Seputaraceh

Ben Rattray, Sosok Dibalik Situs Change.org

Ben Rattray, Sosok Dibalik Situs Change.org
Ben Rattray, Sosok Dibalik Situs Change.org

JIKA Anda kerap menemui situs yang berisi petisi online untuk menyampaikan aspirasi dan kampanye sosial kepada pihak yang ingin dipetisikan, mungkin jejaring sosial Change.org yang sering Anda temukan. Tapi, tahukah Anda siapa orang dibalik situs yang telah berdiri sejak tahun 2007 lalu? Ben, begitulah nama panggilan pria yang bernama lengkap Benjamin Michael Rattray yang lahir di California, Amerika Serikat, 32 tahun lalu.

Ben adalah pendiri (founder) sekaligus Chief Excecutive Officer (CEO) situs Change.org, situs yang mewadahi berbagai organisasi untuk menyalurkan aspirasi mereka secara bebas namun bertanggungjawab ini telah terdaftar sejak tahun 1995 atas namanya sendiri.

Situs Change.org memang berawal dari kisah Ben bersama adiknya yang pada saat itu sering mendapatkan perlakuan seperti seorang penjahat dari sekelompok orang karena dianggap Gay. Ben pun tidak mau tinggal diam, akhirnya dia membuat pembelaan dengan berkampanye lewat jejaring sosial dan dari sanalah muncul lahir situs Change.org. Berbagai dukungan pun muncul dari aksi Ben tersebut, agar tidak memperlakukan adiknya seperti itu. Dan dia pun berhasil menggaet mata dunia dari keberhasilannya tersebut.

Di negara asalnya, Amerika Serikat, situs Change.org memang memberi pengaruh besar terhadap perubahan sosial dan politik.

Sejak didirikan, situs Change.org terus mengalami perubahan, yang sebelumnya hanya berupa situs beberapa iterasi, lalu menjadi media untuk aktivitas sosial, berubah menjadi blog, dan terakhir bertransformasi sebagai situs web petisi online pada 2011.

Berkat perjuangannya, alumni dari Stanford University ini pun masuk dalam daftar 100 orang paling berpengaruh di dunia versi majalah Times dan 40 orang dengan status “Rising young business leaders” dari majalah Fortune tahun 2012 lalu. Tidak hanya itu, situs Change.org pun kini didukung oleh organisasi besar seperti Amnesty International dan Humane Society membayar situs tersebut utuk melakukan kampanye perubahan sosial.

Kini jutaan orang telah mengakses situs tersebut untuk menandatangani berbagai petisi online dengan tema bermacam-macam. Ada beberapa topik yang mendominasi dan popular dari situs Change.org, seperti Human Rights, Environment, Gay Rights, Animals, Women’s Rights, Economic Justice, Human Trafficking, dan masih banyak lainnya.

Cara Kerja Situs Change.org

Hingga kini, situs Change.org telah tersedia dalam berbagai bahasa termasuk Indonesia. Selain itu, di Indonesia juga sudah terdapat kantor perwakilan di bilangan Menteng, Jakarta Pusat.

Secara gamblang, petisi yang dulu identik dengan tanda tangan di atas kertas kini telah berganti dengan media sosial. Lewat situs Change.org sebenarnya hanya menyediakan wadah saja kepada penggunanya.

Dalam menyampaikan tuntutan atau petisi, tentu seorang pengguna yang terdaftar (register) harus cermat menentukan tujuan (e-mail) dan target orang yang ingin dipetisi, termasuk jenis kasus apakah menyangkut kepentingan nasional, lingkungan, sosial atau hak asasi.

Salah satu contoh kasus yang lagi hangat-hangat saat ini yang dilakukan oleh End of the Icons dengan kasus selamatkan 1,2 juta hektar hutan di Aceh yang dialamatkan kepada Gubernur Aceh, Zaini Abdullah.

Tentunya bagi mereka-mereka yang peduli dengan kasus ini, bisa memberikan dukungan dengan cara menandatangani petisi secara online di Change.org. Selain itu, mereka juga bisa mencari massa lainnya dengan meminta dukungan lewat cara membagikan status atau tautan petisi dengan jejaring sosial semacam Facebook dan Twitter.

Dari setiap tanda tangan –komentar– di petisi tersebut, nantinya akan masuk ke e-mail orang yang dipetisikan. Jadi, bisa dibayangkan saja kalau dalam sehari ada 1.000 orang yang mendukung petisi, maka orang yang dipetisikan juga akan menerima 1.000 e-mail dari setiap orang yang menandatangani petisi.

Selama ini, situs Change.org memang sangat terbuka untuk semua kalangan yang ingin membuat petisi, dengan berbagai topik. Namun, tidak semua topik bisa lolos atau tayang ke publik jika berisi tentang kekerasan dan SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan), sehingga akan dilakukan moderasi oleh pihak pengelolanya dari setiap negara.[]

 

Belum ada komentar

Berita Terkait