MIS Abeuk Reuling Sawang, Aceh Utara (Foto Fachrul Fikri)
MIS Abeuk Reuling Sawang, Aceh Utara (Foto Fachrul Fikri)

Kondisi MIS Sawang, Aceh Utara (Foto Fahrul Fachri)Oleh Moersalin

MIRIS, menyedihkan, dan memalukan. Mungkin begitulah kesimpulan Anda setelah membaca berita tentang persentase siswa SMA di Aceh yang tidak lulus Ujian Nasional (UN) pada tahun 2013. Nomor satu dari nasional? Yup, tapi nomer satu dari belakang alias peringkat terakhir di bawah Papua. Kali ini kambing mana yang mau dicat hitam? Institusimana yang hendakdisalahakan? Atau siapakah orang yang pantas menjadi terhukum?

Kita (baca: Aceh) masih terlalu bangga dengan gelar daerah istimewa yang disandangkan, istimewa di bidang pendidikan, agama, dan kebudayaan. Kini, dari ketiga penghargaan itu, mungkintakadasatupun yang bisa kita andalkan.

Tidak dipungkiri jika pendidikan di daerah kita pada masa lalu patut diacungi jempol. Jangankan dari daerah lain di negeri ini, mahasiswa dari luar negeri pun rela keluar dari tanah kelahiran mereka demi menuntut ilmu di bumi Serambi Mekah ini.

Sekarang? Tidak perlu jauh-jauh mengintip prestasi ini-itu, lihat saja berita baru-baru ini. Dulu kita bisa berbangga hati dengan kuatnya nilai agama Islam yang mengalir dalam darah para penerus bangsa. Kalau sekarang? Agama tidak lebih dari alat kampanye partai. Maksiat terjadi di mana-mana. Lalu keistimewaan terhadap budaya?Mungkin hanya budaya duduk di warung kopi yang dulu dianggap simbol pemalas dan kini malah dibanggakan.

Saat kita masih menderita akibat konflik, alasan untuk tertinggal dari daerah lain mungkin dapat diterima akal sehat. Konflik berkepanjangan menyebabkan pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia menjadi terhambat. Malah sekolah yang merupakan sarana pendidikan banyak yang dibakar saat itu. Nah, sekarang kurang apa lagi? Kesejahteraaan guru jauh lebih baik dari sebelumnya, infrastruktur malah cukup hebat dan megah berkat milyaran dana otonomi khusus. Apa lagi hambatannya? Atau apakah karena orang Aceh memang terlahir bodoh? Tidak! Saya tidak setuju dengan statement itu.

Tidak ada orang yang terlahir bodoh, tetapi orang yang membodohkan diri sendiri yang banyak. Malas belajar, budaya mencontek, KKN yang merajalela, kepingin yang gampang saja dan tidak mau berusaha, mudah terbawa arus, dan lain sebagainya itulah yang banyak kita jumpai pada generasi sekarang ini.

Hasil uji sertifikasi guru beberapa waktu lalu juga memalukan. Banyak sekali guru di Aceh yang tidak lulus ujian tersebut. Alasan yang mereka berikan juga sangat klise. Kurang persiapan. Lalu, apa artinya mereka mengajar bertahun-tahun? Apakah itu bukan persiapan?

Ibu saya adalah seorang guru dan kepala sekolah di sebuah SD yang terletak di pelosok Aceh. Setiap saya pulang kampung, entah curhatan apa saja yang keluar dari mulutnya. Mulai dari panggilan dari kantor yang sebentar-bentar untuk ikut rapat. Namun sesampai di sana, hanya ada acara makan-minum dan bagi-bagi uang serta ceramah dengan topik yang itu-itu saja dari pihak dinas. Ibu saya juga bercerita tentang guru yang sangat jarang masuk mengajar dan murid yang maunya main saja… Wallahu a’lam.

Banyak guru yang sangat semangat mengajar ketika masih berstatus bakti. Akan tetapi, setelah mereka diangkat menjadi PNS, masuk ke sekolah untuk mengajar hanya seminggu sekali. Tidak ada yang protes? Ada. Banyak yang tidak setuju dengan kelakuan sang guru. Tapi mereka hanya berani di belakang dan tidak berani di depan. Ini dikarenakan suami guru malas itu memiliki kenalan yang duduk di kursi DPRA.

Prilaku murid juga masih banyak yang perlu dibenah. Pernah suatu hari ibu saya bercerita tentang seorang murid SD yang nakalnya naudzubillah. Di sekolah ada saja keonaran yang dibuatnya. Di rumah ia pun demikian. Tetapi orang tuanya hanya diam dan tidak menghukum sama sekali. Alasannya sang bapak sibuk dan si ibu takut pada anaknya. Apapun yang anak itu minta, pasti dituruti. Walhasil, ketika dia meminta dibelikan sepeda motor, orang tuanya langsung memenuhi. Bayangkan, anak SD sudah berani membawa motor ke sekolah. Baru dua minggu dia mengendarai motor, sang anak sudah tahu cara menabrak sapi dan kisah anak itu berakhir di meja operasi.

Yang lebih parahnya lagi, ada murid kelas 1 SD yang menurut penuturan ibu saya, suka mencium murid perempuan yang cantik di kelasnya. Saat murid itu tertangkap basah sedang mencoba mencium teman sekelasnya, ibu saya menanyakan perihal keanehan perilakunya itu. Tanpa rasa bersalah ia menjawab, “lon nonton bak tiphi, buk. Cewek lagak dicom (saya nonton di TV, bu. Cewek cantik dicium)”.

Kalau masalahnya seperti ini, siapalagi yang patut kita salahkan? Setiap kali saya kewarnet yang terletak di pasar kecamatan untuk mengirim tugas, di sana saya melihat warnet itu penuh dengan anak-anak yang berseragam sekolah, SMP dan SMA. Keesokan harinya pun demikian. Mereka rela duduk berjam-jam di depan layar komputer sambil bermain game online. Sambil bermain, mereka juga asyik menghisap rokok. Rasanya hidup mereka hanya sebatas game online dan asap rokok. Pemilik warnet pernah mengatakan bahwa ada di antara anak-anak itu yang tidak pulang seharian.

“Saya ngga berani meralang. Ayahnya anggota,” cerita pemilik warnet itu pasrah. Mungkin anak-anak itu berpikir, untuk apa serius sekolah kalau nanti waktu ujian, kunci jawaban sudah diberikan guru. Atau kalau pun tetap tidak lulus ,masih ada ujian paket C. Nanti masih bisa juga jadi anggota dewan atau bahkan pejabat di pemerintahan.

PR yang Masih Menumpuk

Masih banyak pekerjaan rumah bagi kita untuk memperbaiki dan membangun pendidikan di Tanoh Rencong ini. Salah besar jika selama ini jika yang ada di benak kita adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan cukup hanya dengan membangun gedung yang indah dan megah.

Terlalu banyak waktu terbuang jika hanya digunakan untuk rapat dan rapat. Terlalu banyak dosa jika guru yang sudah menerima gaji tapi tidak pernah masuk untuk mengajar. Juga berdosa jika guru bisanya hanya memarahi murid ketika murid bertanya dan guru tidak bisa menjawab. Mungkin para guru tidak hanya dibutuhkan untuk bisa mengajar, tapi bagaimana bisa memberikan sentuhan psikologis.

Orang tua juga harus aktif berperan. Mungkin harus ada suatu hari dimana setiap orang tua diwajibkan untuk datang dan duduk dalam ruang sekolah bersama dengan anak-anaknya. Biar mereka tahu apa pekerjaan anaknya dan juga me-refresh kembali ilmunya yang dulu pernah dipelajarinya.

Di negara maju, guru tidak hanya diajarkan bagaimana cara mengajar, tapi mereka juga tahu kondisi psikologis muridnya. Menyontek adalah haram dan memalukan. Hal itu sudah diajarkan sedini mungkin. Kita malah ada guru di sekolah yang memberikan jawaban buat muridnya dengan tujuan sekolahnya terkenal dan reputasinya sebagai sekolah favorit terjaga. Bukankah ini mengajar kebohongan?

Sekali lagi, terlalu banyak pekerjaan rumah dalam bidang pendidikan. Untuk mencari jawabannya berpulang pada kita sendiri. Mau berubah dan memperbaiki ke arah yang lebih baik atau sebaliknya. Karena jika kita terus berdiam diri, bersiap-siaplah dengan gelar baru, “Aceh Pungo dan Bangai”.[]

*Anggota Komunitas Blogger Aceh di Berlin, Jerman