Bengkulu — Kayu bakar baik yang disediakan khusus maupun sisa bahan bangunan masih banyak digunakan untuk memasak baik di rumah makan maupun keluarga biasa.

Banyak alasan yang dikemukakan oleh masyarakat yang memasak dengan menggunakan bahan bakar dari kayu bakar.

Menurut salah seorang warga Kota Bengkulu yang biasa menggunakannya untuk memasak kebutuhan sehari-hari, Nirwan (56) hasil masakannya beraroma lebih khas.

“Ketika dinikmati makanan itu menjadi lebih gurih dan untuk nasi lebih pulen, sehingga kian membangkitkan selera,” kata dia.

Begitu pula pemilik salah satu rumah makan masakan padang di Kota Bengkulu, Safrizal mengatakan meski kini tersedia gas untuk bahan bakar memasak, namun ia tetap menggunakan kayu bakar.

“Dengan kayu bakar, masakan lebih matang dan beraroma tersendiri. Itu yang menjadi salah satu yang disukai pelanggan,” kata dia.

Ia pun memiliki pemasok kayu bakar tersendiri sehingga tidak khawatir kekurangan, termasuk para pemborong bangunan yang memiliki sisa kayu.

“Selain dari pemasok kayu bakar yakni jenis dari kayu utuh yang dibelah-belah, juga sama menerima pasokan dari pemborong bangunan yang memiliki sisa kayu tak terpakai seperti kasau, papan, reng atau lainnya,” kata dia.

Safrizal pun mengakui pernah menggunakan kompor gas untuk menggantikan kayu bakar, namun pelanggan masakannya protes karena aroma dan rasanya berbeda.

Sejak itu, ia pun terus menggunakan kayu bakar untuk memasak, meski risikonya peralatan memasak cepat kotor.

“Selain itu, harus rajin memberesi kayu-kayu agar tak berserakan, apalagi saat hujan khawatir terkena air sehingga sulit dibakar,” terang dia.

Feriawan, warga Curup yang bekerja di Kota Bengkulu mengaku memilih rumah makan yang memasaknya menggunakan kayu bakar.

“Pertama kali mencari rumah makan lihat dulu bahan bakarnya apa. Kalau menggunakan kayu bakar, maka saya kunjungi,” kata dia.

Ia pun menjelaskan masakan yang dimatangkan dengan bahan bakar kayu lebih terasa enaknya, serta memiliki aroma tersendiri.

“Coba bandingkan sendiri nasi yang dimasak menggunakan kayu bakar dengan gas. Dengan kayu bakar lebih pulen dan aroma nasinya ke luar,” terang dia.

Penjual Kayu Bakar Seorang pedagang kayu bakar di Jalan Basuki Rahmat, Kota Bengkulu, dan telah berjualan selama 10 tahun, Tati mengatakan kayu bakar yang ia jual selalu habis.

“Masyarakat banyak yang lebih menyukai memasak dengan menggunakan kayu bakar,” kata dia.

Kayu bakar yang di jual oleh Tati ada dua jenis, yaitu jenis kayu karet dan peranggas (kayu merah).

Jenis kayu merah memiliki harga yang lebih mahal dibandingan dengan kayu karet, karena kayu merah memiliki tektstur yang lebih padat dan keras, sehingga api yang dihasilkan dari pembakaran lebih tahan lama dan mengasilkan aroma khas kayu yang lebih menyengat.

Tati mengakui dalam sehari dapat menjual hingga 200 ikat kayu bakar, dalam satu ikat terdapat lima bilah potongan kayu.

Satu ikat kayu bakar merah dihargai Rp2.500 dan Rp2.000 untuk kayu karet.

“Penjualan kayu bakar akan semakin meningkat ketika banyak warga mengadakan pesta perkawinan, akikah, dan juga pada hari-hari besar,” katanya.

Biasanya warga membutuhkan kayu bakar ketika akan memasak dalam jumlah besar, karena dengan menggunakan kayu bakar akan lebih efisien dibandingkan dengan menggunakan kompor gas atau kompor minyak.

Tati juga memiliki pelanggan tetap yang sehari-hari mengambil kayu bakar dari kiosnya, diantaranya masyarakat yang memiliki usaha rumah makan, katering, pembuat makanan khas lempu, sate, dan lainnya.

Untuk pasokan kayu bakar, Tati mendatangkan dari luar Kota Bengkulu.

Selain menyediakan kayu bakar, Tati juga menyediakan arang yang terbuat dari kayu dan arang batok kelapa. Untuk arang dipasok dari daerah Tanjungputus Kabupaten Bengkulu Utara.

Pelanggan arang sebagian besar hanya masyarakat yang memiliki rumah makan dan penjual sate.

Permintaan arang akan semakin banyak ketika memasuki musim pergantian tahun, karena rata-rata pada malam tahun baru masyarakat lebih identik dengan mengadakan acara yang membutuhkan bahan bakar arang.

Sementara, permintaan arang batok kelapa lebih banyak dibandingkan dengan arang kayu, karena arang batok lebih tahan lama menghasilkan bara api, dan bara yang dihasilkan lebih panas.

Sedangkan harga, untuk satu karung arang kayu ukuran 50 kilogram dihargai Rp35.000, sedangkan untuk arang batok Rp35.000 hanya untuk ukuran 20kg.

“Bahan arang batok lebih sulit didapatkan sehingga harganya pun tergolong mahal,” kata dia.

Tati pun mengakui, muusim hujan menjadi kendala bagi penjual kayu bakar dan arang, karena apabila hujan kayu bakar dan arang akan menjadi basah dan lembab, sehingga pelanggan enggan membeli karena kayu bakar akan susah untuk dihidupkan.

Dan akan menjadi pekerjaan tambahan Tati ketika kayu bakar dan arang yang dijualnya basah, maka ia akan menjemur kembali hingga kering dan laku untuk dijual kembali.

Selain itu risiko yang didapatkan oleh penjual kayu dan arang adalah kondisi rumah yang kotor dan menghitam akibat arang-arang yang dijualnya.

“Jadi saya sering sekali mengganti cat rumah,” kata dia. (beritadaerah.com)