Masjid Islamic Center Lhokseumawe (Foto rianputra84.wordpress.com)[quote]Oleh Samsudin Adlawi[/quote]

SYARIAH kian disambut ramah. Publik nonsantri tidak selalu alergi terhadap istilah syariah. Bahkan, tambahan kata ”syariah” dalam dunia bisnis kini malah menjadi daya tarik pasar. Karena itu, syariah dengan cepat sudah merambah ke mana-mana.

Perbankan adalah yang pertama mengenalkan konsep bisnis syariah di Indonesia pada 1990-an. Namun, saat itu terkesan masih malu-malu. Ter­bukti, bank pertama yang meng­gu­na­kan prinsip-prinsip syariah tersebut tidak mencantumkan kata ”syariah” dalam namanya. Nama yang dipilih justru Bank Muamalat. Kata ”mua­ma­lat” memang berbau Islam, tapi tidak seblak-blakan ”syariah”.

Lambat laun, makin banyak publik yang familier dengan kata syariah. Saat itulah bermunculan Mandiri Syariah, BRI Syariah, dan BNI Syariah. Bank-bank konvensional lainnya, bahkan bank asing, berlomba membuka unit usaha syariah.

Asuransi, pegadaian, koperasi, dan jenis usaha yang lain juga mulai men­can­tumkan kata syariah di bela­kang­nya. Demam syariah juga sudah me­ram­bah bidang jasa. Di beberapa daerah, mulai bermunculan bisnis cucian syariah (mungkin, dipisahkan antara pakaian lelaki dan perempuan).

Kue Wisata Islami

Dunia pariwisata tidak mau ter­ti­nggal. Kementerian Pariwisata dan Eko­nomi Kreatif (Kemenparekraf ) ber­tekad menjadikan Indonesia sebagai destinasi pariwisata syariah (syariah tourism) dunia. Konsep wisata syariah pun dirumuskan dengan cepat.

Salah satunya, pasar seperti apa yang jadi bidikan wisata syariah. Berbeda dari bidang bisnis lainnya yang lebih dulu ”bersyariah”, pasar bidikan wisata syariah lebih spesifik. Yakni, menjaring wisatawan muslim –domestik maupun internasional.

Potensi wisata syariah ternyata cukup besar. Secara global, populasi muslim dunia saat ini mencapai 1,6 miliar atau 23 persen di antara total populasi dunia (vivanews, 19 De­sem­ber 2012). Adapun khusus di bidang pariwisata, tahun lalu kontribusi wisatawan muslim mencapai USD 126 miliar. BPS mencatat, jumlah wisa­ta­wan mancananegara muslim yang ma­suk Indonesia hingga Oktober 2012 mencapai 1.270.437 orang. Me­rang­sang, bukan?

Hanya, saat ini wisata syariah Indonesia belum digarap secara mak­si­mal. Terbukti, ia baru sebatas menjadi salah satu pengembangan wisata kon­ven­sional. Kalau digarap lebih serius, potensi tersebut akan lebih dahsyat. Bisa mendongkrak cadangan devisa negara, kata Wakil Menteri Parekraf Sapta Nirwandar (Jawa Pos, 21 De­sem­ber 2012).

Perlu dicatat, wisata syariah tidak sama dengan wisata religi yang sudah populer di Indonesia. Wisata syairah tidak sebatas pada objek. Lebih dari itu, wisata syariah lebih memperhatikan sisi pelayanan hingga akomodasi (yang sesuai dengan kaidah syar’i). Seti­dak­nya, ada dua hal penting yang harus di­penuhi.

Pertama, produk: harus dibuat standardisasi usaha wisata syariah. Hotel, restoran, spa, biro perjalanan wisata, dan fasilitas lainnya seyogianya islami. Penginapan/hotel harus mene­rap­kan konsep syariah: sediakan Al Quran, sajadah, dan ada petunjuk arah kiblat–bila perlu dilengkapi jadwal shalat serta tidak ada suasana hiburan maksiat. Restorannya pun harus me­nye­diakan makanan halal.

Selain itu, pemerintah (Ke­men­pa­rekraf) dan pelaku wisata hendaknya menyiapkan SDM yang memenuhi kebutuhan industri wisata syariah, termasuk lewat pendidikan pariwisata khusus. Guide dan customer service di hotel yang masuk destinasi wisata syariah harus memiliki sertifikat wisata syariah.

Kenangan dari Masjid

Bidikan wisata syariah sangat jelas: wisatawan muslim. Sebagaimana dike­tahui, salah satu kebutuhan pokok se­orang muslim adalah beribadah, ter­utama shalat. Tidak jarang perjalanan wi­sata dari penginapan ke objek wisata mem­butuhkan waktu panjang. Bisa seharian, bahkan sehari semalam.

Dalam perjalanan wisata, ada rumus yang terkenal: memanfaatkan waktu yang sesedikit mungkin untuk bisa mengunjungi objek sebanyak mungkin. Itu menunjukkan betapa berharganya waktu. Agen travel harus menyediakan jadwal beribadah di sela-sela kun­ju­ngan wisata, setidaknya dengan dija­mak qashar (diringkas). Sebenarnya, tidaklah sulit mencari masjid. Khu­sus­nya di sembilan destinasi yang oleh Ke­menparekraf dinilai memiliki potensi untuk dipromosikan sebagai destinasi wisata syariah. Sembilan destinasi itu adalah Sumatera Barat, Riau, Lam­pung, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Makassar, dan Lombok.

Yang sulit adalah mencari masjid yang memenuhi ”standar pariwisata”. Yakni, bersih dan indah. Akan tambah menarik kalau juga punya nilai sejarah. Hampir semua daerah di Indonesia memiliki masjid agung atau masjid raya atawa masjid jamik yang ber­sejarah.

Hanya, tidak semua masjid tersebut dikelola dengan baik. Selama ini, kegiatan takmir masjid hanya berfokus pada kegiatan rutin ibadah di masjid seperti salat dan perayaan hari besar agama. Kesadaran untuk mem­per­indah dan mempercantik masjid belum begitu mendapat atensi. Masih banyak masjid yang kurang bersih (”ke­ber­sihan sebagian dari iman”). Belum ba­nyak upaya mempercantik halamannya dengan taman, sehingga orang yang berkunjung ke masjid merasa nyaman dan (ini yang terpenting) terkenang.

Menyambut demam wisata syariah, restorasi masjid menjadi kebutuhan yang mendesak. Yang tampak masih kurang bersih harus segera dibersih­kan. Yang masih kurang indah diper­can­tik dengan ornamen-ornamen yang (tentu saja) islami. Yang belum ada tamannya dibuatkan taman seindah mungkin. Dengan demikian, rom­bo­ngan wisatawan syariah yang hendak sa­lat akan membawa kenangan yang indah. Dan setelah pulang ke negara asalnya, mereka akan promosi begini: tidak salah Indonesia menjadi negara muslim terbesar di dunia. Masjid­masjidnya nyaman dan indah.[]

Wartawan Jawa Pos, menerbitkan dua buku puisi, jamaah Klub Duha Tahajud