu semula tak bernama. Hanya kawasan hutan yang dalam penamaan warga lokal bisa disebut apa saja berdasarkan, misalnya, nama pohon, nama alur atau nama peristiwa kecil tertentu yang mereka alami di sini.

Maka lembah ini tanpa sebuah sebutan resmi pun dalam kurun berjuta kali timbul-tenggelamnya matahari dan musim berganti. Warga datang ke sini hanya untuk memetik rotan, berburu dan menebang pohon. Tapi sebuah peristiwa tragis yang terjadi di sini pada masa penjajahan Belanda, lembah mungil itu resmi dicatat dan dipanggil dengan sebuah nama.

Kisah itu berawal dari seorang saudagar Meulaboh, Aceh Barat yang kawin dengan perempuan Keumala, Pidie. Ketika anak pertama mereka, laki-laki, berumur 4 tahun, sang ibu meninggal. Si saudagar kembali ke Meulaboh dengan memboyong sang anak sekalian semua hartanya dalam bentuk uang logam dan emas.

Perjalanan jalan kaki dari Keumala ke Meulaboh yang menempuh jalur hutan dan pergunungan antara anak dan ayah ini ikut ditemani seorang lelaki warga Keumala sebagai kawan di perjalanan. Sesampai mereka bertiga di kawasan lembah tak bernama itu, sang lelaki kerasukan pikiran jahat. Lalu dia membunuh sang ayah dan anaknya demi merampas semua harta yang dibawa mereka.

Serdadu Belanda dari Meulaboh yang sedang mengejar kaum mujahidin, suatu pagi melintasi lembah tak bernama itu. Di sini mereka menemukan dua mayat. Satu lelaki dewasa, lainnya anak-anak. Saat para serdadu itu tiba di Desa Keunee, Geumpang, mereka melaporkan penemuan tersebut pada kepala gampong setempat.

Peristiwa ini terjadi pada tahun 1935. Dua mayat tersebut dikebumikan di lembah tempat ditemukan lantaran kondisinya sudah tak mungkin dibawapulang ke desa oleh masyarakat Gampong Keunee. Dan berita pun tersebar dari mulut ke mulut. Hanya dalam tempo beberapa hari, pihak kontroler Belanda di Kota Bakti, Pidie, menangkap seorang lelaki warga Keumala.

Setelah peristiwa menghebohkan tersebut, lembah mungil yang sunyi itu diberi nama Kubu Aneuk Manyak. Artinya, kuburan anak kecil. Meski yang meninggal ada dua orang, namun kuburannya hanya ada satu. Masyarakat Keunee, kala itu, bersepakat untuk tidak memisahkan sang anak dan ayahnya di tengah rimba yang hening itu. Maka dikuburkanlah mereka dalam satu liang.

Kubu Aneuk Manyak terletak sekira 32 kilometer dari pasar ibukota Kecamatan Geumpang, Pidie. Ketika tsunami akhir 2004 menghancurkan jalur darat Banda Aceh-Meulaboh, pemerintah membangun jalan tempuh rute Geumpang-Meulaboh secara representatif. Jalan selebar 6 meter yang sepanjang liukannya berada di antara bukit dan jurang ini dilapisi aspal. Maka sejak awal 2005 hingga 2007, untuk mengakses Pantai Barat-Selatan, tempuhan via Beureunuen, Tangse, Geumpang, Kubu Aneuk Manyak, Tutut dan Kota Meulaboh resmi sebagai satu-satunya jalan darat.

Kini lembah itu tak sunyi lagi. Kuburan anak kecil seliang dengan ayahnya korban pembunuhan teman seperjalanan bermotif perampokan pada sedasawarsa menjelang akhir masa penjajahan Belanda di Aceh, tak lagi berkelumun dalam lengang rimba. Tiap hari, para musafir dari Pantai Barat-Selatan yang menuju ke Pantai Utara-Timur atau sebaliknya, ramai singgah di sini; untuk menunaikan shalat, rehat, mandi dan makan-makan.

“Waktu itu suami saya bekerja pada alat berat yang sedang membangun jalan ini. Lalu saya datang menemani suami. Di sini kami menampung beras kiriman dari warga Geumpang untuk menanak nasi. Nasi itu kami sedekahkan kepada para musafir yang datang atau pulang dari Meulaboh. Mereka adalah korban tsunami, atau orang-orang yang datang ke Meulaboh mencari saudara-saudaranya yang masih selamat dari tsunami 26 Desember 2004 itu,” sambung isteri dari Usman Husin, 55 tahun, ini.

“Lalu setelah jalan dilapisi aspal, kami mendirikan kedai dari kayu. Berjualan nasi dan barang-barang keperluan lainnya. Kemudian datanglah beberapa saudara saya. Mereka juga mebuka warung di sini. Sekarang di sini sudah ada lima keluarga yang menetap,” lanjut Azizah.

Azizah berasal dari Gampong Pucok, Geumpang, Pidie. Saudara-saudaranya yang kini menetap di lembah Kubu Aneuk Manyak ada yang berasal dari Keumala, Lamlo bahkan Bireuen. Mereka semata-mata hidup dari hasil berjualan di warung. Dan para konsumen mereka hanya penumpang bus umum L-300 yang singgah dari perjalanan mereka.

Bangunan di lembah itu kini terdiri dari deretan lima muka warung berkonstruksi kayu di salah satu sisi jalan, dan deretan tiga warung yang juga berkonstruksi kayu di seberangnya.

Pada awal 2009, Bank Pembangunan Daerah (BPD) Aceh membangun sebuah meunasah berkonstruksi beton. Sedangkan bangunan inti yang menjadi sumber pencitraan kawasan, yaitu kuburan sang ayah dan anaknya, sebagian telah direnovasi, dan sebatang pohon yang tumbuh di atas kuburan itu masih dibiarkan meski telah mati dan nyaris lapuk.

Secara administrasi, kawasan lembah Kubu Aneuk Manyak masuk ke dalam wilayah Tutut, Aceh Barat. Namun semua warga yang tinggal menetap umumnya masih ber-KTP Pidie meski mereka sudah lebih empat tahun hidup di sini.

Disinggung tetang status kependudukan, Azizah mengatakan, bahwa sekarang sepertinya mereka sudah agak ragu untuk terus menetap di lembah Kubu Aneuk Manyak. Masalahnya, jualan mereka sudah tak semaju tahun 2005 hingga akhir 2008. Itu sejalan dengan hampir selesainya infrastruktur lintasan Banda Aceh-Calang dan Aceh Barat.

“Dulu dari Banda Aceh ke Meulaboh, orang jalannya melalui Kubu Aneuk Manyak. Sekarang sudah tidak lagi. Mobil yang menempuh jalur ini sudah sedikit. Kalau keadaannya nanti lebih sunyi dari sekarang, maka kami harus meninggalkan Kubu Aneuk Manyak. Tidak mungkin tinggal di sini. Kami harus kembali ke kampung. Jadi satatus kami sebagai warga Pidie, masih harus dipertahankan.”(*/ha/musmarwan abdullah)

Belum ada komentar

Berita Terkait