[quote]Oleh Andri Mubarak[/quote]

[dropcap]M[/dropcap]edio 2007, saya termasuk salah seorang pengguna jasa L-300 jurusan Banda Aceh- Lhokseumawe yang sangat rutin melintasi jalanan Aceh terutama saat liburan sekolah.

Tentu dalam tulisan ini saya tidak akan bercerita bagaimana indahnya alam Aceh di sepanjang Seulawah atau begitu berdenyutnya nadi kehidupan masyarakat Aceh dengan “paser kaget” yang tumpah ruah di sepanjang Sigli – Meureudu.

Tapi ada hal yang sangat menarik perhatian saya terutama saat melintasi kawasan Cot Batee Geulungku, Bireuen, tertulis dengan jelas “Kawasan Industri Bireun” yang siapa pun bisa membacanya saat melintasi kawasan tersebut.

Bagi saya ini adalah hal yang sangat menarik untuk dikaji dikarenakan, pertama pemerintah kabupaten dan provinsi Aceh telah memiliki niat untuk menggiatkan kawasan Industri di Aceh. Misal di Bireuen, terdapat tiga kawasan industri yaitu di Cot Batee Geulungku, Juli dan Jangka yang telah ada sejak tahun 2007.

Untuk tingkat provinsi sendiri kita dapat dengan mudah mengakses laman http://2012.acehinvestment.com yang merupakan website milik Badan Investasi dan Pusat Promosi (BIPP) Aceh, yakni salah satu badan yang paling bertanggungjawab terhadap investasi di Aceh. Tugas BIPP Aceh diantaranya melakukan perencanaan hingga mengkaji potensi investasi serta melakukan kegiatan promosi potensi daerah dan informasi mengenai kawasan industri yang tersebar di seluruh kabupaten Aceh lengkap dengan luas wilayahnya.

Kedua, pemerintah dengan dinas terkaitnya telah mencoba memperkenalkan kepada seluruh masyarakat Indonesia dan dunia bahwa Aceh adalah daerah yang layak untuk dijadikan tempat investasi dengan segala keunggulanya.

Ini terbukti dengan adanya baliho besar disamping jalan Medan-Banda Aceh atau juga website yang dengan mudah dapat diakses oleh siapa pun.

Ketiga, hal Ini menjadi pertanda positif untuk pengembangan berbagai industri di Aceh di masa yang akan datang.
Kita mengenal kawasan industri terintegrasi yang pernah dibangun di Lhokseumawe pada tahun 1974, terbesar di Aceh bahkan tergolong kawasan industri terbesar di luar Pulau Jawa.

Industrialisasi Aceh

Terdapat industri pengolahan gas alam cair di PT Arun LNG, pabrik Kertas Kraft Aceh, pabrik Pupuk AAF serta pabrik Pupuk Iskandar Muda bahkan PT Exxon Mobil Oil Indonesia –notabenenya adalah perusahaan asing– yang semakin menasbihkan Lhokseumawe sebagai salah satu kawasan industi petrokimia modern di Indonesia saat itu.
Kawasan Industri adalah salah satu tools yang berperan penting dalam mempercepat Industrialisasi di Aceh.

Industrialisasi memiliki arti penggunaan secara luas sumber-sumber tenaga non-hayati dalam rangka produksi barang atau jasa. Definisi ini memiliki ruang lingkup yang sangat sempit karena membatasi industrialisasi ‘terkesan’ hanya pada pabrik atau manufaktur saja.

Namun, jika ingin ditinjau lebih lanjut, maka industrialisasi juga dapat meliputi bidang pertanian karena bidang ini juga tidak pernah terlepas dari mekanisasi (pemakaian sumber tenaga non-hayati). Begitu juga dengan bidang lainnya seperti bidang perikanan, transportasi, komunikasi dan sebagainya.

Pengalihan sistem produksi dengan mekanisasi sangat diperlukan dalam meningkatkan produktivitas sebuah produk. Kita bisa melihat sepak terjang PT Sinar Sosro yang didirikan pada tahun 1974 oleh Sosrodjojo dengan produk ungggulannya Teh Botol Sosro yang sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia bahkan telah dieskpor ke Brunei Darussalam, sebagian Timur Tengah, Afrika, Australia, dan Amerika.

Bisnis Sosro dimulai dengan proses produksi di tempat, artinya teh dimasak dan diseduh langsung di tempat. Tentu produksi dengan metode ini tidak lah optimal. Transformasi pun dilakukan dengan melakukan metode produksi massal dengan melibatkan mesin-mesin penyeduhan hingga pengemasan serta penggunaan konsep Production Planning and Inventory Control dalam perencanaan dan persediaan produksi.

Hasilnya saat ini, produknya tersebar di seluruh Indonesia bahkan dunia pun telah mengenal teh botol sosro sebagai teh siap minum dalam kemasan pertama di dunia. Jika saya melihat sepak terjang teh botol sosro, saya juga bermimpi suatu saat nanti kopi Aceh bisa mengalahkan Starbucks dan dapat bersaing secara global.

Industrialisasi juga berdampak pada meningkatnya perekonomian masyarakat sekitar. Saya membayangkan pusat pengolahan keripik Saree, Aceh Besar dapat terintegrasi sehingga hasil keripik tersebut dapat diekspor ke luar negeri. Tujuannya adalah meningkatkan keuntungan dan produktivitas.

Tentu harus ada berbagai standar yang harus dipenuhi sebelum sebuah produk dilempar ke pasar global. Hal ini dapat dipenuhi jika pemerintah, petani ubi, pedagang serta dibantu dengan mekanisasi peralatan saling berintegrasi sehingga produk keripik ini dapat bersaing secara luas.

Jika kondisi masih seperti saat ini, berpaku pada pola tradisional dalam artian tidak ada perhitungan yang tepat berapa ton ubi yang harus diproduksi, kapan waktu tanam yang tepat, bagaimana mengolah dan mengemasnya, seperti apa sistem distribusi dan pemasarannya, maka produksi keripik akan ‘begitu-begitu’ saja. Akan ramai ketika musim haji serta liburan sekolah dan akan tenggelam di saat hari-hari biasa.

Memang butuh investasi yang sangat besar untuk memulai industrialisasi di Aceh agar berbagai usaha yang dilakukan masyarakat tidak ‘biasa-biasa’ saja. Ada beberapa permasalahan yang menyebabkan industrialisasi di Aceh tidak berjalan. Pertama adalah tidak adanya modal terutama berkaitan dengan biaya peralatan yang digunakan. Hal ini bisa dilakukan dengan mengajak investor lokal maupun asing untuk berinvestasi di Aceh.

Langkah awal yang harus dilakukan pemerintah daerah adalah memetakan keunggulan setiap wilayah di Aceh serta melaksanakan analisa kelayakan apakah investasi ini menguntungkan Aceh atau tidak, jangan sampai kita menjadi budak di tanah sendiri. Jika pemetaan telah dilaksanakan, maka langkah berikutnya adalah melakukan promosi kepada masyarakat luar tentang keuntungan jikalau berinvestasi di Aceh.

Selanjutnya adalah stigma yang beredar di masyarakat luar bahwa Aceh adalah wilayah yang pernah dilanda konflik dan baru saja merasakan perdamaian. Tentu diperlukan usaha lebih untuk membuat masyarakat luar Aceh percaya bahwa Aceh kini berbeda dengan Aceh dulu. Aceh kini aman dan jauh dari kekerasan. Diperlukan kerjasama berbagai pihak untuk terus menjaga perdamaian ini sehingga proses industrialisasi di berbagai sektor di Aceh dapat terus dilaksanakan.

Permasalahan terakhir adalah sumber daya manusia di Aceh yang belum familiar terhadap industrialisasi. Saat ini Aceh telah begitu banyak mengirimkan aneuk-aneuk nanggroe terbaiknya untuk menuntut ilmu baik dalam negeri maupun luar negeri dengan berbagai variasi keilmuan yang diambil. Tentu ini menjadi kekuatan yang sangat besar jika alumni-alumni beasiswa Aceh tersebut kembali ke Aceh dan memikirkan perkembangan potensi usaha masyarakat di Aceh sesuai dengan keilmuannya masing-masing.

Pemerintah bisa bekerjasama dengan para lulusan beasiswa Aceh tersebut untuk mengembangkan berbagai sektor industri di Aceh.

Industrialisasi bukanlah tujuan akhir namun salah satu strategi yang dapat ditempuh untuk mendukung proses pembangunan ekonomi masyarakat Aceh. Saya bermimpi suatu saat nanti berbagai produk yang dihasilkan masyarakat Aceh dapat dijumpai di berbagai belahan dunia, misal kopi Aceh dapat mendunia mengalahkan ketenaran Starbucks saat ini.[]

*Mahasiswa Fakultas Teknik Industri Universitas Indonesia, Alumni SMAN Modal Bangsa Aceh