Penduduk dunia menembus tujuh miliar sejak tahun lalu. Tetapi, tidak seluruh permukaan bumi sesak dan dipadati manusia. Banyak pula wilayah yang nyaris tak berpenghuni sama sekali. Fenomena ’’kota hantu’’ atau kota mati (ghost town) itu tidak hanya dijumpai di dunia ketiga (negara-negara berkembang), tetapi bisa pula ditemukan di negara-negara maju. Termasuk, negara-negara Barat.

Dalam wikipedia, istilah ’’kota hantu’’ digunakan untuk menyebut desa atau kota yang telah ditinggalkan sebagian atau seluruh penduduknya. Itu bisa terjadi karena tidak ada aktivitas ekonomi yang mendukung keberadaannya. Bisa juga karena wilayah itu tersapu bencana, baik alam atau bencana yang disebabkan manusia.

Dua di antara kota hantu itu adalah Darwin yang terletak di Inyo County, Negara Bagian California, Amerika Serikat (AS), dan Kota Pripyat yang berada di Provinsi Kiev (Kiev Oblast), Ukraina. Dua kota di belahan dunia yang berbeda itu menjadi kota mati karena dua alasan berbeda. Darwin yang dulu dikenal sebagai kota tambang akhirnya berubah menjadi kota mati seiring dengan menipisnya timbunan bijih timah dan perak di wilayah tersebut. Sedangkan Kota Pripyat tidak berpenghuni lagi pasca-ledakan reaktor nuklir Chernobyl pada 26 April 1986 yang memicu bencana di negeri pecahan Uni Soviet itu.

Kini, Kota Darwin yang terletak dekat Taman Nasional Lembah Mati (Death Valley National Park) tersebut hanya dihuni sekitar 43 orang. Hal itu bertolak belakang dengan kondisinya di masa lampau.

Pada 1877 atau 135 tahun lalu, tambang timah dan perak di wilayah tersebut begitu menjanjikan. Alhasil, kota yang terletak pada ketinggian 1.460 meter dari permukaan laut itu pun dihuni ribuan orang. Dalam perkembangannya, deretan pertokoan memadati jalanan di pusat kota. Bar dan rumah bordil juga mudah ditemukan di berbagai sudut kota.

Kejayaan Darwin berakhir pada awal 1900-an seiring dengan tutupnya pertambangan perak dan timah di sana. Jangankan bar, toko pun tak terlihat lagi di kota tersebut. Untuk membeli aneka barang kebutuhan sehari-hari, warga terpaksa menempuh perjalanan jauh. Sebab, toko kelontong yang terdekat pun terletak di lokasi yang jaraknya sekitar 145 kilometer dari Darwin.

’’Saya sadar bahwa selalu ada yang harus dikorbankan untuk dapat bertahan hidup di kota yang cantik dan alami seperti ini,’’ ujar John Rothgeb, salah seorang warga yang kini usianya sudah menginjak 67 tahun, dalam wawancara dengan Los Angeles Times. Karena itu, dia rela berkendara jauh hanya untuk membeli barang-barang kebutuhan hidup.

Sayang, kaum muda di Darwin tak sependapat dengan sikap Rothgeb. Meski mengaku tak ada yang mengalahkan keindahan alam kota kelahiran mereka, anak-anak muda di sana memilih untuk menjalani kehidupan yang jauh lebih mudah di luar kota. Karena itu, tak ada seorang pun warga berusia di bawah 24 tahun di kota tersebut. Mereka yang memilih bertahan di sana hanyalah pasangan lanjut usia (lansia).

Meski alamnya memesona, kota yang dibangun Darwin French pada 1874 itu tidak pernah dikunjungi wisatawan. Maklum, tak ada sentuhan modernitas di Darwin. Kota mati itu belum tersentuh internet. Sinyal telepon di wilayah pegunungan tersebut juga lemah. Jangan harap menemukan panduan wisata soal Darwin di internet. Atau, menemukan lokasi kota mati itu dengan bantuan satelit.

Satu-satunya alat komunikasi yang menghubungkan 43 penduduk Darwin dengan dunia luar hanyalah kantor pos. Karena itulah, kantor pos menjadi satu-satunya lokasi yang paling hidup di kota tersebut. ’’Biasanya, warga berkumpul di kantor pos pada siang hari,’’ kata Rothgeb sebagaimana dikutip Daily Mail awal pekan lalu. Sayangnya, pemerintah setempat berencana menutup kantor pos itu tahun depan. (dailymail/hep/dwi)