Kekeringan di sejumlah danau tidak hanya karena kemarau, tapi juga kerusakan akibat penebangan hutan dan pencemaran limbah pabrik kelapa sawit.

[dropcap]D[/dropcap]irektur eksekutif nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Abetnego Tarigan mengatakan berbagai faktor, termasuk penebangan hutan dan limbah pabrik, telah mengganggu ekosistem sejumlah danau di Indonesia.

Banyak danau mengalami penyusutan debit air, dan beberapa menjadi ekstrem karena penyusutannya di level permukaan air, jelas Abetnego.

“Misalnya di Danau Toba, penyusutan mencapai lima sampai 6 meter, ini sangat luar biasa. Penyusutan ini diikuti dengan tindakan mereklamasi. Jadi kawasan di pinggir danau, daratan diperluas untuk berbagai aktivitas. Di kawasan Danau Toba ini juga dikembangkan PLTA, kemudian juga hutan tanaman industri, lalu peternakan skala besar. Ini menunjukkan ada persoalan lain selain musim kemarau,” ujar Abetnego.

Ia menambahkan bahwa selain penurunan debit air danau akibat hutan tanaman industri, juga ditemukan berbagai bentuk pencemaran air danau. Abetnego mengatakan, dari pantauan WALHI, di Danau Sembulung, Kalimantan Tengah, kualitas airnya sangat berminyak akibat adanya pabrik-pabrik kelapa sawit di sekitar kawasan itu.

Pakar lingkungan dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Sobirin, mengatakan, institusi pemerintah terkait seperti Kementerian Kehutanan dan Kementrian Pekerjaan Umum yang mengurus sektor air selama ini tidak berkordinasi dalam mengatasi masalah penurunan debit air dan pencemaran air danau. Padahal menurutnya, saat ini ada Peraturan Pemerintah No. 37/2012 soal pengelolaan daerah aliran sungai yang menjadi landasan kerja dari beberapa kementerian terkait.

“Perbedaan debit sungai di musim kemarau dan penghujan harus tetap sama. Cara mengatasinya adalah semua kementerian yang terkait harus duduk bersama supaya sektor kehutanan dan sektor air bisa bersinergi. Jika tidak diatur, tetap aja musim kemarau kering, musim penghujan banjir. Dan tentunya kita kan sudah komitmen dengan perubahan iklim yang menekankan, ‘Give more space of water’. Jadi berikanlah ruang air lebih banyak,” ujarnya.

Sobirin menambahkan, fenomena yang ada saat ini adalah alih fungsi lahan yang sangat mengganggu keberlanjutan alam.

Abetnego menekankan, partisipasi masyarakat untuk menjaga ekosistim danau agar tidak dijadikan ladang investasi skala besar harus dimulai.

“Danau ini tidak bisa lagi menjadi tempat menumpuknya investasi skala besar, tentu dengan dukungan yang cukup soal perlindungannya. Selain itu kita dorong partisipasi dari masyarakat untuk menjaga ekosistem dari danau ini,” tuturnya.

Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup menetapkan enam kriteria penilaian untuk menentukan status kerusakan danau-danau, termasuk faktor sedimentasi, pencemaran, penurunan kualitas dan kuantitas air yang tinggi, hingga pemanfaatan danau yang berlebihan. Konferensi Nasional Danau Indonesia II tahun lalu menyebutkan 15 danau menjadi danau prioritas 2010 sampai 2014 yang dipilih berdasarkan tingkat kerusakan dan dampaknya pada kehidupan masyarakat. (voaindonesia.com)