Seremaja itu, seharusnya tempat dia bukan di lahan cabai kaki gunung; tapi di kampung, antara rumah dan gedung sekolah serta tempat mengaji.
Tapi kondisi semangat keluarga dalam hal pendidikan terbilang rapuh. Dahlan, 55 tahun, sebagai tukang kayu dan bangunan tentu bukan bapak yang terlalu melarat untuk sekedar mengantar anak-anaknya meski hanya sebatas sekolah menengah atas.
Lagi pula kampung mereka, Gampong Ie Masen, Muara Tiga, Pidie terletak di antara dua lahan sumber mata pencaharian yang sangat potensial untuk membuat warga di situ tak hidup sengsara sebagaimana manusia-manusia yang tinggal di gurun gersang dan tanah kerontang. Yaitu, laut dan gunung serta areal tanah persawahan himpit-menghimpit di antara segenap persisian desa Ie Masen.
Namun bila kemauan memang sudah tak ada, tertutup pula semua jalan. Muhammad Basyah, 16 tahun, anak ke delapan dari pasangan Muhammad Dahlan dan Salbiah, hanya tamat sekolah dasar. Selebih dari usia itu waktunya hanya menguap di lahan cabai di kaki pergunungan Seulawah Inong, dalam kawasan Simpang Beutong, Laweueng, Pidie, sebagai pengawas tanaman cabai milik abang iparnya.
Menurut Muhammad kepada Harian Aceh, Sabtu (17/7), tiap kali panen memang ia bisa mendapatkan bagian dari usahanya itu dari Rp 1 juta hingga Rp 3 juta. Tetapi uang-uang itu sudah tak mampu mengembalikannya ke keriangan rumah sekolah seperti yang masih ia kenang ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar dulu.
Selintas tebersit penyesalannya kepada kedua orangtua yang terlalu cepat membiarkan dirinya mengikuti gairah godaan uang. Dan saat itu ia pun terpengaruh oleh lingkungan. Saat tersebut, katanya, ia sering mendengar orang-orang dewasa yang tak bertanggungjawab terutama ketika mengeluarkan kata-kata di tengah komunitas yang di situ juga ada anak-anak, di mana kata mereka, “Peu tajak sikula, dak tajak meucampli na cit jeut tacok peeng. Meunyo tajak sikula, meunyo hana peeng sogok, kon han cit meuteumee keurija (dari pada bersekolah, lebih baik tanam cabai, dapat duit. Kalau pun bersekolah tinggi-tinggi, kalau tak ada uang untuk sogok, tak bakalan juga mendapat pekerjaan).”
Kini di setiap harinya, di kala sendiri ditinggal di atas rangkang lahan cabai sembari mengawasi tanaman-tanaman itu yang tepatnya berada sekira 300 meter dari sisi jalan negara Banda Aceh-Medan, dalam kawasan gunung Seulawah, kilometer 83, kerap daya bayangnya merambah masa lalu ketika ia masih sama-sama dengan kawan sebaya mengatur langkah pagi hari menuju ke rumah sekolah. Dan kata Muhammad Basyah, semua kawannya itu sekarang sudah bersekolah di luar kecamatan, melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Dia sering sendiri di sini; di lahan cabai kaki gunung nan sepi.(*/ha/musmarwan abdullah)
Belum ada komentar