HARI Sabtu (9/3) lalu sebuah diskusi santai baru saja dilangsungkan di warkop The Stone Lampineung, Banda Aceh. Acara yang berlangsung sore hari itu dimotori oleh Masyarakat Informasi & Teknologi (MIT) Indonesia beserta sejumlah komunitas-komunitas yang ada di Aceh.

Diskusi yang ditemani ngopi bersama ini berjalan alot, pasalnya pembicara yang hadir secara sukarela pun tidak main-main, seperti Kasubdit II Perbankan Polda Aceh, Kompol Asep Iskandar SIK MM yang mewakili Kapolda Aceh, ada juga Pakar Hukum Prof Syahrial Abbas, MA serta dari kalangan Akademisi Dr Taufik Fuadi Abidin, MTech yang kini menjabat sebagai Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Informatika dan Komputer (APTIKOM) Wilayah Aceh.

Sekitar pukul 16.40 WIB acara pun berlangsung, hiruk pikuk keramaian di warkop terlihat padat. Pasalnya topik yang diangkat oleh panitia juga pun cukup menarik, sore itu pemaparan “Na Pancuri di Internet: Mencari Polisi Cyber Aceh” begitulah yang tertulis pada selembar backdrop 2 x 2 meter.

Pembicaraan hangat pun bersambut, mulai dari apa itu cybercrime, tanya jawab seputar judi online, hingga pada polisi siber menyatu jadi satu dan yang tak ketinggalan banyolan comic dari Syukurdi Mukhlis pun ikut mengocak perut pengunjung warkop.

Dalam kesempatan tersebut, Kompol Asep menyebutkan, selama ini di Aceh memang belum banyak sosialisasi tentang cybercrime (kejahatan yang terjadi di Internet), buktinya masih banyak juga masyarakat yang jarang melaporkan tindak kejahatan tersebut kepada pihak terkait dalam hal ini kepolisian.

“Salah satu kasus yang kini sedang ditangani pihak kepolisian adalah yang terjadi di Aceh Timur, yakni kasus akun di jejaring sosial yang merugikan orang lain dan kita sedang lakukan penelusuran,” tegasnya.

Menurut pengakuan Kompol Asep, Polda Aceh memang masih sangat minim SDM yang mampu dalam bidang IT seperti yang ada di Mabes Polri Jakarta. Sehingga pihak kepolisian Aceh kedepan ingin merekrut tenaga-tenaga ahli dan polisi siber untuk mengisi kekurangang yang ada saat ini.

Sementara itu Taufik Fuadi juga menyebutkan, kepolisian di Aceh pada khususnya perlu membentuk tim yang memang khusus menangani seputar kejahatan di dunia maya. Tidak jauh-jauh, ketersediaan layanan Wi-Fi (wireless fidelity) di warkop pun sebenarnya bisa menjadi perhatian penting pihak kepolisian untuk mengecek apakah memang aman atau tidak dari ‘pengutil’ pihak yang tidak bertanggungjawab.

“Di Aceh saat ini hampir rata-rata warung kopi memiliki fasilitas Wi-Fi, kalau makanan memiliki sertifikasi halal dan kemungkinan ke depan di warkop-warkop pun mesti ada sertifikasi aman,” kata Software Engineer yang pernah bekerja di Ask.com ini.

Dilain sisi,  Syahrial Abbas juga menilai apa yang kerap terjadi di Internet semisal kejahatan atau perjudian tetap bisa diproses secara hukum pidana. Namun, dari aspek hukum Islam belum mampu menjangkau lebih lanjut pada seluk-beluk teknologi.

“Dulu pada masa nabi memang belum ada internet seperti sekarang ini, tapi atas nama kejahatan yang mengambil hak orang lain dan mengarahkan atau memaksakan orang lain sehingga mengalami kerugian secara hukum Islam tetap dilarang dan termasuk juga di dunia maya,” jelas Kadis Syariat Islam Provinsi Aceh tersebut.

Butuh Waktu Kongkrit

Ada hal menarik terkait diskusi santai Sabtu sore laku, pasalnya banyak tindak kejahatan daring di Aceh jarang terungkap ke publik bahkan kepada pihak berwajib. Padahal bukan tidak mungkin, dari ratusan ribu pengguna internet di Aceh pasti pernah mengalami yang nama tindak kejahatan atau penipuan, baik di jejaring sosial atau pun saat bertransaksi di pelbagai situs jual beli online.

Belum lagi jika dikaitkan dengan penipuan yang kerap terjadi di perangkat gadget atau handphone, kehilangan pulsa via sms, ‘mama minta pulsa’, bahkan sampai pada kupon berhadiah yang kesemuanya itu merupakan tindak kejahatan dengan berbasis perangkat teknologi.

Uniknya, saya sendiri juga merasakan hal yang mirip dengan kasus perjudian alias tebak nomor untuk totok gelap (togel) yang kini juga menggunakan jasa layanan sms. Ironisnya bukan satu sms yang diterima, dalam berselang jam dua pesan mirip ini masuk ke handphone.

Setelah ditelusuri sekilas, nomor pengirim pun ternyata berbeda-beda walaupun masih dalam satu jaringan operator. Namun, yang sama hanya nomor kontak saja dengan membubuhkan nama seorang ‘Bapak Martunis’ di nomor 085333777103.

Kini, yang menjadi sebuah pertanyaan atau mungkin lebih afdhal PR bersama adalah ke siapa kita melaporkan kejadian atau gejala seperti di atas itu. Melapor ke nomor pengaduan yang biasanya kerap dicantumkan di spanduk pun tidak begitu efektif dan kadang kala sering sekali tanpa respon.

Ataukah pengguna internet/perangkat teknologi cukup mendiamkan kasus seperti ini? tentu saja hal ini tidak bisa diendapkan begitu lama tanpa ada waktu konkrit. Pihak berwajib pun kini harus cepat tanggap khususnya di Aceh, menyediakan akun jejaring sosial untuk bisa berinteraksi secara dua arah dengan berbagai fasilitas yang ada tentu menjadi langkah utama dan juga kerjasama dengan pihak operator dalam kasus ini SMS penipuan tentu harus terus diperkuat.

Tidak perlu adanya divisi khusus dalam menangangi permasalahan cybercrime ini terlebih di Polda Aceh yang masih kurangnya SDM bidang IT, cukup dengan tim kecil saja yang dibantu oleh seperangkat komunitas di Aceh untuk sama-sama membantu mengurangi penipuan yang marak terjadi selama ini di Aceh, baik dunia maya atau di dunia nyata.

Kita tahu motto “Kepolisian Mitra Masyarakat”, sudahnya saatnya masyarakat (netizen) juga menjadi partner baik polisi untuk menangani kasus-kasus cybercrime, jika polisi siber terlalu berat ada ‘netizen police’ yang tentunya akan siap membantu. Semoga[]